Tepat seperti prediksi Hans, kesibukan kerja segera menenggelamkan Yoyo kedalamnya begitu ia kembali ke perusahaan. Korporasi Indonesia nyatanya masih sesemerawut yang di bayangkan. Mengeksploitasi sumber daya manusia sampai di ambang batas tanpa penghargaan yang sesuai. Perusahaan Tech tempat Yoyo bekerja hanya satu dari ribuan lainnya.
Sudah nyaris dua bulan ini situasi dimana Yoyo yang selalu menunggu kedatangan Hans untuk menjemput berubah menjadi kebalikannya. Hans tak jarang harus menunggu hingga larut malam hingga Yoyo keluar dari lobi kantornya, dalam keadaan lesu.
Hari ini hanyalah salah satunya. Hans segera keluar mengambil tas dan jas Yoyo lalu membukakan pintu pintu mobil, Yoyo masuk sembari merenggangkan dasinya. Hans kembali ke jok kemudi setelah meletakkan barang-barang Yoyo di jok tengah.
"Makan malam?" Ujar Hans seraya menyalakan mobil, membawa mereka keluar dari area gedung perusahaan.
"Udah, kang. Tadi dibelikan pak manager. Udah kubilang gak usah di tungguin, aku bisa pulang naik taksi. Kang Hans besok juga padat kan jadwalnya."
"Aku gak mungkin lakuin itu. Tidur aja, nanti aku bangunin begitu sampai."
"Makasih banyak, Kang."
Setengah jam perjalanan, mobil Hans tiba di depan kosan Yoyo. Wawan, sang satpam bahkan sudah hafal wajah Hans yang sehari-harinya mengantar jemput Yoyo.
"Lembur lagi yah, Kang?" Tanya Wawan setengah berbisik. Hans hanya mengangguk sambil tersenyum lalu berusaha membangunkan Yoyo yang masih terlelap. "Udah, Kang. Di gendong aja kekamar, kasihan kalau dibangunin. Biar Wawan yang bukan pintu kamarnya."
"Kamu memang terbaik, Wan. Tolong, yah. Ini kuncinya." Wawan mengangguk siap.
Satpam muda itu bahkan paham betul untuk menggeser gerbang kosan untuk terbuka dengan perlahan agar tak membangunkan Yoyo. Dengan hati-hati Hans menurunkannya dari mobil dengan menggendong sembari meminta tolong pada Wawan untuk mengambil jas dan tas kerja Yoyo di jok belakang. Ia lalu bergegas mendahului Hans membukakan pintu kamar Yoyo.
"Ini buat kamu beli rokok." Ujar Hans menyerahkan selembar uang seratus ribuan pada Wawan.
"Aduh, kang. Jangan. Saya ikhlas bantu Kang Yoyo."
Hans bersikukuh. "Tolong kamu terima, ini ucapan terimakasih saya..."
Wawan tetap menolak, ia lalu menunjuk buku kecil di saku rompi kerjanya. "Buku-buku ini aja saya gak tau mau terima kasih kayak gimana. Bulan depan saya mau ambil paket C, kang."
Hans berbinar tercengang, "Serius kamu?!"
"Ssst, nanti kang Yoyonya kebangun. Iya serius kang, doain Wawan lulus yah kang."
"Kamu pasti lulus! Besok saya bawain beberapa buku lagi, biar lebih mantep. Kalau ada yang bingung jangan sungkan telepon aja."
"Wah, haturnuhun pisan kang. Wawan balik ke pos dulu."
"Sip."
"Itu kang Yoyonya jangan diapa-apain, kasihan nanti tambah kecapean." Guyon Wawan.
"Sia euy! Hahaha."
Hans kembali ke kamar Yoyo dengan perasaan bahagia. Didalam kamar Yoyo sudah terlelap dengan masih berpakaian kerja lengkap. Hans menggulung lengan kemejanya seraya melangkah menuju kamar mandi. Ia keluar membawa sebuah wadah berisi air yang kemudian di tambahkannya dengan air hangat dari kulkas.
Dengan perlahan di lepaskannya satu persatu pakaian Yoyo hingga menyisakan celana dalamnya saja. Ia berhasil tanpa membangunkan sosok yang tengah terlelap itu. Ia lalu mendengus pelan. Berat badan Yoyo telah turun begitu jauh dalam beberapa bulan terakhir, kesibukan pekerjaan benar-benar menelannya.
Andai aku bisa membantumu lebih dari ini. Gumam sedihnya dalam hati.
Dengan lembut disekanya tubuh letih itu dengan handuk yang direndamnya dalam air hangat. Orang lain mungkin akan melihat bahwa Yoyo telah menjadi jauh lebih kuat dari saat mendiang Ilham pergi untuk selamanya. Tapi tidak untuk Hans, setiap hari ia amat peka untuk merasakan bahwa luka itu masih belum terobati untuk Yoyo. Ia akan selalu siap tiap kali Yoyo meminta untuk diantar ziarah ke makam. Ia mencintai sosok dihadapannya itu begitu dalam. Adalah bohong jika ia tak berharap cinta itu akan berbalas indah dari Yoyo, tapi memaksa adalah hal yang takkan pernah dilakukannya. Inginnya yang terutama adalah melihat dan menjaga senyum bahagia diwajahnya.
Usai menyeka tubuh Yoyo, Hans yang akan menyelelimutinya terjebak dalam satu dari ribuan saat dimana keinginannya untuk mencium bibir Yoyo menguasai benaknya. Mendekat dan terus mendekat, lalu seperti banyak saat-saat lain ia berhenti tepat sebelum bibir mereka bertemu.
Jangan gila, Hans. Gumamnya sebelum berpindah ke sisi Yoyo, berbaring dan berusaha keras membawa dirinya hanyut dalam lelap.
*
Keesokan Harinya
Andika menunaikan niatnya untuk melamar Netha. Wanita itu menjadi orang terakhir yang tiba di restoran Andra, menduga hari itu mereka hanya akan merayakan proyek Vanya yang sukses besar. Ia baru saja kembali dari Paris usai menuntaskan fashion month yang melelahkan ditambah sederet sesi foto untuk beberapa majalah. Ia bahkan tak sempat bertandang ke apartemennya, bergegas segera ke restoran langsung dari bandara. Ia tak ingin melewatkan apapun. Andika jelas tak menjemputnya, membuatnya bertanya-tanya apa ia telah berbuat salah.
"Ndra... Oh God maaf yah aku telat! Eh.... Yang lain mana?" Ujarnya begitu turun dari taksi. Hamzah mengeluarkan koper dan oleh-oleh yang dibawanya untuk semua orang. "Makasih Kang Ham." Dijawab Hamzah dengan senyuman.
"Kamu gak telat, kok. Ayo." Ujar Andra seraya mengantarkannya ke dalam sedang Hamzah menuju ruang penyimpanan untuk meletakkan barang-barang Netha.
Memasuki ruangan utama Netha dibuat terkejut dengan keramaian. Semua teman-temannya sudah berada disana, Binar, Satya hingga Marthin dan Alya, ayah dan ibunya bahkan berada disana. Ia segera bergegas menyalami kedua orang tua.
"Ma, Pa! Kok gak bilang sih bakal kesini juga?"
Sang ayah menggeser kursi untuk putrinya, "Udah duduk aja, ada yang punya kejutan buat kamu." Ujar Alya.
"Hah? Buat Netha?"
Marthin menyeka keringat di dahi sang putri, "Makan dulu."
"Thanks, pa. Kumaha eta suku teh, kursi pijatnya cocok?" (suku : kaki)
"Sekarang papa udah bisa main tenis lagi." Ujar sang ayah.
Alya tersenyum seraya menyentuh potongan poni baru sang putri "Pilihan calon mantu kita emang gak salah, yah pa? Papamu itu sekarang lebih sering di atas kursi pijatnya dibanding di atas mama."
Marthin nyaris tersedak wine yang sedang dinikmatinya. "Mama ih, ini banyak orang."
"Lah emang betul, by the way mama suka banget potongan rambut baru kamu ini. Resep pisan-pisan!" Ujar Alya seraya mengambil foto selfie bersama sang putri dan suaminya.
"Huh untunglah, aku sempet ngeri sendiri waktu agensi minta rambutku dipotong kayak gini. Duh, udangnya enak banget." Jawab Netha seraya menikmati udang pedasnya.
Ia lalu mengedarkan pandangan ke sekitar, ia baru sadar bahwa sosok yang paling ingin ia temui adalah satu-satunya yang tak terlihat kala itu.
"Nyari pujaan hatimu, yah?" Tanya sang ayah.
"Hah? Nggak kok, Huh... Jemput di bandara aja nggak mau."
Sang ayah terbahak pelan, lalu sambil tersenyum berujar. "Bentar lagi juga dia muncul."
"Bodo ah." Ketus Netha sembari terus sibuk dengan udangnya.
Seperti pucuk di cinta ulam pun tiba, sosok yang di cari-carinya akhirnya keluar. Andika masuk melalui pintu ruangan Andra dengan penampilan memukau. Kemeja kotak-kotak Burberry hadiah dari Netha di ulang tahunnya beberapa bulan sebelumnya, juga jeans calvin klein yang dibelikannya saat keduanya berkesempatan bersama di London tahun lalu. Ia duduk tepat di samping Vanya dan Hans yang sudah terlebih dahulu berada disana.
"Begitu banyak hal baik yang terjadi dalam kehidupan kita beberapa waktu terakhir ini. Proyek yang terlaksana dengan sukses besar, juga cinta-cinta yang bersemi dengan indah."
"Huuuuu!" Bagian terakhir kalimat Vanya itu segera memicu riuh gemuruh seruan para undangan.
Vanya segera mengisyaratkan Andika yang masih terjebak dalam kegugupan untuk mengambil alih mimbar. Lelaki itu maju dengan canggung seraya mengambil mikrofon dari Vanya.
"Ehm... Ini bukan ide saya untuk memasukkan segmen ini dalam acara hari ini, Huh... Hari ini, tepat dua tahun setelah saya bertemu sosok wanita terindah, kedua setelah bunda yang mewarnai kehidupan saya. Singkatnya saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia menemani saya dimasa-masa terberat dalam hidup saya, melihat saya dari sudut pandang yang benar-benar berbeda dari orang-orang lain." Kalimat panjang itu diujarkannya seraya perlahan turun dari panggung lalu melangkah pelan menuju sosok yang tengah dibahasnya di depan semua orang itu.
Netha mematung kehilangan kata-kata menyaksikan semuanya, sama sekali tak terlintas di benaknya. Andika melangkah dan terus melangkah hingga berdiri tepat di hadapan sang kekasih, pun di hadapan kedua orangtuanya.
"Om, Tante..."
Alya segera menggelengkan kepalanya, "Tanya dia aja, kita berdua mah ok."
Netha masih membatu dalam cengang untuk beberapa saat, "Heh, diem mulu. Diterima gak nih, kamu nolak cowok mulu lama-lama jadi perawan tua."
Andika yang gelisah lalu berlutut seraya membuka kotak merah di genggamannya. "Annetha Serafim Rahayu, will you be the friend to share my life with forever?"
Netha masih membutuhkan waktu beberapa saat sebelum mengangguk dalam derai airmata haru. Andika akhirnya bernafas lega seraya memakaikan cincin itu di jari manis sang calon istri. Gadis itu segera berhambur memeluknya dalam luapan bahagia. Tepuk tangan dan seruan para hadirin segera memenuhi ruangan.
Seperti sudah menjadi tradisi, setiap acara yang dilaksanakan di café Andra diakhiri dengan pesta dansa. Baik diatas panggung maupun di depan panggung para hadirin tua muda berbaur mencari pasangan untuk berdansa. Andra kali ini berhasil menyeret Hamzah maju ikut serta. Nico dan Reno yang sudah terlebih dahulu berlenggak lenggok di lantai dansa tercetus ide untuk menarik dua pasangan, atau sebut saja calon pasangan untuk menari bersama. Reno menyeret Hans dan Yoyo lalu Kyle dan Virgy untuk Nico. Kedua pasangan itu dibuat tak punya celah untuk mengelak.
Ditempat itu, tak ada yang akan mencela, tak ada yang akan merendahkan. Semua akan ikut berbahagia. Nico dan Reno menjadi pusat sorakan kala Reno tanpa aba-aba mencium bibir Nico di depan mereka. Dua lelaki yang kian hari kian dimabuk cinta.
Acara berlanjut hingga lewat tengah malam, kian malam lantai dansa terasa kian panas. Dari musik modern hingga tradisional, Marco sebagai DJ mengerjakan tugasnya dengan piawai. Puncaknya adalah saat ia menggabungkan suara instrumen gamelan dengan hentakan beat dari sang DJ, kemeriahan semakin menggila.
Diawali dengan beberapa ibu-ibu yang maju dan menari jaipongan disusul para gadis lalu semua orang berbaur menjadi satu. Bahkan Kyle dan Virgy yang sama-sama tak berasal dari daerah pemilik tarian khas itu menggerakkan tubuh mereka mengikuti irama dan lantunan musik.
Lalu di satu sudut, Hans bersusah payah menahan hasrat di dalam dirinya kala Yoyo yang sudah berada dibawah pengaruh alkohol meliak-liukkan tubuhnya di depan Hans. Yoyo bahkan mengalungkan jalinan jemari kedua tangannya ke leher Hans. Sesuatu yang belum pernah terjadi diantara mereka sejauh ini.
"Kang, meni cicing teuing. Aku nggak menarik, yah?" Tanya Yoyo sembari tetap dalam gerakan-gerakan kecilnya dalam bersandar sepenuhnya di tubuh bagian depan Hans.
"Kamu udah mabuk, Yo. Kita... Duduk dulu, yuk." Ujar Hans pelan.
"Hmph, payah." Cetus Yoyo dengan nada sebal.
Ia lalu berbalik seraya kembali mengalungkan jalinan jemarinya ke leher Hans. Menggerakkan wajahnya lebih dekat dan lebih dekat lagi ke wajah Hans.
"Yo.... Kamu..." Lidahnya terlalu kelu untuk merangkai kalimat yang utuh.
Jantungnya seolah berhenti kala Yoyo menghilangkan sepenuhnya jarak diantara kedua wajah mereka. Dengan satu serangan telak, di depan semua orang ia mencumbu Hans dengan beringas. Menuntut, terus menuntut.
"Oh, shit! Nic! Nico!" Seru Andra yang tengah berada di pangkuan Hamzah pada Nico yang sedang mengurus Reno yang sudah tumbang oleh kuasa alkohol.
"Apa sih? Gak liat gua lagi ribet sama ni bayi."
Andra lalu menunjuk ke arah adegan indah nan panas antara Hans dan Yoyo yang kini menarik perhatian banyak orang disekitarnya.
"Anjay... Jadi nih, Ndra."
"Yoi."
*
"Biar saya aja yang nyetir, Fan. Saya masih bisa."
"Kalo Kang Hans ngomong gitu artinya gak bisa. Apalagi sambil ngurusin nih anak. Kyle Virg, titip laki sama anak gue yah. Mau nganterin pasangan dimabuk cinta dulu."
"Hihi, siap beb. Save drive yah."
"Ok. Kang Ham, besok mobilnya..."
"Heup ah, pokoknya besok nanti laki gue yang anter. Udah sana." Sergah Andra menolak keinginan Fanny untuk datang dengan taksi demi membawa pulang mobilnya.
"Lo mah durhaka, laki baru pulang dinas luar negeri bukannya di kasih istirahat. Ntar di talak baru tau lo."
"Haha, mana berani dia. Lagian, the night is still young for the both of us. Ya kan babe?" Hamzah hanya membalas dengan senyuman kala Andra menyentil hidungnya.
"Heh! Anak gue masih bangun woy! Kyle, tolong yah? Sekarang aja jalannya, jangan sampe anak gue menyaksikan adegan tak senonoh disini!" Cetus Fanny cepat, baby junior malah tergelak di dekapan Kyle di dalam mobil lain.
"Hihi, siap babe." Sahut Virgy.
Fanny lalu melirik ke kursi belakang dimana terdapat suaminya yang tengah meringkuk tersiksa oleh pengaruh alkohol, Fanny mendengus resah. "Hhh, punya suami gini amat. Ok guys, see ya." Ujarnya seraya memundurkan mobil keluar dari halaman Cafe Andra di susul mobil Kyle dan Virgy kemudian.
*
"Yakin di rumah Kang Hans aja? Besok Yoyo masuk cepet, loh. File kerjaannya pasti banyak yang masih di kosan, jauh atuh dari tempat kerja Kang Hans." Ujar Fanny ragu.
"Gak apa, Fan. Nanti kamu yang kejauhan."
Fanny pulang setelah membantu menyeka tubuh Yoyo dengan air hangat lalu mengganti pakaiannya. Hans menemaninya hingga taksi online yang dipesannya tiba.
'"Saya minta maaf kamu sampai harus pulang naik taksi."
"Hih, Kang Hans kayak ngomong ama siapa aja. Yaudah Fanny pulang yah Kang, tolong jagain sahabat saya. Hehe."
"Pasti, dijaga sepenuh hati."
*
Pukul satu dinihari, Hans mengalihkan pandangannya dari jam dinding ke sosok yang sedang lelap di atas ranjang. Biasanya Yoyo hanya akan langsung tumbang dan tertidur jika mabuk. Namun kali ini sedikit berbeda, hati Hans menghangat mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu di lantai dansa. Ia segera bergegas ke kamar mandi setelah mengambil handuk dari lemari, handuk yang sudah disediakan Yoyo jika sewaktu-waktu ia menginap atau sekedar singgah.
Sampai pada tahap itu, ia terus berusaha keras menjaga agar tak melakukan apapun yang beresiko membuat Yoyo menjauh darinya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana dirinya nanti jika itu terjadi.
Ia baru saja keluar dari kamar mandi berlilitkan Handuk saat Yoyo bersuara, ia terbangun merasakan tenggorokannya yang tersiksa.
"Kang, haus."
Hans bereaksi cepat, mengisi gelas dengan air dari dispenser lalu memberikannya pada Yoyo yang baru saja menegakkan tubuhnya. Yoyo meminumnya beberapa teguk sebelum kembali menyandarkan punggungnya ke puncak ranjang. Setelahnya Yoyo bermaksud untuk segera berpakaian dengan kaos dan boxer dari lemari. Tapi tak ada lagi yang tersisa selain sehelai dasi dan sepasang kaus kaki, ia lalu teringat beberapa hari sebelumnya mengambil sebagian besar untuk ia bawa ke perjalanan bisnisnya ke Singapura.
Yoyo yang masih berusaha mengumpulkan nyawanya, akhirnya menyadari Hans yang mematung di depan lemari dengan wajah bingung. Ia tersenyum kecil.
"Kang Hans malah tambah menawan kalau cuma pake kaus kaki sama dasi itu kok." Ujar Yoyo membuyarkan Hans dari kalut.
"Kamu tuh, gak apalah make baju yang tadi juga." Ujarnya berniat kembali ke kamar mandi mengambil kembali pakaiannya tadi.
"Udah penuh ilerku tadi itu mah, aku ada kok boxer baru di laci lemari. Kalo kaos, kayaknya Kang Hans bakal kesiksa deh soalnya kecil. Aku aja kadang heran sendiri sama ukuranku sekarang." Nyatanya kesadaran Yoyo belum sepenuhnya kembali. Ia masih berbicara dalam sedikit ekstasi alkohol.
Hans memutuskan hanya memakai boxernya saja. Yoyo benar, ukuran kaos itu bahkan tak mengijinkan trisepnya keluar dari lengannya. Yoyo menepuk sisi ranjang disampingnya mengisyaratkan Hans untuk bertandang disana.
Yoyo serta-merta menyadarkan kepalanya di pundak gagah Hans sembari mendongak menatap Hans. Lama, lalu Hans cukup berani untuk membalas tatapan itu. Degup jantungnya kembali berpacu seperti di atas lantai dansa tadi.
"Kang, entah apa yang udah terjadi sama aku. Andai gak ada Kang Hans datang ke hidupku." Ujar Yoyo seraya menggenggam tangan Hans dan menjalinkan jemari mereka.
Hans terlalu kaku untuk membalas, ia hanya diam. Diam membatu hingga Yoyo kembali melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya di lantai dansa tadi, hanya saja dengan jauh lebih lembut.
"Apa kali ini juga, Kang Hans cuma akan diam?" Tanya Yoyo setelah menjauh sejenak, menatap Hans dengan tatap nanar. Paduan pinta melas dan putus asa.
Lalu Hans menyerah, melepas kendalinya sepenuhnya. Membebaskan hasrat untuk mengambil alih mindanya. Membebaskan liar yang telah lama terpasang di dalam dirinya yang terus dan terus berusaha menahan dan menahan.
Dengan satu gerakan cepat, tubuh Yoyo telah berada dibawahnya terjebak kungkungan megah Hans yang mengunci pergerakannya. Untuk pertama kalinya, Hans melakukannya sesuai yang ia inginkan. Membebaskan dirinya menjadi egois, dominan dan menuntut. Dibawah sana, Yoyo mendesah sembari tubuhnya menggeliat resah meningkahi serangan bertubi-tubi dari Hans yang kian menggila. Ia tak lagi mengenali sosok yang berada dihadapannya itu, sosok yang sehari-harinya begitu lembut dan mencurahkan seluruh perhatiannya.
Menit-menit selanjutnya, suara hujan yang deras di luar sana menyamarkan jeritan dan desahan dari dalam kamar Yoyo. Hans menggagahinya tanpa ampun, benar-benar kehilangan kendali pada dirinya sendiri. Menit-menit penuh gairah itu berakhir dengan Hans yang mencapai orgasme lalu menyemburkan cairan surga itu ke dalam Yoyo. Yoyo sendiri, entah sudah berapa kali ia mencapai klimaks bahkan tanpa menyentuh tubuhnya sendiri sekalipun.Yoyo segera berganyut dalam dekapan kokoh Hans, tak mau melepasnya sejenakpun. Wajahnya ia benamkan di dada Hans sembari terus mendekap tubuh gagah itu dengan erat. Dan dengan formula yang entah bagaimana, Hans merasakan haru dihatinya. Ia berairmata, membalas dekapan itu sembari berusaha untuk tak memperdengarkan isaknya pada sosok di dalam dekapan ya itu. Dibawah selimut ditemani hujan yang terus mengguyur deras, keduanya akhirnya terlelap.
'Aku akan terus mencintaimu, Yo.'
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I Love You, Buddy (END)
Roman d'amourFriend to Lover §§§ A bittersweet and (sometimes) naughty story about friends and (or to) lovers. §§§