08. Kebahagiannya dan Kesedihan Mereka

171 18 0
                                    

Berpenampilan lebih baik, rapih dan menarik dari biasanya mungkin sering dilakukan oleh setiap insan ketika akan berjumpa dengan orang yang dicintainya. Termasuk Magara.

Kemeja hitam berlengan panjang sampai sikut dengan dalaman kaos berwarna putih, rambut rapih, jidat yang terlihat karena poninya yang dibelah dan dikesampingkan, jam tangan berwarna hitam yang melekat pada kulit tangannya yang tak putih dan tak hitam juga, serta tubuh beraroma wangi.

Itulah kata-kata yang bisa menggambarkan sosok Magara saat ini.

"Tumben udah ganteng, mau kemana nih?"

Tanya Jiraga pada Magara yang tampak sedang membenarkan kembali rambutnya didepan cermin berukuran besar yang ada di dalam kamar Jiraga karena kebetulan Magara tak mempunyai cermin full body.

"Mau jalan sama cewek nih." Jawab Magara dengan menirukan gaya bicara kakak sulungnya itu.

"Pasti sama Yerin, kan?" Tebak Jiraga.

Magara sejenak menghentikan aksi menatap dirinya pada pantulan kaca, "Kok abang tau?" Tanya pria itu.

"Kayaknya Yerin ikutin saran dari gue, bagus kalau gitu." Batin Jiraga.

"Saran gue lebih baik lo terima dulu cinta dari orang yang suka sama lo, terus suka gak suka dan mau gak mau lo harus jalanin hubungan dulu satu atau beberapa bulan. Siapa tau seiringnya berjalan waktu lo juga bisa cinta balik sama dia..."

"Tapi gue banyak kurangnya, gue gak secantik cewek-cewek diluaran sana yang suka sama Gara..."

"Lo kan udah denger sendiri apa jawaban Gara waktu ditanya dia suka beneran atau main-main doang sama lo waktu kemarin? Gue udah sengaja rekam percakapan itu dan dikirim ke lo tanpa rekayasa sedikit pun."

"Iya-iya, Ji. Gue percaya kok."

"Keputusan ada ditangan lo, Yerin. Pesan dari gue cuman satu, yaitu jalani aja dulu."

Itulah percakapan antara dua insan yang tak antara lain adalah Jiraga dan Yerin melalui media telepon pada kemarin malam.

"Abang?" Panggil Magara karena Jiraga malah melamun dan tak menjawab pertanyaan yang dia lontarkan.

"Lo janjian nya sore-sore gini?"

Magara hanya mengangguk menanggapi ucapan Jiraga.

"Oh ya udah hati-hati bawa motornya, jangan lupa baca doa dulu, terus gak boleh ngebut juga. Terakhir, jangan pulang larut malam, kalau bisa sebelum adzan Magrib udah ada di rumah."

Magara mencubit gemas pipi Jiraga walaupun pipi kakaknya itu tirus, beda sekali dengan pipi milik Hariga, pikirnya.

"Perhatian banget sih, Gara jadi makin sayang deh sama abang!" Canda Magara yang membuat Jiraga terkekeh.

"Gara udah ganteng belum, bang?" Tanya Magara sembari berdiri tegap.

"Ganteng, mirip ayah. Tapi kalau dibanding gue, lo masih kalah jauh."

"Terserah abang aja. Gara pergi sekarang, ya!"

Magara langsung beranjak pergi dengan girang setelah Jiraga mengangguk.

Setelah kepergian sosok Magara, Jiraga tersenyum tipis, "Semoga Yerin gak buat Gara kecewa, begitupun sebaliknya..."  Batinnya.

***

Senyum Magara mengembang setelah melihat Yerin yang sudah ada duduk di salah satu kursi cafe yang baru didatangi olehnya.

Yerin juga tersenyum hangat kepada Magara sembari melambaikan satu tangan kanannya keatas guna memberi kode pada Magara untuk segara mendatanginya.

Magara and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang