Curhat Sahabat

509 17 20
                                    

# Curhat Sahabat #

Siang itu, mentari tak kunjung menampakkan sinarnya. Masih setia bersembunyi di balik awan yang berarak sembari meneteskan air hujan. Angin dingin yang berhembus memainkan anak rambutku yang tidak masuk dalam kunciran.

Lebih dari lima belas menit aku diam terhitung sejak kedatangannya. Dan aku tahu, dia masih menungguku untuk bersuara, walau perhatiannya terfokus pada ponsel yang berkali-kali bergetar.

"Gue suka sama seseorang," kataku pada akhirnya.

Tatapannya teralihkan padaku. "Gue tau—"

"Permisi. Satu latte macchiato dan satu caramel frappucino." Suara sang Barista menginterupsi percakapan kami. "Ada yang mau dipesan lagi?" Aku menggeleng menjawab tawaran itu. "Selamat menikmati."

"—dan gue juga tau siapa orangnya," sambung orang yang duduk di hadapanku. Ponsel di tangannya telah menghilang, ditenggelamkan dalam tas tangan yang biasa ia bawa.

Aku terkejut mendengar apa yang dia katakan. Dengan kepala tertunduk dan jemari yang tertaut di bawah meja, aku menekan rasa gugup yang terus memuncak. "Apa keliatan jelas?"

"Nggak. Gue tau gitu aja." Dia menghembuskan nafas pelan. "Jangan remehin gue! Kita udah kenal lama. Apa yang nggak gue tau tentang lo?!" ucapnya yang membuat sedikit santai.

"Sorry. Gue harap ini cuma sementara."

Dia menyatukan kedua alis, menatapku heran. "Hah? Maksud lo?"

Aku mendecih dan menggeleng pelan, agak gemas dengan sikapnya. "Nggak usah pura-pura bego, deh."

"Gue emang beneran nggak ngerti, pea."

"Maksud gue ...." Aku berhenti sejenak, memikirkan kalimat yang pas untuk menjelaskan. "... gue berharap perasaan gue cuma sebatas crush doang, nggak lebih."

"Ngomong apa sih lo?! Jelas-jelas lo udah suka sama dia. Nggak usah pake nyangkal lah," katanya membuatku merasa sungkan.

"Tapi dia sayang banget sama pacarnya," kataku miris. Aku mengalihkan mata ke arah jalan yang basah. Merasakan bau yang masuk ke indera penciuman, bau khas hujan. "Bahkan dia nulis nama 'Aline' di gitar kesayangannya," cicitku.

Beberapa detik kami terdiam, kemudian ia mencodongkan tubuhnya ke arahku. "Dia emang nulis itu di gitarnya, tapi apa lo tau nama siapa yang ada di hatinya?"

Aku meliriknya sejenak, melihat manik matanya yang bergerak-gerak menatapku. Ada rasa bersalah yang muncul di dadaku. Kusesap caramel frappucino di meja yang mulai mendingin. Pahit. Rasa itu yang tersisa di kerongkongan.

Hujan mulai mereda, meninggalkan tetes-tetes air di dahan yang jatuh tepat di payung yang manaungi meja kami. "Itu bukan berarti gue 'kan? Terlalu jahat kalo gue berpikir begitu." Kejam dan tega lebih tepatnya.

"Jahat? Say, jaman sekarang, tikung menikung itu udah biasa." Entah apa yang ada di dalam kepalanya sampai dia punya pemikiran itu.

"Tikung menikung? Heh, lo pikir gue Lorenzo."

Dia tertawa mendengar kalimat bernada sarkastisku, tapi aku serius, yang kami bicarakan bukan bahan obrolan yang cocok dijadikan bercandaan. Ini soal perasaan, dan perasaan itu tidak pernah bercanda. "Gue punya satu kutipan buat lo."

"Susah ya anak sastra. Mainannya kutipan terus. Pasti ini dari salah satu buku lapuk yang numpuk di kamar lo itu 'kan?" tanyaku yang kembali teringat dengan keadaan kamar kosnya yang mengenaskan. Novel, komik, kamus dalam berbagai macam bahasa ada di sana, hasil berburu di BBC atau Bandung Book Centre.

Sahabatku nyengir dan ber'hehe' ria, menampilkan deretan gigi putih yang dihiasi behel berwarna bening. "Listen. Kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tidak pernah menyatakan cinta kepadamu, karena takut kamu berpaling dan memberi jarak." Ia menggerak-gerakkan jarinya di depan mukaku. "Dan bila suatu saat dia pergi, kamu akan menyadari bahwa dia adalah cinta yang tidak kamu sadari."

Aku mendecih melihat gaya sok bijaknya. "Lo berusaha ngehibur gue?"

"Nggak. Gue cuma mau ngingetin. Jangan biarkan penyesalan dateng!" Satu tangannya yang tadi ada di depanku ia jatuhkan ke meja, menghasilkan satu gebrakan pelan.

"Lo sadar nggak apa yang lo ucapin itu bisa membangkitkan harapan?" tanyaku sembari memainkan ujung sweaterku yang agak basah karena terkena cipratan air hujan tadi.

"Dia juga mencintai lo." Ini hal terbodoh yang pernah ia katakan. Boleh aku minta kapak untuk membedah kepalanya agar tau virus apa yang menjangkit otaknya?

"Cinta cinta cinta. Bullshit. Omong kosong." Aku mendengus. "Terlalu percaya diri kalo gue berpikir gitu."

Sontak dia berteriak, "itu bukan omong kosong!" Setengah pengunjung café memandang kami tak suka. Dia mengaduk latte macchiato-nya yang dingin, menghilangkan gugup sekalian mengendalikan diri. "Gue tau, dari cara dia ngeliat lo dan cerita tentang lo," ucapnya dengan volume suara yang lebih kecil.

"Gue belum bisa percaya. Dia emang selalu gitu sama semua orang," ujarku agak ragu.

"Nggak. Cara dia liat lo itu beda. Sayangnya, lo dan dia sama-sama belum sadar." Kali ini, dia menegak latte macchiato miliknya hingga tandas. Menyisakan segaris sisa kopi di atas bibir. "Tapi—"

"Hai." Suara itu muncul dari belakangku. Ezra datang tiba-tiba bak setan di siang bolong. "Ngapain di sini?"

"Menurut lo?" Pertanyaan itu keluar dari mulut sahabatku.

Ezra mengetuk-ngetuk jarinya di dagu, pura-pura berpikir. "Um ... makan, ngopi, ngegosip, ngerumpi." Ia tertawa, membuat matanya yang kecil makin menyipit.

"Apa bedanya ngerumpi sama ngegosip, sayang?" tanya sahabatku sambil memutar bola mata karena jengah melihat kelakuan Ezra.

"Nggak ada," jawab Ezra sok polos. Tiba-tiba ia mendekatkan kepalanya padaku sehingga aku sedikit mundur untuk memberi jarak. "Hai. Kenapa? Tumben diem. Lagi sariawan?"

"Apaan sih, Zra?!" Lagi, ia tertawa jenaka. Sifat yang sangat dominan padanya.

"Ezra."

Yang dipanggil mengalihkan perhatiannya dariku. Menoleh pada perempuan di depanku. "Ya?"

"Nanti malam, ada yang mau gue omongin," kata sahabatku pada Ezra.

"Tentang?"

"Tentaaang ... sesuatu."

Ezra hanya diam, tidak menuntut sebuah jawaban. "Oke. This is girl's time. Kalau begitu, bye." Ia bertolak dari tempat kami, menuju tempat temannya menunggu di dalam.

"Sampai mana kita tadi? Oh, iya—bisa gue buktiin kalau orang-yang-lo-anggap-nggak-suka-sama-lo itu nggak akan kecewa ketika pacarnya mutusin hubungan mereka."

Aku terpekur. Arah pembicaraan ini mulai melantur. "Cukup. Gue ada kelas setelah ini." Aku bangkit dari dudukku, lalu menaruh beberapa lembar uang di atas meja. "Kali ini biar gue yang traktir."

"Sip. Sering-sering aja traktir gue. Bye, Riri."

Aku tersenyum. "Bye, Aline."

END

Sabtu, 6 Juni 2015

Curhat SahabatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang