15. Chitchat

97 11 0
                                    

Hari pun berlalu seperti biasa setelah kejadian itu. Hanya saja Jeonghan dan aku jadi jarang berkomunikasi karena jadwal kami masing masing. Mempersiapkan comebacknya yang semakin dekat, Seventeen sepertinya sangat sibuk belakangan ini. Mereka bahkan berlatih terus menerus sampai melihatnya saja sudah bisa membuatku terkapar 7 hari 7 malam.

Bisa bisanya aku ngomong begitu padahal aku sendiri hampir tewas karena deadline. Gapapa semoga kuat sampai tamat walaupun sejujurnya hati mungilku sudah menangis.

Tetapi bagaimana ya pendapat Jeonghan kemarin? Aku belum sempat berbicara berdua dengannya lagi. Ia tampak berlatih dengan normal. Tidak ada perubahan sama sekali. Apa hanya aku yang kepikiran gitu ya?

Kulihat keluar jendela, lagi lagi hari sudah menunjukkan bulan. Inilah kerasnya kehidupan. Terus bekerja dari pagi sampai malam. Tetapi dibalik itu semua, rasa lelahku hilang begitu saja waktu bersama Seventeen. Mereka benar benar sumber kekuatanku.

"(Y/n)-ah kau lembur lagi?" tanya seorang staff perempuan dari seberang mejaku. "Hari ini aku saja. Kamu mending istirahat dulu. Dari kemarin kamu lembur terus. Ga baik buat kesehatan."

"Ah.. engga kok eonni. Kagok dikit lagi abis itu aku tidur. Terima kasih tawarannyaa," balasku sopan dan kembali melanjutkan pekerjaanku.

Tidak butuh waktu lama aku akhirnya terbebaskan dari kursi putar yang sudah kududuki selama kurang lebih 10 jam hari ini. Setelah berpamitan, aku menelusuri lorong dengan pikiran kosong.

"Maaf ya eonni aku kepingin jalan jalan dulu hehe. Abis ini beneran deh aku bakal tidur," gumamku waspada sembari menoleh kanan kiri. Aku harus pergi sebelum noona menemukanku dan mengomeliku.

"Eh? Kok ruang latihan masih nyala lampunya? Ada yang masih latihankah? Tapi udah larut banget ini?" Aku mengerenyitkan dahiku bingung. "Bukannya latihan mereka udah beres daritadi ya?"

Alhasil aku malah menghampiri ruang latihan. Kulihat pintunya terbuka sedikit karena tidak tertutup rapat jadi kuintip saja. Dan betapa terkejutnya aku mendapati Dino yang tergeletak di lantai begitu saja.

"DINO!" pekikku lalu tanpa pikir panjang aku menopang kepalanya dipangkuanku. "Dino!! Astaga kamu ngapain masih latihan sampe jam segini!?"

"Ah.. noona? Halo hehe," kekehnya dengan raut wajah yang sudah jelas kelelahan. Bisa bisanya ia masih tertawa dalam keadaan begini?

"Aku masih harus latihan. Tarianku masih jelek.. Aku harus-," Dino kemudian berusaha berdiri namun sempoyongan. Ia bahkan tidak bisa menahan tubuhnya.

"Din, sumpah mending kamu istirahat dulu. Kamu kecapean itu. Jangan dipaksa," Aku berusaha menghentikannya berlatih lagi.

"Ga bisa. Harus sampe sempurna baru.."

"DINO!" teriakku membuatnya terdiam dan mengamatiku.

"Hentikan. Kumohon," lirihku lagi.

"Baiklah.. karena noona memintaku," Dino dengan cepat menjatuhkan tubuhnya. Nah kan. Ia terlihat tidak sehat dan masih memaksakan untuk berlatih. Bisa kulihat keringat terus bercucuran dari tubuhnya.

"Tolong jangan panggil aku begitu. Noona serem kalo mode marah..," bisik Dino sesudah berhasil menyenderkan tubuhnya pada dinding ruang latihan.

"Suruh siapa ga mau denger," omelku sembari duduk disebelahnya. Aku mengusap keringatnya menggunakan sapu tanganku.

Dino membiarkanku melakukan sesukaku. Sesekali ia mengalihkan pandangannya. Setelah beres ia hanya terdiam. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Jangan terlalu memaksakan diri, Din. Latihan boleh tapi jangan sampai mengorbankan kesehatanmu," Aku menatapnya hangat.

"Noona ga akan ngerti."

Aku memiringkan kepalaku berusaha memahami maksudnya sedangkan Dino malah membuang mukanya ke arah lain. Kuhela nafas panjang sebelum kutarik dia ke dalam pelukanku. Aku mengusap kepalanya pelan.

"Ya sudah kalau memang tidak ingin ngobrol denganku gapapa kok. Tapi sekarang tolong istirahat ya? Aku yakin kamu tahu tubuhmu perlu istirahat. Ya kan?"

"Noona ga tau gimana orang orang ngehakimi aku gara gara hal sepele. Bahkan di saat aku tidak membuat kesalahan pun, masih saja ada celah untuk mereka mengomentariku. Makannya aku masih latihan tadi," bisiknya pelan. Suaranya serak sepertinya ia berlatih menyanyi juga.

"Aku trauma dihakimi orang orang yang hanya melihat satu sisi diriku. Diriku yang kutampilkan di depan kamera saja. Kalau saja aku tidak berlaku seperti itu, aku akan dihakimi. Padahal aku juga manusia dan jujur saat ini aku lelah."

Dalam diam aku mendengarkannya dengan seksama. Sesekali terdengar isakan pelan darinya. Aku mengusap kepalanya lembut dan hanya membiarkannya mencurahkan isi hatinya.

"Menurut noona bagaimana?" Dino mengangkat kepalanya dan berusaha tersenyum manis.

"Itu pasti menyebalkan ya? Aish aku juga jadi kamu bakal keseeel bangeeet," omelku melipat tanganku seolah olah marah besar. Dino tertawa kecil melihat kelakuan kita yang terbalik.

"Tapi kamu tahu ga Din? Ternyata di dunia ini, jadi diri kita sendiri tanpa peduli pandangan orang lain itu bisa bikin kita bahagia banget loh," Aku tersenyum simpul. Dino tertegun sebentar sebelum ia mengganguk setuju dan memainkan sapu tanganku tadi.

"Terus kamu tuh maknae tapi kenapa kamu dewasa sekali sihh," celetukku lagi.

"Engga kok.."

"Gapapa kok jadi sesekali jadi maknae. Aku tahu mungkin sulit bagi kamu buat bersikap seperti itu karena orang orang mengharapkanmu menjadi seorang yang dewasa sejak kecil. Apalagi kamu anak pertama ya? Tapi di sini kamu maknae kan Din? Paling kecil disini. Bayi kami. Mau umur kamu 60 pun masih tetep sama."

Kulihat mata Dino mulai berkaca kaca namun ia dengan sok keren menghapus air matanya sebelum keluar dari tempatnya.

"Aku yakin kamu bisa mengandalkan para hyungmu. Mereka bakal selalu ada buat kamu yakin deh. Aku ga tahu persis gimana perasaanmu saat ini, tapi jika dibolehkan, aku juga ingin jadi salah satu pundakmu untuk bersandar. Jahili aku, gangguin aku, bikin repot aku jika kamu memang perlu. Lenganku akan selalu terbuka lebar untukmu. Datanglah kapan saja oke?"

Aku tersenyum lega ketika Dino tersenyum lebar dan menunjukkan sederetan gigi putih miliknya. Ia begitu manis saat tersenyum.

"Jangan lagi ngerasa harus nanggung semuanya sendiri. Pasti berat untukmu ya? Kita bisa hadapi ini bersama. Aku tahu dan aku paham rasanya hidup dibawah tekanan dari pandangan orang sekitar. Bohong kalau kamu berkata kamu pasti baik baik saja. Jangan pernah berpikir kau sendirian. Oke?"

"Iya noonaa" balas Dino pelan tetap dalam posisi yang sama. Tidak lama setelah itu ia terlelap dalam pelukkanku.

"Din? Jangan tidur disini dongg," Aku berusaha mengguncang tubuhnya namun nihil. Aku menghela nafas pasrah. Satu sisi aku ingin pergi ke kamarku dan satu sisi tidak tega membiarkan bocah ini tertidur sendirian di ruang latihan.

Apakah aku harus tidur disini? Fix besok kena marah eonni deh. Aku yang nyuruh istirahat tapi aku yang ga istirahat gimana ini. Bisa bisa aku kena omel eonni 24/7. HUWA TIDAKK.

"Tidur sana aku yang bawa Dino."

Aku yang tadinya sudah setengah mengantuk jadi bangun lagi karena melihat Jeonghan sudah di ambang pintu.

"Hannie oppa! Kok belum tidur?" sapaku pelan takut membangunkan Dino yang masih tertidur dipundakku.

"Ga ada urusannya denganmu," balas Jeonghan ketus dan dengan cepat memindahkan tubuh Dino ke punggungnya.

"Galak banget. Pms ya?" candaku sembari berdiri.

Aku berdiam diri saat Jeonghan melihatku dengan tatapan kesal. Tanpa mengubrisku, ia pergi berlalu dengan Dino meninggalkanku sendiri.

Kenapa belakangan aku kena marah semua orang ya? Huhu. Kali ini kenapa lagi ya ampun..

Unspoken Love || Yoon JeonghanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang