"Selalu ada yang berusaha melengkapi sepotong hatimu yang tak utu lagi karena telah dibawa olh seseorang yang lain, tapi kamu tak pernah mengijinkannya."
"Flo, sarapan dulu!" teriak ibu dari dapur lantai bawah. Aku keluar kamar dan menuruni anak tangga sambil mengikat rambutku. Kulihat beberapa sendok kornet ibu tuangkan di atas tumpukan nasi dalam piring. Olahan daging dalam bentuk apapun adalah makanan favoritku.
"Asyik pagi-pagi disediain makan, makasih ibu!" selorohku kesenangan sambil merangkul ibu dan menciumnya paksa. Namun baru saja aku menikmati beberapa suap, nyaris keselek karena tiba-tiba teringat tugas matematikaku belum dikerjakan.
"Kok bisa sampe keselek? Minum!" Bapak menggeleng kepalanya.
"Iya, Pak, abis makan langsung berangkat ya, Flo lupa harus mengerjakan sesuatu di kelas."
"Buru-buru amat, santai aja Pak makanny, nanti keselek. Kamu pasti mau nyontek peer kan, Flo!" gerutu ibu sambil menuangkan teh hangat di tengah aktifitasnya makan.
Aku nyengir. "Yah, kegep deh. Beneran lupa, gimana Bu."
"Nggak lupa pun kamu males kan jarang ngerjain."
"Daripada kalian jadi berantem, ayo Flo pergi sekarang, makan Bapak cepet kelar!" Bapak seger mencuci tangan dan menarik jaket dari gantungan di salah satu dinding.
Setibanya kami depan gerbang sekolah, aku malah tersandung tali sepatuku sendiri yang lepas setelah beberapa langkah turun dari motor. Beberapa murid menertawaiku tapi aku mengabaikannya, yang kuingat hanyalah jangan ketinggalan nyontek.
"Makanya hati-hati, perhatikan apa yang kamu pakai dan langkahmu, argh!" Bapak tampaknya baru kelihatan emosi atas setiap drama yang terjadi beruntun di pagi ini.
"Iya Pak, hati-hati di jalan."
Setibanya di sekolah aku semakin mempercepat langkahku agar bisa menyusul Hera dan Jully yang berjalan beberapa meter di koridor. Saking cara berjalanku udah berantakan sampai nyeluduk mereka hingga sempoyongan.
"Hih, apaan sih Flora?!" risau Hera.
"Kalian udah kerjain matematika belum? Nyontek dong plis ya gue belom!" todongku.
"Ya udahlah, gue kan murid teladan!" sahutnya menyibak rambut penuh percaya diri.
Jully melipat kedua tangannya dan menegur, "Lo ngapain aja belum ngerjain peer yang padahal deadline sampe tiga harian?!"
"Gak ngerti gue, plis nyontek kali ini aja."
"Makanya dikurangin tuh lemot, lo ngomong kek gitu udah jutaan kali!" Hera terus menggerutu.
"Iya lagi!" tambah Jully, "kalau gitu, suruh aja Fartan buat kerjain."
"Andai aja bisa, yang ada di malah ngelesin gue." Kita berjalan santai menyusuri koridor menuju kelas bersamaan.
"Terus apa gunanya itu cowok? Ngasih kepastian ke lo nggak, ngasih bantuan juga enggak, apa keuntungannya lo masih ngarepin dia?" ungkit Hera lagi. Jika satu pertanyaan mungkin aku tidak akan memasukkannya ke hati, tapi bertubi-tubi seperti itu seakan sengaja bikin aku sadar betapa bodohnya perasaan yang tidak bisa aku cegah ini.
"Kalo kalian gak mau ngasih contekan gapapa, tapi berhenti bahas sesuatu yang bahkan gue aja udah berusaha tapi gabisa kendaliin itu semua!"
***
Murid mulai berdatangan memasuki kelas dengan aktifitas masing-masing yang kadang beberapa menunjukkan kelakuan di luar nalar. Pikiranku semaki tak karuan saat dering bel bunyi begitu kerasnya menandakan jam pertama diisi pelajaran matematika. Aku salah satu di antara mereka yang ribut mengerubungi buku contekan seperti sekawanan semut rangrang yang agresif.
Kemunculan wali kelas yang cantik nan tegas sontak membuat kita belingsatan kembali ke meja masing-masing. Ia berdiri dengan auranya yang tampak dingin. Tidak ada seorang pun yang berani bertanya mengenai kehadirannya.
"Pagi anak-anak, dengan terpaksa pelajaran matematika dibatalkan secara mendadak karena Pak Bandi yang sedang menuju ke sini harus putar arah ada urusan mendadak, jadi-" belum selesai beliau menyampaikan, kelas yang mulanya hening tiba-tiba gemuruh kesenangan dan tentu saja tatapan wali kelas yang berhasil melumpuhkan kembali situasinya.
"Apa kalian setidak punya sopan santun ini? Boleh bersorak tapi tunggu orang selesai bicara! Kalian tetap tidak boleh keluar kelas! Ibu permisi." Wanita itu meninggalkan kelas. Anehnya, aku malah kagum dengannya. Dia tidak galak, hanya saja pembawaannya membuat siapa pun akan bersikap segan kepadanya. Itu yang membuatnya bernilai. Dia sama sekali tidak pernah marah-marah, seharusnya itu disebut elegan.
Jarum jam panjang mungkin sudah berputar ke sekian kali, tapi aku masih duduk sendiri di tengah kegaduhan. Kulihat teman-temanku sedang asyik bergunjing. Baik Aura atau Hera dan Jully sama-sama lagi menyebalkan. Fartan juga tidak ada menghubungiku. Aku muak dengan segala rentetan drama yang terjadi.
Aura menghampiriku. "Lo beneran ngambek. Seriusan kemarin tuh gue nungguin lo lama, kalo lagi sama cowok lama kan lo juga? Makanya gue berujung nemenin cowok gue main basket, dan itu bikin lo bete juga kan? Kita ini saling bikin bete, nggak usah dilanjutin betenya. Kantin yuk?" Aku diam sejenak dan kalau dipikir-pikir iya juga.
"Kan gak boleh ke kantin," elakku.
"Emang kapan lo seteladan ini?"
Aku nyengir dan beberapa menit kemudian kita sudah berjalan di koridor melewati beberapa belokan untuk sampai di kantin. Sebelum itu, Jully muncul menyusul. "Soal ucapan Hera tadi pagi, lo maklumin aja ya, dia emang senyebelin itu," ungkapnya.
"Dia beruntung masih punya temen kaya lo yang mau orang lain maafin dia, di tengah kelakuannya yang bikin keki," paparku.
"Lo juga beruntung punya gue yang sabar menghadapi moody lo itu," celetuk Aura.
"Iya-iya!"
"Kalian! Ninggalin gue!" teriak suara Hera, panjang umur juga manusia satu itu. Kita tiba di kantin dengan euforia seolah tidak terjadi apapun. Dalam situasi seperti ini, selalu ada seseorang yang tidak menyadari kesalahannya dan seseorang yang selalu mau berusaha memaafkan orang lain tanpa diminta sekalipun.
Beberapa porsi makanan dan minuman berdatangan silih berganti di salah satu meja yang ditempati olehku dan teman-teman. Namun kita menyadari ada kelebihan satu porsi berisi ramen dengan taburan bulgogi yang menjadi salah satu makanan favoritku selain ayam geprek sambal ijo yang telah aku pesan.
"Mbak, salah meja ya? Kita gak ada yang pesen ramen," tanya Hera heran.
"Flo, pesen lagi?" tanya Aura sama aku. Tentu aku menggeleng kepala.
Mbak-nya tersenyum disertai penjelasan, "Nggak salah kirim kok, ini memang untuk, namanya flu ... flu ... apa ya-"
"Flora?" sela Aura.
"Nah iya, tadi ada cowok ganteng yang titip ini, pasti penggemarnya ya ... ya udah, Mbak balik lagi, permisi ya."
Setengah melamun aku menyahut, "Makasih, Mbak."
"
KAMU SEDANG MEMBACA
MYSTIFICATION
Teen FictionHanya cerita bodoh dari gadis bernama Florensia yang mengungkap kehidupan misterius cowok idamannya, Fartan.