[28] Balas Dendam

15.2K 238 11
                                    

Tanu dan Seno lagi-lagi bertengkar karena masalah sepele, kali hanya karena makan siang. Padahal jam di dinding masih menunjukkan pukul sepuluh tetapi Seno sudah rempong memikirkan menu apa yang akan mereka makan nanti.

"Kamu, kan, pandai masak. Buatin lasagna dong," pinta Seno sambil mengedipkan matanya sebelah, berpose memelas bak anak anjing.

"Buat aja sendiri." Tanu malas menanggapi sibuk dengan ponselnya.

Hatinya cemas sudah tiga jam setelah berpisah dari Jennie, perempuan itu tidak ada kabar. Meskipun kejadian seperti ini memang kerap terjadi apabila Jennie memiliki jadwal sibuk di sekolah, hanya saja hatinya tidak bisa untuk tidak khawatir.

"Tangan kamu tercipta untuk memasak, sama temen aja pelit kamu, Nuuu. Coba aja Jennie yang minta, pasti kamu langsung kabulin."

Tanu mendelik mendengar nama gadisnya disebut, ia berdecak, melempar ponselnya ke atas meja berbahan kaca tebal. "Ya, permintaan kamu juga aneh banget Sen, bahannya gak ada dan aku males buatnya. Rendam mi instan aja sono."

"Halah. Masa liburan makanannya mi instan."

"Enggak ada yang nyuruh kamu liburan di sini Seno Prasetyo!"

"Santai aja ngomongnya Nu," ujar Seno agak ngeri melihat mata Tanu yang melotot ke arahnya.

Tampak jelas dalam keadaan seperti ini Seno tidak bisa bermain-main lagi. Seno menegakkan punggungnya dan berpindah tempat duduk ke samping Tanu, semula mereka duduk berhadapan kini sama-sama menduduki sofa panjang.

"Kamu beneran enggak mau pulang?" tanya Seno, kali ini tidak ada nada jenaka.

"Pulang kemana, Sen? Di sini adalah rumah aku."

Mata Tanu menatap lurus ke depan memandang rumah Jennie, rumah sepi yang saat ini penghuninya tidak ada.

"Gara-gara Jennie atau Ayi?"

"Kamu sudah tahu jawabannya."

Benar. Seno tahu jawabannya. Jika alasan kepergian Tanu adalah Ayi, maka alasan Tanu tidak mau kembali adalah Jennie.

Seno tahu, Jennie adalah bentuk penyesalan Tanu. Tanu tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Kemiripan Jennie dengan Ayi membawa perasaan yang awalnya hanya rasa kasihan menjadi rasa suka.

Namun, Seno jug tahu suatu kemustahilan mempertahankan hubungan itu.

"Aku bilangin ya, Nu. Kamu itu ibaratkan sudah tahu ending cerita bakalan sad ending, tapi tetap aja bacanya sampai akhir."

Tanu tidak menjawab, tetapi dalam hati menentang keras pernyataan Seno. Ia tidak mau akhir dari kisahnya dengan Jennie berakhir buruk. Tidak akan ia biarkan Jennie kenapa-kenapa, tak akan pernah ia mau meninggalkan Jennie.

"Lagian, kasihan dia Tanu. Jennie masih sangat muda, masa depannya masih panjang. Kamu tahu sendiri konsekuensi dari hubungan kalian, kamu pikir Tante Hanum akan membiarkan kalian begitu saja?"

"Maksudmu Jennie tidak punya masa depan bersamaku?" Tanu bertanya balik dengan tatapan sengit dan suara meninggi.

"Oh, Hell, Nu. Jangan pura-pura bodoh. Jelas tidak ada. Tante Hanum akan melakukan apa untuk memisahkan Jennie dari kamu, untuk buat kamu pulang."

"Termasuk ngirim kamu ke sini."

Tepat sasaran. Seno terdiam. Berusaha menenangkan diri. Padahal ia sudah bersikap sewajarnya, tetapi tetap saja Tanu bisa membaca dirinya.

"Apapun alasan aku ke sini, kebenaran tentang kamu dan Jennie nggak punya masa depan itu fakta."

***

Usai cekcok tadi, Seno naik ke kamar dan tidak turun lagi meskipun bau masakan Tanu begitu menyengat dan menggugah selera.

Jennie dan Mas Tetangga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang