Jordan

13 3 0
                                    

Jordan yang jangkung itu berjalan di samping Sophia. Keduanya sudah melambaikan tangan ke arah ketiga sahabat Sophia dari geng Four Musketeers untuk saling berpamitan pulang.

"What's in your mind, Babe?" tanya Jordan. Suara cowok bule itu rendah dan dalam, berkebalikan dengan tubuhnya yang tinggi luar biasa.

"Jordan, I told ya, don't call be Babe. And how do you know I'm thinking about something?" balas sang pacar.

Sophia memang memiliki sifat seperti itu. Cara berbicaranya selalu terkesan sinis dan ketus, tidak peduli ia sedang berbicara dengan kekasihnya sendiri. Tapi Jordan paham itu. Bahkan salah satu alasannya menyukai Sophia adalah dari sifatnya yang seperti susah ditundukkan itu. Karena jauh di dalam sana, Jordan paham bahwa Sophia adalah gadis yang peka, tetapi ditutupi oleh cangkang dingin dan kakunya.

"Alright, are you thinking about Mr. Milo?"

Sophia melirik tajam ke arah pacarnya, hampir mendongak karena saking tingginya Jordan. "Are you serious right now, Jordan? Are you jealous or something?"

Jordan tertawa. Ia merangkul bahu Sophia dan menariknya mendekat. Sophia tidak bisa mengelak dan memang tak hendak mengelak. Ia suka dengan bahasa tubuh pacarnya itu. "Who said something about being jealous? I'm just saying that Mr. Milo is a thing in our school now. He doesn't teach us, but I bet this Milo thing gives you something and affects you somehow. You are allowed to share it to me," ujar Jordan.

Rangkulan tangan Jordan di bahu Sophia tidak dilepaskan sampai mereka melewati area parkiran. Jordan membukakan pintu dan membiarkan Sophia masuk ke dalam mobilnya.

Lima menit pertama Jordan membiarkan Sophia dengan pikirannya sendiri. Ia sudah hapal karakter pacarnya itu.

Benar saja, Sophia langsung menghamburkan unek-unek di dalam pikirannya di dalam perjalanan pulang. Saking banyaknya yang disampaikan, Jordan memutuskan untuk mengambil jalan berputar agar dapat lebih jauh sampai ke rumah Sophia. Ini agar semua hal yang ada di dalam pikiran dan hati gadis itu dapat tersampaikan.

Sophia menjelaskan kepada Jordan bahwa ia curiga Rachel jatuh cinta dengan Mr. Milo, bukan sekadar suka.

Jordan tidak protes, dan mendengarkan saja apa kata Sophia. Sekali dua ia mengangguk, agar tidak dipikir tidak setuju, apalagi tidak acuh.

Sophia mengaku kenal sekali dengan sahabatnya itu. Rachel tidak bisa menutupi perasaannya karena wajah dan bibirnya memerah setiap ada perubahan emosi tertentu.

Permasalahannya, bagi Sophia, Mr. Milo adalah seorang guru. Ia memiliki fungsi dan posisi yang tidak memungkinkan untuk memiliki hubungan yang tidak profesional dengan muridnya. Lagipula, Mr. Milo menurutnya overrated, alias agak dilebih-lebihkan. Ia tidak melihat hal yang baik dari guru baru itu. Mungkin memang tidak adil mengatakan bahwa Mr. Milo adalah guru yang buruk, toh ia tidak melakukan kesalahan apa-apa sampai sekarang. Namun, bila sampai dipuja, itu jelas berlebihan.

Jordan sesungguhnya ingin mengatakan bahwa Sophia yang mungkin berlebihan. Menyukai guru baru yang masih muda dan mungkin menarik bagi beberapa murid perempuan, wajar-wajar saja. Tidak perlu berpikir terlalu jauh. Tidak akan ada hubungan apapun antara murid perempuan Uni-National manapun dengan Mr. Milo, apalagi Rachel.

Tapi bahkan tanpa mengucapkan apapun, Sophia seperti sudah dapat membaca pikiran kekasihnya itu.

Sophia tidak mau Jordan menyepelekan perasaan seorang perempuan. Jangan pula berpikir bahwa Rachel tidak cukup dewasa dan hanya memiliki rasa sekelas cinta monyet belaka. Bila Jordan berani beranggapan seperti itu, sama artinya dengan menganggap cinta diantara ia dan Jordan ini tidak ubahnya cinta monyet belaka.

Mendengarnya, Jordan tersenyum simpul. Sophia meninju bahu pacarnya itu pelan, gemas, sekaligus sebal.

"Hey, Babe. I didn't say anything, okay?" protes Jordan, menahan senyuman.

"Would you just listen? And don't call be Babe!" jerit Sophia kesal.

Jordan langsung mengangguk. Wajah dingin serta sedikit sadis Sophia membuatnya gentar. Tetapi di sisi lain, ia semakin tahu bahwa gadis itu jelas-jelas memiliki perasaan yang sama besarnya dengan dirinya. Maka, Jordan memilih kembali diam dan mengangguk-angguk.

Menurut Sophia, Rachel harus sadar bahwa ia tidak bisa berlarut-larut di dalam perasaan terhadap sang guru tersebut. Belum lagi usia keduanya yang mungkin sekali terpaut jauh. Apa kata dunia bila sampai Mr. Milo sungguh bisa memiliki hubungan khusus dengan murid perempuannya. Sophia mengatakan ia tak bisa membayangkan bila yang dipacari itu adalah Rachel.

Yang paling bermasalah bagaimana bila Mr. Milo memainkan perasaannya? Mr. Milo adalah seorang laki-laki dewasa, sedangkan Rachel masih memiliki emosi yang tidak stabil serta perasaan yang murni. Mr. Milo bisa saja tinggal memilih murid perempuan yang mana saja untuk dijadikannya pacar, kemudian dicampakkan begitu saja. Sophia tidak mampu memikirkan bagaimana hancurnya hati Rachel bila sampai ini terjadi pada dirinya.

Tentu saja Jordan masih menganggap apapun yang disampaikan Sophia terlalu jauh. Mungkin memang ada rasa khusus yang sedikit berbeda dari Rachel kepada Mr. Milo dibandingkan dengan siswi-siswi perempuan lain, tapi untuk sampai kepada kesimpulan itu, Jordan merasa jauh.

Tapi, mau bagaimana, Rachel adalah sahabat Sophia. Perhatian dan kekhawatiran Sophia terhadap Rachel juga sangat wajar.

Bagi Jordan, Sophia adalah gadis yang penuh dengan pertimbangan. Gampangnya, Sophia adalah gadis sekolah yang cukup memiliki pikiran dewasa. Tidak seperti Silvia, mantan pacarnya dulu, yang memiliki sifat kekanak-kanakan dan manja yang kental. Dengan Sophia, Jordan menjadi lebih serius dalam banyak hal. Ia mengurangi sikap sombong dan songongnya sebagai seorang bintang basket dan idola sekolah. Ia lebih banyak bersungguh-sungguh dalam pelajarannya.

Ini tidak main-main. Seorang Sophia membuat Jordan menjadi versi terbaik dirinya sendiri. Paling tidak Sophia telah membuatnya berusaha seperti itu.

Gadis dingin, kaku, sinis dan cukup galak itu membuat Jordan tahu batasan, paham prioritas dan membuat kehidupan sekolahnya lebih teratur.

Di satu sisi, Jordan merasa anggapan Sophia tentang perasaan Rachel kepada Mr. Milo berlebihan, tetapi di sisi lain, ia sendiri merasa bahwa Sophia adalah pasangan yang paling tepat buatnya. Bahkan ia berkali-kali mengimpikan untuk kelak akan berhasil menikahi Sophia dan hidup bersama dengannya.

Bagaimana ini tidak berlebihan mengingat ia dan Sophia masih duduk di sekolah menengah atas?

Jordan membukakan pintu mobilnya buat Sophia ketika telah sampai tepat di depan rumahnya.

Sophia di awal-awal mereka berpacaran dahulu, sejatinya, menolak perlakukan dan kebiasaan Jordan ini. Namun Jordan memaksa dengan mengatakan bahwa paling tidak inilah hal yang bisa ia lakukan sebagai kebiasaan karena telah membiarkan dirinya mencintai Sophia.

Sekaku dan sedingin-dinginnya Sophia, ucapan seorang Jordan, dengan wajah rupawan dan mata kebiruannya itu tentu membuatnya luruh.

Maka, sampai sekarang, Sophia membiarkan Jordan untuk tetap membukakan pintu mobil untuknya.

"Don't worry. You'll have the time to do something about it. If you believe in a friendship, it will find a way for you guys," ujar Jordan sembari memegang kedua bahu pacarnya itu lebut.

"I hope so, Jordan. Thanks for listening to me, by the way," balas Sophia. Kalimatnya itu ditutup dengan sebuah senyuman singkat.

Jordan sudah menunggu senyuman mahal ini. Kecantikan Sophia langsung menyeruak dari balik raut wajah dingin dan kakunya tersebut. Jordan menghela nafas dan bersyukur Sophia sudah menjadi miliknya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang