Di bawah topeng ketenangan, kian runyam jiwa bergejolak. Sorot mata tertuju pada pemandangan apik dari persembahan anak-anak yang menampilkan berbagai kesenian, namun yang dia lihat justru hal lain.
Di tangannya, Dihyan memegang ponsel yang layarnya masih terlihat menyala, menampilkan ruang obrolan bersama Haris. Ada beberapa pesan suara terbaru yang belum dia dengarkan dan mungkin belum mau dia dengarkan sebelum benak tertata rapi.
Dihyan menghela napas panjang. Kembali dia mengalihkan perhatian ke arah layar ponsel dan menggulir kumpulan pesan dari Haris berupa pesan suara yang masih belum dia dengarkan.
"Yan?"
"Hm?"
"Diam aja kamu. Kenapa?"
"Gak papa."
Jika yang bertanya itu bukan Janied, maka kalimat gak papa akan berpengaruh mengalihkan perhatian. Namun sayang, Janied terlampau peka luar-dalam mengenai gelagat Dihyan.
"Gak usah sok nyembunyiin keadaan. Kamu kenapa?"
Dihyan tersenyum hambar. Agak mentertawakan dirinya saat ini yang entah kenapa menjadi tidak begitu antusias dengan apapun kendati sering terdistraksi dengan kesenangan dari kegiatan ini.
"Semalam, Haris nyepam voice note."
"Apa?"
"Gak tahu. Belum aku dengerin sampe sekarang."
"Ya dibuka! Siapa tahu penting."
Cowok itu lantas memindahkan atensi pada Janied yang nada bicaranya sedikit lebih tegas dari biasa. Senyum hambar masih tercetak jelas bersama sorot berkabut yang menutupi binar.
"Paling juga caper. Dia, kan, suka gitu."
Jujur, agak tercengang dengan kalimat Dihyan saat ini. Janied mengerutkan dahinya heran, tak percaya dengan apa yang dia dengar dari sahabatnya ini.
"Caper maksud kamu?"
Dihyan sadar dengan apa yang dia katakan. Bibirnya merapat sembari mengalihkan pandangan dari Janied. Dia juga merasa menjadi jahat akibat hatinya sendiri.
"Aku berniat kabur dari suasana rumah. Mencari kesenangan sendiri tanpa menerima keluhan apapun. Tapi Haris-"
"Dihyan!" Janied memotong perkataan Dihyan dengan sedikit menaikkan nada bicaranya. "Kamu terlalu melewati batas kayanya. Haris itu adik kandung kamu, loh."
"Aku udah ngerasa jadi kakak yang jahat buat Haris dari dulu. Kamu, kan, udah tahu sendiri."
"Kamu menjaga jarak demi bisa gak ngerasa rendah diri. Oke, aku ngerti. Tapi jangan terlalu jauh. Biar bagaimanapun Haris masih butuh kamu. Jangan sampai kamu yang nyesel nanti, Yan."
Terdiam. Tidak adanya kelapangan di dalam dadanya, membuat langkah kaki pontang-panting mencari di mana itu letak ketenangan. Sakit hati menenggelamkannya agar terus merasa paling sakit di antara yang lain. Kekurangan yang dimiliki terus diratapi, tak dijadikan motivasi. Dia terus berlari dan tidak mencoba untuk berdamai.
Menyesal?
Mendengarnya, Dihyan seolah ditampar sekeras-kerasnya. Cemas kemudian menerpa, menjalar ke seluruh tubuh, menyambungkan rasa dari hati ke benak.
Tanpa berujar lagi, dia melenggang pergi meninggalkan pementasan. Menepi di tempat yang sepi dari orang-orang, lantas mulai mendengarkan satu-persatu pesan suara yang sama sekali belum dia ketahui isinya apa.
"Mas, kata papah ... antrian yang seharusnya giliran aku buat dapetin donor, malah diserobot orang lain. Jadi aku harus nunggu lagi, gak tahu sampai kapan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi Garis Tangan | Selesai
Ficção AdolescenteHanya seseorang yang ingin tenang tanpa mengharapkan apapun. [Family, Brothership] ©2023