...

387 2 2
                                    

Namaku Clara. Umurku 8 tahun. Aku sekolah kelas 2 sekolah dasar yang tidak jauh dari rumahku. Aku punya seorang adik perempuan. Namanya Chacha. Aku tinggal dengan ibuku dan ayah tiriku. Ayah kandungku sudah meninggal ketika aku berumur 5 tahun karena kecelakaan saat bekerja. Aku sayang mereka semua. Tapi ayah tiriku itu aneh. Dia selalu nggak pulang sampai berhari-hari. Ibu bekerja sebagai karyawan di perusahaan pakaian. Ibu sering pulang pagi karena pekerjaannya. Jadi, aku selalu berdua dengan Chacha menghabiskan waktu di rumah.

Suatu hari, aku sedang makan malam bersama Chacha. Ayah tiriku pulang secara tiba-tiba dengan membawa seorang teman. Ntah kenapa,aku merasa mencium bau yang aneh dari mereka. Ayah duduk di ruang tamu bersama temannya dan menyuruhku untuk mengambil air minum dengan membentakku. Chacha terlihat ketakutan, wajahnya yang memucat dan tangannya yang gemetar memegang bajuku dari belakang. Suara benda yang pecah dan teriakan ayahku yang keras tiba-tiba terdengar dari arah ruang tamu. Dengan tangan yang terus gemetar, aku mengisi air ke dalam gelas. Aku takut. Chacha menarik bajuku semakin kuat dan ia pun menangis. Aku pun semakin bingung, berharap bahwa ibu akan segera pulang. Ayah berkali-kali meneriakkan namaku, dan tak jarang pula ayah meneriaki aku dengan kata-kata yang membuat ibu memarahiku ketika aku mengucapkannya. Aku berjalan dengan takut-takut ke arah ruang tamu dan segera meletakkan air minum ke atas meja. Ayah dan temannya terus berbicara dengan aneh, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku tidak suka keadaan ini. Chacha menangis, yang membuat ayah marah dan membanting gelas kaca yang ia pegang hingga pecah serta menarik tangan Chacha dengan kasar. Ayah menampar pipinya karena Chacha menangis semakin keras. Aku menarik Chacha dan mendorong ayah, meskipun aku sempat dipukul oleh ayah ketika menarik Chacha. Aku takut, aku berlari ke arah kamar bersama Chacha. Aku mengunci pintu kamar dan bersembunyi ke dalam lemari baju. Jantungku berdebar sangat kencang, keringat mengalir di seluruh tubuhku. Chacha menangis daam pelukanku. Dia terus mengeluhkan pipinya yang sakit dalam isakan tangisnya. Aku berusaha menenangkannnya hingga akhirnya aku tertidur dengan memeluk Chacha.

Aku terkejut saat sebuah ketukan di pintu kamar dengan diiringi sebuah suara perempuan. Ibu? Aku membangunkan Chacha dan keluar dari dalam lemari dan membuka pintu. Ibu terlihat heran melihat keadaan kami, terlebih ketika melihat pipi Chacha yang membengkak. Ibu memarahiku karena tidak menjaga Chacha dengan baik. Aku mengadukan perbuatan ayah semalam terhadap kami, tapi ibu malah membela ayah. Aku sedih. Apa mungkin ibu sudah tidak sayang lagi kepada kami?

Sore itu, ibu tidak pergi berkerja karena besok adalah hari libur di kantornya. Aku dan Chacha bermain-main di ruang televisi. Secara tiba-tiba, aku teringat ayah tiriku dan berkata pada ibu bahwa ayah tiriku itu orang yang jahat karena sudah memukul kami. Ibu terlihat marah dan berkata bahwa aku adalah anak yang nakal karena mengatakan hal yang tidak baik kepada ayah. Aku kesal. Ternyata ibu sudah tidak sayang lagi kepadaku. Dia tidak mempercayai lagi omonganku.

Setelah membersihkan rumah, ibu pergi berbelanja dengan membawa Chacha bersamanya. Aku meminta untuk ikut bersama ibu, namun, ibu berkata bahwa aku harus berada di rumah karena ayah akan pulang. Aku tetap meminta ikut. Aku sangat takut berjumpa ayah. Aku takut ayah akan memukuli aku lagi. Ibu marah dan berkata kalua aku sudah menjadi anak yang egois dan manja. Ibu pun pergi meninggalkanku. Tak lama setelah ibu pergi, suara ayah terdengar dari balik pintu depan. Ketukan di pintu semakin besar. Dengan takut-takut, aku membuka pintu. Jantungku berdebar sangat kencang yang membuatku bergerak mundur secara perlahan. Ayah pun masuk ke dalam rumah, tapi, berbeda dengan saat ia pulang semalam. Aku merasa sedikit tenang, mungkin ayah sudah tidak marah lagi. Ayah menuju ke dapur dan mulai meminum isi sebuah botol yang dia keluarkan dari dalam tas ransel yang ia bawa. Samar-samar, aku menghirup bau yang semalam sempat aku hirup sebelum ia memukul kami. Aroma yang sama. Aku bergerak menjuah dari ayah, namun, ayah menyuruhku untuk duduk di sampingnya dan menemaninya minum. Aku menolak. Aku takut ayah akan lebih mudah memukulku bila ayah marah secara tiba-tiba. Ayah tersenyum dan berkata bahwa ayah tidak akan memukulku lagi seperti semalam. Meskipun ragu, aku pun duduk di kursi yang agak jauh darinya.

Dalam diam, aku mendengar ayah terus berbicara sambil sesekali meminta aku untuk berbicara. Aku mencoba untuk berbicara, tapi, rasa takutku membuat suaraku mengecil dan bergetar. Hal itu ternyata membuat ayah marah. Ayah melemparku dengan botol kaca yang sedang ia pegang dan pecah di bawah kakiku. Aku takut dan keluar dari ruang makan dengan berlari. Ayah mengejarku. Ibu, aku takut. Ayah membawa sebuah botol minuman di tangannya. Aku berlari ke arah pintu luar. Napasku terengah-engah, jantungku berdebar sangat kencang. Aku berteriak minta tolong. Tapi sayangnya, rumah kami berada jauh dari rumah tetangga. Area perkebunan dan persawahan mengelilingi sekitaran rumah kami. Aku berteriak sekuat tenaga untuk meminta tolong. Air mata yang mengalir dipipiku, sudah tidak aku hiraukan.ayah pun melempar botol di tangannya dan mengenai kepalaku. Sakit. Cairan merah itu mulai mengalir di sepanjang dahiku hingga aku pun jatuh telungkup. Aku mencoba bangun, tapi, ayah menarik kakiku dengan kuat. Aku mencoba melawan dengan menendangnya. Percuma, tenaga ayah lebih kuat. Ia malah berbalik menendang pahaku sekuat tenaga. Sakit, ayah. Kepalaku semakin sakit, tubuhku semakin lemas dan kesadaranku mulai hilang. Teriakan dan makian ayah terdengar sayup-sayup di telingaku. Aku kembali berusaha bangkit. Tiba-tiba, aku merasa suatu benda dibenturkan ke kepalaku hingga benda itu pecah. Ibu, tolong aku. Kepala dan badanku sakit sekali. Kulihat ke sisi kananku, dan kutemukan pecahan kaca di sampingku. Tetesan darah terus menetes menggenangi wajahku dan membuat lantai menjadi kemerahan.

Dalam sakitku, aku mendengar suara ketukan di pintu disusul dengan suara pintu yang terbuka perlahan. Samar-samar, aku melihat bayangan orang dewasa bersama seorang anak kecil di sampingnya. Apakah itu ibu dan Chacha? Teriakan mereka menggema di sepanjang ruangan. Ayah berlari dengan panik keluar dari rumah hingga menabrak ibu dan Chachadi depan pintu. Ibu berlari ke arahku dengan panik, terdengar isakan tangis Chacha di kejauhan bersama dengan teriakan namaku. Aku merasa tubuhku diguncangkan, aku tak sanggup bergerak lagi. Seluruh tubuhku sakit, lemah. Suara ibu dan Chacha semakin jauh. Wajah ibu terlihat basah oleh air mata. Ibu, aku tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan ayah. Aku hanya ingin ibu tahu bahwa ayah tidak sebaik yang ibu kira. Ibu, aku tidak bermaksud menjadi anak yang nakal, egois dan manja. Aku sayang pada ibu dan Chacha. Maafkan aku, ibu.

Aku tersenyum mengingat kisahku itu. Aku menyeruput minuman hangatku dan melihat ke arah luar jendela caffe. Aku melihat seseorang yang sedang aku cari. Dia adalah "mantan" ayah tiriku itu. Kurasa, cukup sampai disini dulu ceritaku. Aku harus pergi untuk sebuah "reuni" kecil bersamanya.

AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang