bab 1

26 1 0
                                    

Hari ini sama dengan hari hari sebelumnya. Rutinitas yang terulang seringkali membuat jenuh dan bosan.
Seperti terkurung di ruangan tanpa celah sehingga membuat siapa saja yang di dalam nya tercekik karena kurangnya pasokan oksigen.

Rutinitas bangun pagi, membersihkan kamar, menyapu rumah, mencuci baju, memasak, dan pekerjaan rumah lain nya. Sangat membosankan sekali bagi saya yang pengangguran ini.

Hanya seorang wanita biasa, lulusan smk, dan pengangguran, sangatlah bukan cerita hidup yang mengesankan.

Saya mengawali hari dengan memasak nasi setelah sebelumnya sudah merapihkan kamar, yang ditempati oleh saya dan adik saya. Kemudian menyapu rumah sampai teras depan. Saya memulai dengan meng-ngarih nasi atau merebus nasi dengan air setinggi ruas pertama jari. Saya harus melakukan ini karena pertama saya tidak punya megikom dan agar nasinya matang saat nanti di sepan.

" Mah, nasi nya udah teteh masak. " Ucapku setelah beres, tinggal tunggu sekitar 20-25 menit sampai beras berubah menjadi nasi.

Mamah saya adalah seorang single parent. Ayah saya sudah meninggal sebelum saya lulus smk. Mengurus dua anak perempuan tanpa suami tanpa pekerjaan sangatlah sulit, meski mamah saya masih sanggup hingga saat ini meski dengan berdarah darah.

" Teteh, mamah lagi ga pegang uang sama sekali. Uwa sama mang masih belum ngasih sampai sekarang, entar mamah mau nyoba semoga bisa nganjuk heula nya ka warung. " Ucap mamah dari ruang tengah sambil menonton acara random yang ada di tv.

Uwa dan mang adalah kakak dan adek dari ayah. Dalam artian kakak dan adek nya ayah. Jadi ditengah keripuhan keluarga saya. Masih ada secercah jalan yang diberikan Tuhan lewat uwa dan mang yang sering kali mentransfer sejumlah uang, meski sedikit harus tetap disyukuri.

Saya menghela napas berat, sebenarnya sudah puluhan kali mencoba melamar kerja dari yang dekat sampai yang jauh. Dar harapan yang dulunya selalu membara menjadi harapan yang sudah mati termakan ke putus-asa-an. Saya juga malu terhitung dari hari kelulusan hingga saat ini, tertanda saya telah 3 tahun nganggur luntang lantung masih menjadi beban keluarga.

" Belinya mie aja 2, sama telur 1 biar nanti bayar nya gampang, ga usah banyak banyak. " Ucap saya.

Saya ikut lesehan bersama mamah guna mengikuti acara tontonan demi membunuh rasa bosan. Setelah 3 tahun yang membuah hidup keluarga saya sangat sulit. Sekarang antara saya dan mamah cukup dekat jika dibanding dulu. Dulu keluarga saya tidak susah seperti kini. Dulu kami tercukupi, makan 3 kali sehari, sekolah lancar, punya uang jajan, kadang main keluar bareng teman, atau bahkan sesekali main ke mall. Dulu, saat ayah saya masih ada.

Hari semakin panas dan lambat laun berubah menjadi lebih teduh saat jam jam menuju sore.

" Assalamualaikum. "
" Wa'alaikum salam, cepet ganti baju sana, kita makan dulu. " Ucapku saat melihat adik ku pulang. Dia masih menempuh pendidikan di kelas 12 smk swasta di kota.

Saya menyiapka mie yang dibeli tadi pagi, kemudian telur yang dibuat menjadi dadar dengan dicampur cabai dan daun bawang. Sederhana tetapi nikmat apalagi ditambah kebersamaan keluarga.

" Adek barusan dapet surat dari kesiswaan. Katanya tunggakan adek harus dicicil supaya ga terus membengkak. " Ucapnya sambil menyendok kan mie ke mangkuk nya.

" Kemarin padahal mamah udah bilang ya, ke bapak yang di ruangan itu. Minta jangka waktu karena kondisi keluarga sedang susah. Namanya swasta, emang susah.... " Ucap mamah dengan raut yang bingung.

Saya hanya diam sambil memotong telur menjadi 2 bagian. Saya taruh masing masing untuk adek dan mamah. Saya sendok kan nasi ke piring mereka masing masing. Lalu saya mengambil kuah mie secukupnya dan mengguyurnya di atas nasi. Lalu makan dalam diam.

" Udah abis. " Ucap saya setelah menyelesaikan makan lalu segera mencucinya dan lanjut menonton tv.

Tidak harus saling menunggu dan jangan bayangkan jika saya harus mencuci semua pikir kotor yang ada karena ini bukan cerita seorang anak pengangguran yang dianiaya oleh keluarganya karena tidak berguna. Ini cerita saya, sederhana yang rumit.

Semua tontonan rasanya membosankan. Seperti jalan cerita hidup saya. Saya tidak punya teman, ralat, saya dulu punya teman, teman sekolah yang sudah sibuk dengan urusan masing masing, terutama pekerjaan nya. Apalah saya yang penggangguran ini, jika diajak main malah bakal menyusahkan, kan tidak punya uang, nanti malah dijajanin, buat kantong mereka bolong.

Sebetulnya akhir akhir ini semangat saya sudah terjun bebas, sampai malas apply loker lewat online. Saya sudah jarang apply lowongan berkas langsung, jika bukan dari sumber yang kredibel. Uang untuk pembuatan berkas dan uang ongkos nya lumayan, buat makan.

Sebetulnya dulu saya pernah bekerja juga, beberapa bulan setelah lulus sekolah. Di sebuah garmen di daerah saya. Saya yang shock pada pengalaman pertama kerja sudah dihadapkan realita yang begitu menampar diri. Kerja digarmen sekeras itu, meski kontrak kerja jelas, gaji umr, jam kerja sesuai aturan, tapi sistem kerjanya tidak manusiawi. Berbicara dengan nada tinggi, bahasa kasar, disepelekan, ditekan, membuat mental saya terpental. Saya bertahan hanya 6 bulan dari kontrak yang dijanjikan selama setahun kerja.

Jika waktu bisa diputar meski rasa sesal itu sering kali datang, " kalau aja waktu itu sabar dulu... "

Tapi hati terdalam saya menyetujui keputusan saya, saya benar benar tidak kuat, saya tau batasan saya.
Biarlah yang dulu menjadi masa lalu, yang menjadi bahan pikiran bagaimana saya kedepannya harus mengambil keputusan bukan untuk saya seorang, tapi mempertembingkan keberlangsungan adek beserta mama.

" Teh..."

Mamah mencoleh pahaku dengan arah mata yang masih tertuju ke layar tv, " apa? "

" Bu ida kemaren cerita katanya bu RT lagi butuh IRT buat di rumah nya. Soalnya pekerja yang kemeren pulang kampung dan resign. "

" Oh. "

" Gimana kalau mamah nyoba bilang ke bu RT, mamah mau nyoba kerja aja, lumayan buat tambah tambah, sama buat biaya adek juga. "

Saya melihat visual mamah dari samping, seorang ibu yang sudah termakan usia itu masih asik menonton sinetron.

Saya mengkerutkan alis, " emang kerjanya ngapain aja? "

" Ya gitu, beberes rumah, masak, nyiapain kebutuhan anak anak nya. Anaknya bu RT kan dua, yang satu anak perempuan udah nikah, diboyong sama suaminya. Yang satu lagi anak cowok, masih kulian, katanya bentar lagi mau wisuda. "

Saya masih melihat tontonan cheese di layar tv dengan alis yang masih mengkerut. Dengan pikiran yang riuh dan ramai, memilah dan memilih opsi opsi yang menguntungkan.

" Emang harus ibu ibu yang jadi pembantunya? "

Mamah mengkerutkan alis seraya berkata, " ya, ibu ibu boleh, yang muda juga boleh, soalnya yang resign kemarin juga masih muda orang nya. "

Tanpa terasa adzan magrib berkumandang, kami sholat berjama'ah bersama. Mendoakan mendiang ayah di surga semoga kelak kita bersama sama lagi.
Kami mengakhiri dengan Aamiin dan mencium tangan mamah. Adik saya sudah masuk ke kamarnya, katanya banyak PR.

" Mah..."

" Hm. " Ucapnya seraya menonton tv, lagi.

" Mila mau kerja, kerja jadi IRT di rumah bu RT. "

Ya, selamat tinggal pengangguran, selamat tinggal ijazah smk, saya akhirnya memutuskan. Bekerja menjadi IRT tidak seburuk itu. Ingat, saya memang orang yang berkekurangan, tidak ada waktu untuk memilih milih pekerjaaan.

MilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang