Mr. Milo

54 5 0
                                    


Rachel tidak pernah melihat sosok setampan orang ini. Gadis yang baru saja menginjak usia tujuh belas itu bahkan tak mampu untuk mendefinisikan perasaan menggelitik yang merajalela di pikiran dan hatinya.

Rachel berani jamin bahwa pendapatnya ini pastilah diamini oleh teman-teman perempuan di kelasnya.

Padahal Mr. Milo sama sekali bukan jenis laki-laki yang sesuai gambaran selera anak-anak perempuan masa kini: oppa-oppa Korea yang tinggi, putih, berambut lurus nan trendi, cool alias dingin dan keren, serta fashionable.

Mr. Milo memiliki penampilan yang hampir bisa dikatakan bertolak belakang. Tubuhnya sedang saja, tidak tinggi tapi tidak juga pendek. Kulitnya malah cenderung gelap dan ada bulu-bulu kasar yang sedang tumbuh di wajahnya yang mungkin baru dicukur sehari atau dua hari sebelumnya. Rambutnya dipangkas dengan gaya wajar, tetapi masih terlihat tebal serta malah sedikit acak-acakan. Ia juga hanya mengenakan pakaian dengan gaya yang normal, tidak dengan selera fashion yang terlalu tinggi serta menonjol.

Namun, Rachel terpesona mampus dengan raut wajahnya yang tegas dan maskulin, tetapi sangat ramah. Senyum laki-laki itu hampir tak pernah padam menyala di wajahnya.

Manis mungkin bukan kata yang tepat, karena kesan maskulinnya tetap kentara. Rachel kebingunan mencari kata yang paling pas untuk menggambarkan wajah rupawan sang guru. Good looking sudah pasti, tetapi dengan pesona yang sangat berbeda.

Mr. Milo diperkenalkan di sekolahnya sebagai salah seorang dari tiga guru baru.

Rachel saat ini belajar di sebuah sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama yang umumnya lebih dikenal sebagai international school, alias sekolah internasional.

Di hall utama sekolah dimana seluruh siswa dan guru berkumpul itulah, pertama kali Rachel menjadi salah satu saksi pesona yang ditebarkan sang guru baru. Mr. Milo yang didaulat menjadi guru history baru di sekolahnya. Gemuruh liar tepuk tangan dan teriakan, siswi khususnya, menggema di dalam ruangan ketika Mr. Milo maju ke depan, menggenggam mic dan mulai bersuara memperkenalkan diri.

"Hi, everyone. My name is Milo Narendra. You can call me Mr. Milo (yang dibaca 'Mailo'). But, okay, easy guys, it's not a brand, it's just not! (ia mengatakan ini sembari tersenyum tipis, membuat Rachel yang sebenarnya duduk lumayan jauh dari pusat galaksi pesona itu saja mencelos hatinya) I'm going to teach Cambridge History for secondary. Thank you for having me here. I'd like to work with you, guys, soon."

Mr. Milo undur diri, menutupnya dengan sebuah senyuman lebar.

Hall serasa ingin meledak karena ini.

Awalnya Rachel curiga ini hanya karena Mr. Milo adalah satu-satunya guru baru semester ini yang bisa dianggap 'menarik'. Mr. Matthew, guru bahasa Inggris dari Australia itu terlihat sudah berumur, sedangkan Miss Nadya, guru PPKn adalah seorang wanita kecil berwajah muram. Rachel sudah membayangkan betapa mengerikannya pelajaran PPKn yang memang sudah tidak disukai kebanyakan siswa sekolah internasional, apalagi kini akan berada di tangan guru perempuan itu.

Sudah lama sekolah ini tidak mendapatkan guru baru yang muda dan semenarik Mr. Milo. Sebelumnya, guru laki-laki paling muda adalah Mr. Fredi, tapi ia menikah setahun kemudian.

Namun, pemikiran Rachel nyatanya salah. Beberapa hari setelah perkenalan guru-guru baru di tahun akademik yang juga baru ini, Rachel baru sadar bahwa Mr. Milo adalah salah satu guru yang mengajar di kelasnya.

Hari ini, sosok itu muncul dari balik pintu. Senyumnya yang lebar nan ramah langsung membuat ruangan kelasnya hening. Ia dan teman-teman akrabnya saling berbagi sinyal melalui pandangan mata. Ia yakin, mereka semua terpesona.

"So, how's life?" ujar sang guru baru. Ia tersenyum tipis, kemudian menggaruk kepalanya, membuat helaian rambut tebalnya sedikit acak-acakan, bahkan ada yang mencuat di bagian belakang.

Rachel menarik nafas panjang. Mengapa ada orang sememesona ini? Pikirnya.

"Not really great, Sir. We're tired, sleepy, and hungry," celetuk Josh, anak laki-laki blasteran Inggris-Skotlandia dan Ponorogo. Cowok bertubuh tinggi dan wajah yang hampir seratus persen bule itu bukan jenis siswa yang menyenangkan. Ia lumayan usil dan kasar. Rachel bahkan curiga anak laki-laki di kelasnya akan tidak menyukai Mr. Milo. Mungkin karena iri guru baru itu mendapatkan banyak perhatian dari murid-murid perempuan, atau karena, well, honestly, history is just not a fun subject.

"Ah, so, you want to go home as soon as possible and take a rest? Meaning that you throw yourself to the bed with your phone and start playing online games?" jawab Mr. Milo sarkastis.

Kini Josh yang menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian mengangkat bahu.

"Ow ow, a flood of facts!" ujar Dwi, sahabat karib Rachel tak bisa menahan diri.

"Alah, you juga do the same kok!" balas siswa laki-laki lainnya, membela Josh.

"Yeah, at least kami nggak mengeluh mau pulang cepat karena capek dan ngantuk. Semua juga capek dan ngantuk," seloroh Dwi kembali.

Kelas langsung riuh karena para siswa saling berbalas serangan.

Mr. Milo tertawa, kemudian mengangkat tangannya.

Bagai seorang wizard, gerakan tangannya adalah sihir tanpa mantra, seluruh kelas terdiam.

Bahkan masih dengan tersenyum, Mr. Milo berkata, "Don't worry, we'll be home soon. But, I don't want you to miss a fun thing. What is it? My class! I bet you haven't experienced the wonder of history, right?"

And the rest is history! Dalam arti sesungguhnya.

Pelajaran sejarah tidak pernah semenarik ini bagi Rachel. Dan ia bersungguh-sungguh. Bahkan pada pertemuan pertama itu, ia sudah suka dengan Mr. Milo.

Sungguh suka!

Anehnya lagi, bahkan anak-anak laki-laki di kelasnya juga tidak bisa lari dari pesona sang guru baru.

Mr. Milo adalah guru yang knowledgeable. Pintar. Ia tidak hanya menguasai materi, tetapi juga mampu membuat kelas terasa menyenangkan dan bermakna. Ia bercerita bagai seorang pendongeng modern yang memberitakan teori konspirasi.

Pertemuan pertama yang hanya berjalan selama enempuluh menit itu sudah membuat Rachel memutuskan bahwa ia sudah jatuh hati dengan seorang Mr. Milo.

Dengan lancangnya Rachel menatap lekat-lekat gerak bibir gurunya tersebut yang boros membuka untuk memberikan senyuman tipis maupun lebar. Rachel harus menahan rahangnya agar tak terbuka ketika sepasang matanya menelusuri lekuk pipi, dahi sampai ke leher Mr. Milo.

Baru kali ini dalam sejarah hidup Rachel, history menjadi mata pelajaran yang bakal menyenangkan. Cara Mr. Milo berkisah, memberikan hubungan antar kejadian di sana-sini, serta bahkan menampilkan kegunaan praktis dari pengetahuan sejarah di kehidupan manusia masa kini tersebut mampu membuka pikiran para siswa. Terutama anak laki-laki. Dan itu, sekali lagi, baru dimulai dalam satu jam pelajaran saja!

Waktu berjalan terlalu cepat bagi Rachel saat itu.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang