[4]

1K 64 2
                                        

Apapun yang terjadi di hari berikutnya memang sudah harus aku tanggung sendiri, karena setelah memutuskan untuk menerima perjodohan dengan Mas Fajri diriku sudah harus menerima apapun yang terjadi di dalam pernikahan kami. Ya, mungkin ini juga salah satu balasan untukku yang pernah menyakitinya.

Sejak seminggu yang lalu aku merasakan pusing yang begitu hebat di kepalaku, aku tak tahu apa penyebabnya tapi tetap saja keras kepala dan tidak mau memeriksakan apa penyebab sebenarnya.

Apa penyakit itu kembali?


°°°


Malam hari tiba, saatnya aku membuat makan malam untuk Mas Fajri. Setelah kejadian aku bertemu dengan Kak Emi kemarin, Mas Fajri seperti tidak lagi memilih pulang pada tengah malam. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi atau mungkin ini hanya kebetulan.

Ayam goreng, nasi merah, dan tumis daun singkong menjadi pilihan menuku untuk malam ini. Ayam goreng salah satu makanan favorit Mas Fajri, tapi tak pernah ia sentuh sama sekali bila aku memasak untuknya. Aku harap kali ini dia mau memakannya.

"Jangan melamun!" aku tersentak kaget melihat siapa yang datang. Ternyata Mas Fajri yang tengah melonggarkan dasinya dan jalan menuju meja makan.

Dia menarik kursi dan segera duduk rapih, menatapku dengan tatapan datar. Tapi aku tahu maksud dari tatapan itu, dia meminta piring. Pasalnya aku memang belum menyiapkan piring untuknya.

"Ini," segera ku berikan piring hijau miliknya dan secepat itu pula dia mengambil dari peganganku.

Aku masih berdiri diam menatapnya yang tengah mengambil lauk dan ternyata dia menyadari bahwa aku melihatnya.

"Ada apa?" tanyanya dengan nada serius.

"Aku ingin minta izin untuk besok," jawabku sambil membenarkan posisi berdiri.

Dia kembali melanjutkan dengan menyuapkan sesendok makanan yang telah dia ambil, "Ke mana?"

"Rumah sakit."

Dengan sekali kujawab dia segera diam dan menatap lurus ke arah makanannya, dia menghela nafas dan menaruh sendoknya di atas piring.

"Ada apa di rumah sakit? Siapa yang sakit?" ceracaunya.

Aku tersenyum tipis, "Tidak ada yang sakit, aku hanya ingin memeriksakan kondisiku."

"Memeriksa kondisi itu berarti sama dengan ada masalah denganmu, memangnya kamu kenapa? Sakit?" aku kembali tersenyum padanya karena menanyakan hal ini padaku kembali. Entahlah, hati ini kembali terenyuh.

"Akhir-akhir ini aku pusing, jadi aku hanya ingin mengetahui penyebabnya."

"Hmmm..." Dia kembali melahap makan malamnya dan serasa tidak lagi peduli padaku. Padahal aku mengharapkan yang lebih darinya, tapi aku sadar posisiku sekarang di hidupnya.

Paginya sehabis membuatkan sarapan untuk Mas Fajri, aku segera beranjak menuju rumah sakit terdekat. Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit kepalaku semakin berdenyut dan sukses membuatku hampir melihat dengan buram. Untungnya tidak berlangsung secara lama, hingga sampai di depan rumah sakit pengelihatanku kembali jelas.

Begitu ramai orang-orang berbondong untuk berobat di sini, sudah biasa loket pembelian obat sangat panjang antreannya. 

Aku tidak tahu kapan akan muncul nomor 46. Karena yang sering kita tahu bahwa kedokter tidak hanya sekadar mengecek kondisi, terkadang mereka menyempatkan untuk sekadar bertanya tentang masalah kesehatan yang lain.

Butuh waktu sekitar satu setengah jam untuk dapat melihat nomor 46 terpampang jelas di layar digital dekat suster yang berjaga, dan itu tandanya saatnya aku masuk.

Sebuah Pilihan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang