13. Ex

101 11 0
                                    

Aku segera melangkahkan kakiku menuju Sungai Han. Sesampainya disana aku terengah engah sembari berpegangan pada sebuah pohon besar tidak jauh dari hamparan rumput disebelah sungai.

Sungai Han ya.. sudah lama sekali sejak aku menginjakkan kakiku disini..

"Sepertinya aku harus kembali melatih otot ototku. Staminaku bahkan lebih rendah daripada nenek yang baru saja bersepeda tadi huft," gumamku.

Mataku mengamati hamparan rumput yang diterangi remang cahaya lampu taman dan jembatan dekatnya. Tampaknya bintang juga menjadi tamu spesial hari ini. Bintang bintang bertaburan di langit sebanyak pasir di pantai. Pemandangan yang indah. Ternyata Seoul bisa seindah ini ya? Aku tersenyum hambar.

Tapi.. ini juga mengingatkanku pada hari itu. Hari dimana aku dicampakkan begitu saja demi perempuan selingkuhannya sekaligus sahabatku sendiri.

Ah lucunya. Kalau mengingat hari itu rasanya aku ingin menamparnya dan membuangnya ke sungai tapi untungnya dia selamat karena aku dulu masih lugu dan ya buta akan cinta. Intinya cinta pertamaku tidak berakhir dengan baik. Aku terlalu baik saat itu sehingga hanya menangis segugukan meratapi nasibku dihadapannya bahkan memintanya untuk tetap bersamaku. Iya aku tahu kebodohanku sudah sampai DNA sepertinya.

Aku tidak ingin mengingatnya. Luka di hari itu lumayan mempengaruhiku. Sekarang aku mungkin terlihat baik baik saja tetapi setiap kali melihat cermin, aku selalu bertanya pada diriku sendiri. Apakah ini sudah cukup untuk membuat orang lain suka denganku? Apa orang lain tidak akan meninggalkanku selama aku memasang wajah yang selalu ceria? Apa dengan begini aku tidak akan digantikan lagi oleh orang lain?

"Gapapa (y/n). Itu sudah berlalu dan sekarang mari kita cari makhluk satu itu. Ada dimana sih?" Aku melayangkan pandanganku berusaha mencarinya di hamparan rumput. Tidak ada.

"Oke mungkin dia ada di tempat yang lain?" gumamku lagi dan saat itu masuk sebuah notif. "Panjang umur kamu. Pas banget baru mau dicari-"

'Aku ga jadi pergi. Mager. Aku dikamar yaa.'

Apa? Dia yang ngajak tapi dia yang ga pergi? Alesan mager?

Aku berusaha menahan emosiku yang sudah naik ke ubun ubun. Kutarik nafas panjang sebelum membalas pesan Jeonghan.

'Maksudnya? Aku udah disini.'

'Ohh ya udah balik aja. Oia sekalian nitip makanan ya hehe.'

'Beli sendiri. Punya tangan kaki kan?'

'Aigoo kan kamu lagi diluar itu sekalian gitu..'

'Dipikir aku babu kamu?'

'Beli sendiri udah gede kan?'

'Satu lagi. Ga niat ngajak jalan ga usah ngajak lain kali. Dipikir aku ga sibuk kali ya. Situ doang yang sibuk gitu?'

"Ah sialan. Kenapa sih dia harus kek gini padahal aku lagi ga mau bercanda. Ah kesel banget aih."

Kekesalanku memuncak dan perlahan air mataku keluar dari tempatnya. Tanganku mengepal erat. Aku benar benar tidak ingin bercanda saat ini. Apalagi aku jadi teringat mantanku itu. Ah sial. Kenapa aku jadi sekesal ini hanya karena dia tidak datang? Kenapa aku begitu mengharapkannya disini? Kenapa?

Aku meringkuk memeluk kedua lututku sembari membiarkan air mataku membasahi tanah. Hanya karena aku setuju untuk menemanimu bukan berarti kamu bisa seenak jidat menyuruhku ini itu kan?

"Cil. Coba angkat dulu kepala kamu."

Suara itu. Jeonghan?

Aku mendongkak dan betapa terkejutnya aku melihat wajah Jeonghan berada tepat di depanku. Ia sama sama berjongkok dan tersenyum hangat. Kedua tangannya mengusap air mataku dengan lembut. Aku tahu ia akan menyuruhku berhenti menangis tapi anehnya aku malah semakin segugukan dihadapannya.

Unspoken Love || Yoon JeonghanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang