Genap satu minggu Gama berada pada kediaman keluarga Martin. Satu minggu itulah menjadi langkah awal untuk kedekatan Gama dengan keluarga barunya.
Tak jarang pula anak itu mendapat jahilan dari anggota keluarga, atau bahkan anak itu sendiri yang memulai sebuah kejahilan. Mengingat terkadang respon Gama sangat lucu dimata mereka.
Jika Gama diminta menceritakan bagaimana rasanya, tentu Gama secara gamblang akan mengatakan 'biasa saja'.
Akan tetapi jika suara hati dapat berbicara, bukan kata itu yang terucap. Melainkan sebuah kalimat indah dengan maksud 'kebahagiaan'.
Kasih sayang Ayah yang telah hilang sejak dirinya berumur 4 tahun, dan kehilangan sosok satu-satunya—Sang Ibu pada jiwanya yang beranjak dewasa, membuat Gama merasa kurang dan kesepian.
Meski anak itu memiliki sosok Bunda sebagai wali orang tuanya, tapi tak ayal itu tak dapat mengurangi rasa rindunya pada sang Ibu tercinta.
Tapi mungkin Tuhan berbaik hati padanya. Mendatangkan sesosok ayah meski dengan jiwa yang berbeda, Gideon Markus Martin.
Nama yang hebat, seperti sosoknya.
Markus memang bukan ayah biologisnya, tapi entah mengapa satu minggu ini rasa sayang mulai tumbuh pada hati Gama.
Tapi sangat menyayangkan Markus, Gama tak akan mengungkapkan ini didepanmu, apalagi dengan sifat gengsi yang dimilikinya. Sungguh mustahil.
Kembali pada Pagi hari selasa ini, menjadi sebuah lembaran baru bagi seorang Gamavin Alessandro Martin.
Kemarin sang Ayah telah mengonfirmasi bahwa minggu ini Gama akan mulai bersekolah, akan tetapi dihari senin kemarin anak itu mengeluh malas dan berjanji akan berangkat pada esok harinya.
Markus? tentu, iya-iya saja. Ayah satu itu begitu sabar untuk Gamavin yang sedikit kurang ajar.
"Hari ini hari pertamamu disekolah baru, mungkin hari ini bisa kamu gunakan untuk berdaptasi dengan lingkungan sekolah barumu dan mencari teman." terang Markus di meja makan, disana lengkap dengan formasi keluarga Martin sepeti biasanya.
"Ubah dirimu dan jangan berulah." kini Herlambang yang memberi petuah, yang hanya dihadiahi anggukan oleh Gama.
"Berangkat sama Abang, sekalian." pinta Orion yang langsung mendapat delikan tak terima dari Markus. Enak saja! ini kan pengalaman pertamanya mengantarkan anak sekolah.
"Tidak bisa, Gama berangkat dengan Ayah." Orion yang mendengar seruan Kakaknya hanya mendengus malas.
"Tidak usah terburu-buru Gamavin, nikmati saja makananmu." ucap Markus yang tuntas menyelesaikan makanannya.
Ayah satu anak itu menasihati putranya agar tak buru-buru, tapi yang terlihat seisi mansion ialah dirinya yang seakan tak sabar dan terburu-buru.
"Ayah tuh yang buru-buru, Gama mah santai. Katanya sekolahnya punya temen Ayah, jadi Gama mah santai."
Yup, anak itu sekarang mulai terbiasa menggunakan namanya sendiri saat berbicara. Bahkan tutur katanya sedikit berubah meski nada ketus selalu tercipta tanpa sadar.
"Ya bukan berarti karena punya temen Ayah terus kamu jadi seenaknya." terang Markus memberitahu.
"Sudah kukatakan pada diskusi kemarin kan Markus? anak ini lebih baik jika kau kirim ke asrama." ujar Herlambang dengan tengil.
"GAK MAU YA!!! Granpa gak usah kotorin pikiran Ayah deh, Gama pokoknya gak mau dikirim ke asrama jelek itu. Ayah......." kesal Gama dengan sedikit rengekan diakhir kalimat.
"Iya-iya tidak, sekarang kan mau sekolah sih. Tidak akan Ayah kirim ke asrama."
Oh tolonglah Orion yang melihat drama menjijikkan didepannya. Gama itu terkadang sangat membuat naik darah, tetapi tak melupakan raut kesalnya yang begitu menggemaskan. Itu sebabnya sang Daddy—Herlambang sangat suka menjahilinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamavin and The Martin [END]
Ficção AdolescenteKeseharian yang mengalir bagaikan arus sungai, tiba-tiba saja terusik dengan kabar bahwa dirinya akan diadopsi oleh seorang DUDA KAYA RAYA. Keseharian yang seharusnya berjalan tanpa arah harus berubah dalam arahan seseorang, bahkan aturan sebuah kel...