5 | Bad Decisions

1.2K 157 36
                                    

Aku masih mempertahankan senyum bodoh ini, berdiri kikuk ketika pria gagah di hadapanku menatapku dari ujung rambut hingga kaki. Aku mencoba menyembunyikan kedua tangan di belakang punggung sambil menggenggam erat paper berisi bingkisan. Jangan lupakan soal kedua tanganku yang terlukis, meski sudah kusembunyikan dan tetap akan terlihat, paling tidak mampu meningkatkan kepercayaan diriku di hadapan kepala keluarga dari orang yang kusuka.

First impressions itu harus terlihat baik, 'kan? Bagian buruk, itu urusan belakang.

Sebentar ...

Apa permulaan ini sudah buruk? Sejak memperkenalkan diri lima belas menit lalu, aku belum dipersilahkan masuk.

"Bible Mahasagara?"

Aku sontak mengangguk, akhirnya ada sebuah kalimat tanya juga setelah lama berdiam diri memandangiku. "Iya Om."

"Benar, ternyata kamu tampan sekali. Saya Ghazam Dhavala, ayo masuk." Pria itu terkekeh dan langsung merangkulku untuk berjalan masuk. "Build suka bicara tentang kamu, anak keren yang tinggal sendirian di rumah besar itu."

Build menceritakan tentangku? Astaga, manisnya.

Lalu, apa ini tandanya aku telah diterima? Tenang Bible, ini masih permulaan. Aku mencoba menenangkan diri sendiri.

"Saya kira, rumah itu kosong karena sepertinya tidak ada cahaya." Ucap Om Ghazam yang masih merangkul—membawaku menyusuri ruang utama. Bukannya tidak bisa membayar listrik, aku malas menerangi rumah neraka itu, lagipula aku hanya membutuhkan penerangan untuk kamar, kamar mandi dan dapur.

Dari arah ruang tengah terdengar sayup-sayup suara ramai obrolan dari beberapa pria dan wanita dewasa. Mereka sedang mengadakan pesta, 'kah? Om Ghazam terus membawaku masuk hingga terlihat ruangan besar dengan terisi banyak orang itu terlihat. Aku tertegun. Di antara banyak orang di sana, hanya tiga orang yang membuatku kalang kabut. Mataku sempat melebar, lalu kembali meredup beriringan dengan detakan jantungku yang kian beradu cepat.

"Siapa Pak?" Tanya salah satu dari tiga pria yang mengejutkanku. Suara lantang itu membuat seluruh orang menoleh, ada sekitar lima belas orang, oh, bahkan mungkin lebih yang ada di ruangan ini.

Aku menelan saliva ketika mendadak menjadi pusat perhatian.

Om Ghazam menepuk pundakku yang masih dalam rangkulannya. "Ini Nak Bible yang tinggal di rumah sebelah."

Aku sempat mengangguk sekilas dan tersenyum tipis sebagai tanda perkenalan. Sempat melirik ke arah tiga pria yang serius menatapku. Tiga pria yang mengenakan seragam berwarna coklat—seragam seseorang yang berprofesi sebagai Polisi. Sialan. Aku sedang membawa narkoba di dalam tas!!!!

Aku menunduk untuk menutupi wajah dari pandangan mereka dengan topi yang kupakai.

"Salam kenal, Nak." Beberapa orang menyapa dan membuatku dengan gugup mendongak dan mengangguk lagi sambil tersenyum kaku.

Boleh aku lari?

Sempat berpikir mungkin pilihanku kali ini adalah keputusan buruk. Oh Bright, I swear on my life, your words are never wrong.

"Saya suka tatomu," ucap salah satu pria berseragam itu, membuat seluruh orang langsung menoleh lagi—mencoba mencari di mana letak lukisan yang dimaksud. Aku membenarkan posisi kerah kaos, aku juga memiliki tato di bagian dada—sebuah gambar Dewa iblis, jangan heran, karena aku adalah anak yang kehilangan arah.

"Wah iya, saya tidak melihat tatomu." Om Ghazam yang masih merangkulku sontak menoleh, menatap punggung tanganku yang masih sibuk membenarkan posisi kaus dan jaket. "Keren, saya ingat soal Bi yang terus memuji tatomu, katanya pada bagian lengan lebih keren karena ada wajah seorang perempuan. Jadi penasaran."

Hilang Naluri [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang