Hard

5 0 0
                                    

"Everyone dies,  but not everyone lives."

...





"Kamu ngapain kesini pagi-pagi?"

"Perintah dari Bapak Rangga... Nona Belle nya ada?"

Raizel memasang wajah masam seperti kami tidak saling mengenal, dari dalam apartemen terdengar suara ketukan sepatu. Semakin dekat semakin tercium aroma vanilla dan rose yang menengangkan, Raizel segera menepi dari ambang pintu apartemen.

"Rania kenapa Raen gak disuruh masuk dulu? Maaf ya jadi nunggu.." Ucap wanita berparas oriental, tak lain adalah Belle.

"Saya baru datang kok, tidak apa-apa. Mau berangkat sekarang?" aku turut menepi hingga tidak lagi berdiri di hadapan Belle.

"Sebentar, oh ya Rania jaga apartemen dengan baik ya soalnya aku hari ini putusan sidang, ummm masalah perceraian aku sama Theo. Kalau ada yang bertamu siapapun itu tolong jangan dibuka." Belle mewanti-wanti, ia masih terlihat cemas.

Raizel hanya mengangguk tanpa ekspresi antusias, setelah pintu apartemen kembali di tutup, aku dan Belle melanjutkan perjalanan menuju pengadilan agama Jakarta Pusat.

Jujur saja kalau bukan atas perintah Bapak Rangga, aku tidak ingin pergi mendampingi Belle meski diluar jadwal tugas, terlebih harus mengenakan pakaian kantoran yakni celana hitam dan kemeja yang dipadukan jas hitam. Seperti seorang bodyguard dan ini tidak masuk dalam daftar misi, itu artinya aku telah menyia-nyiakan waktu untuk kembali memulai.

***



Airmata terjatuh dari kelopak mata wanita yang duduk di depan ku, setelah seorang hakim memutuskan hasil sidang dan mengetuk palu, pertanda sidang telah final. Di ruangan sidang aku tidak melihat keberadaan Theo, kehadiran nya diwakilkan oleh kuasa hukum, Theo tidak bisa hadir karena sudah mendekam dijerusi besi.

Aku tahu ini pasti berat untuknya, disaat semuanya usai, tak ada seseorang pun disisinya yang berdiri untuk menguatkan. Ia hanya di dampingi kuasa hukum, aku tidak berani mendekat karena tugas ku hanya sebatas mengantar dan menjaganya dari pergi hingga kembali ke apartemen.


Genangan air di garis matanya tak kunjung kering, ia memeluk Ibu Veronica selaku kuasa hukumnya, hanya sekejap lalu menyalami hakim dan jaksa yang selama ini menemaninya menjalani proses sidang perceraian. Ditangannya tergenggam sebuah berkas, lalu dimasukkan ke dalam tas disaat ia keluar dari area sidang.

"Cari tempat makan siang yang nyaman dan cukup sepi ya..." Ucapnya ramah, terlihat segaris senyum yang dipaksakan.


"Baik..." Aku hanya bisa meng'iya kan, tentu ia sedang tidak baik-baik saja.


Atas saran dari Bapak Rangga melalui pesan teks, aku membawanya pergi ke sebuah rooftop resto yang dulu sering disambangi Belle ketika sedang frustasi menghadapi skripsi.


Tempatnya lebih fancy dari dugaan ku sebelumnya, resto bergaya industrial yang letaknya di lantai teratas sebuah gedung. Pemandangan nya menakjubkan meski kami datang di siang hari.


"Kamu mau pesan apa? jangan sungkan, aku yang bayar.." Ucap Belle seraya memilah makanan pada tab menu.

Machiavellian (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang