Polos

45 9 0
                                    


Pelita masih melongo saat memasuki pusat perbelanjaan yang Gulita tunjukkan. Katanya, ia boleh mengambil apa saja yang ia perlukan. Baik itu penting maupun tak penting.

Pelita sedikit bingung akan mengambil apa. Ia sudah sedikit terbiasa berhemat untuk bisa makan di esok harinya. Mungkin, terakhir kali Pelita belanja sepuasnya begini adalah masa masa sekolah dasarnya? Saat kejadian itu, belum terjadi(?)

Menghilangkan pikiran yang menurut Pelita sudah agak nyeleneh, Pelita memutuskan untuk lanjut melihat-lihat barang - barang Yanga da disana.

Mata pemuda manis itu berbinar saat melihat boneka Minion yang menurutnya lucu. Namanya Bob, seingat Pelita saat menontonnya dulu.  Tangannya meraih mainan itu agar dapat melihatnya secara rinci.

Saat asyik memandangnya, mainan itu tiba - tiba saja diambil oleh seseorang yang lebih tinggi darinya. Tentu itu Gulita.

Dengan wajah datarnya, Gulita melihat mainan itu juga dengan tatapan menginterogasi.

“Kau suka mainan dakjal versi mini ini?” tanya Gulita.

Pelita tertawa pelan. “Itu Minion ... Tidak usah, itu tidak penting.”

“Terserah namanya apa. Ambil saja jika mau. Uangku banyak, jangan khawatir.”

Niatnya ingin meyakinkan Pelita untuk membeli mainan itu, tetapi malah terdengar menyombongkan diri. Untung Pelita tau maksud si pemuda dingin itu.

“ya! Baiklah...”

-----

Pagi pun tiba. Usai bersiap - siap untuk pergi ke sekolah, Pelita melangkah menuju ke lantai bawah guna melihat apa yang dapat ia bantu. Telinganya mendengar suara yang terbilang cukup berisik yang asalnya dari bawah. Gulita? Tidak mungkin. Pemuda itu baru saja pergi ke kamar mandi saat Pelita datang mengembalikan buku.

Anak tangga terakhir. Pelita melihat Mimir sedang di marahi oleh sepasang suami - istri yang menurutnya orang tua Gulita. Pasalnya, wanita itu sangat mirip dengan Gulita, namun pria itu hanya auranya yang mirip. Aura dominan yang sangat kuat.

“Selamat pagi.” sapa Pelita saat melewati ketiga orang itu.

“Amorette?” tegur Nyonya Lin.

Pelita reflek berhenti saat nama pemberian Gulita disebut. “Senang bertemu dengan anda, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?”

Nyonya Lin tersenyum remeh. “siapa namamu?”

“Saya Pelita.” balas Pelita dengan senyum yang tak luput dari wajahnya.

“baiklah, lanjutkan kegiatan mu.”

Pelita menunduk lalu berbalik. Rasanya ada yang janggal. Kenapa? Pelita sendiri pun tidak tahu. Wajah kedua orang itu sangat familiar di otaknya.

“Oh? Ibu, Ayah? Kapan kalian sampai?” Seru Gulita yang baru saja menapakkan kaki di lantai dasar itu.

Nyonya Lin tersenyum hangat sembari mengelus surai putranya, “baru saja. Bagaimana sekolahmu? Lancar?”

“Tentu saja. Apa waktu libur kalian dipercepat?”

“Apa yang tak akan kami lakukan demi dirimu? Kami sengaja melakukan semua pekerjaan lebih awal agar cepat menemui mu.” timpal Tuan Gun.

“Oh ya, aku belum mengatakan soal Pelita. Dia temanku, dia butuh tempat tinggal, jadi aku membiarkannya tinggal bersama kita. Aku juga memberinya pekerjaan, membantuku di rumah.” Jelas Gulita.

“Baiklah. Lakukan segalanya asal tak berpengaruh pada pekerjaan kami, oke?” Ucap Nyonya Lin membuat negosiasi.

“ya ya ya.”

lilin redupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang