Hari Ketiga

76 7 1
                                    

Saat larut malam sekali, aku dikabarkan Reno kalau kepulangan kita akan ditunda karena ia masih memiliki urusan di kota ini. Untungnya itu urusan dia sendiri, bukan bersama timku. Dan pada akhirnya kami diberi kebebasan selama beberapa jam sebelum pulang secara bersama karena akan langsung meluncur ke kantor.

Jika Vira dan Devina pergi berbelanja oleh-oleh, kemudian Aji dan Yogi pergi ke pantai, maka aku mengurung diri di kamar hotel sendirian. Meskipun di dalam sini tidak banyak yang bisa aku kerjakan. Tapi aku terlalu malas untuk bertemu orang-orang.

Sarapan, sudah. Mandi, sudah. Packing, sudah. Kerjaan, sudah. Semua sudah kulakukan. Maka dari itu, kegiatanku pagi ini hanya bermain ponsel. Walaupun bingung juga harus membuka aplikasi apa.

Sampai sebuah pesan dari nomor yang aku kenali masuk seketika membuat aku bangkit dari posisi tidurku.

Sampai sebuah pesan dari nomor yang aku kenali masuk seketika membuat aku bangkit dari posisi tidurku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepertinya aku salah ketik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepertinya aku salah ketik. Tidak, aku salah berbuat. Dengan harap-harap cemas aku menunggu pesan berikutnya yang sedang diketik oleh Mas Je.

Dari hari pertama sejak aku sah menjadi istrinya, Mas Je sudah menjabarkan mengenai pekerjaan dan penghasilannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dari hari pertama sejak aku sah menjadi istrinya, Mas Je sudah menjabarkan mengenai pekerjaan dan penghasilannya. Saat ini meskipun ia hanya berdiam diri di rumah tetapi Mas Je memiliki beberapa usaha salah satunya kafe yang menjadi tempat pertemuan pertamaku dan Mas Je.

Aku masih ingat kala itu Mas Je berkata, "Walaupun kerjaan aku diem di rumah terus, kamu gak perlu khawatir sama biaya hidup selama jadi istri aku. Aku usahain kamu gak bakal ngerasa kekurangan. Ini kartu kamu pegang, kamu pake buat keperluan kamu. Inget, keperluan kamu bukan keperluan rumah. Kalau yang ini baru buat keperluan rumah kita. Sekarang, uang aku itu uang kamu juga. Tapi kalau uang kamu bakal tetep jadi uang kamu."

Dan sudah beberapa kali juga Mas Je menegaskan kalau aku bebas menggunakan salah satu kartu yang ia beri kepadaku untuk keperluan pribadi. Namun aku masih belum berani untuk menggunakannya sesering itu. Hingga detik ini, aku baru memakai kartu tersebut sebanyak dua kali.

***

Sebenarnya bukan hal sulit untuk mengakrabkan diri dengan Mas Je. Karena ia bukan pribadi yang tertutup. Mas Je mampu membuat orang lain merasa nyaman saat diajak berbincang olehnya. Mas Je juga seorang pendengar yang baik karena setiap kali aku berbicara maka ia akan memusatkan fokusnya dan menatap kedua mataku.

Itu yang bisa membuat aku lebih banyak berbicara, padahal biasanya aku sulit untuk berbicara dengan orang lain. Dalam artian kadang aku masih belepotan dan berbicara terlalu cepat sehingga aku malas berbicara banyak. Tapi aku tidak merasakan itu saat bersama Mas Je. Mungkin awal-awal aku masih merasakannya. Tapi setelah lama kelamaan rasa itu sudah menghilang. Setiap kali aku mengeluarkan suara maka matanya seolah berbicara, "Pelan-pelan, kamu pasti bisa." Entah aku merasa begitu.

Mas Je itu tipe pribadi yang akan sangat mudah diterima oleh orang lain di mana pun dia berada. Dia ramah. Sangat ramah. Bahkan dia sudah akrab dengan satpam di kantorku. Aku pernah tidak sengaja melihatnya berdiam di pos satpam seraya menikmati gorengan bersama beberapa satpam kantorku. Alih-alih menunggu aku dari dalam Tesla-nya.

Tak sungkan juga, Mas Je selalu berterima kasih, meminta maaf, dan mengucapkan kata tolong saat dirinya membutuhkan sesuatu. He's so nice.

Siang ini aku sudah berada di rumah Mas Je. Tadi pun aku dijemput olehnya dari bandara. Aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu dari yang lain. Tentu atas seizin Reno. Sedangkan bosku itu masih berada di kota sana bersama anggota timnya yang setia.

Sementara satu anggota yang tidak setia kawan ini memilih untuk kabur. Hari ini aku tak ingin bekerja. Aku lebih memilih untuk melamun di meja makan tanpa melakukan apapun. Selain duduk dan merenung.

Rasa itu kembali datang.

Di mana aku merasa tak tenang. Dan juga di dalam kepalaku sangat berisik hingga menyebabkan pusing yang tak terbendung. Aku ingin menangis. Tapi sebagian diriku juga tak ingin menangis. Dia berkata agar aku tetap kuat dan jangan kembali lemah. Tapi diriku yang lainnya malah merengek ingin dilepaskan. Aku bingung.

Hingga usapan di kepala membuat aku menoleh ke samping kanan.Di sana sudah ada Mas Je yang duduk menghadapku sembari tersenyum. Tapi tangannya masih setia mengelus kepalaku pelan, kaku, dan terpatah-patah.

Aku mengusap air mata yang entah kapan keluarnya ini. Kemudian menunduk. Aku malu. Aku malu harus memperlihatkan sisi diriku yang lemah di hadapan Mas Je secepat ini.

"Terlalu berat, ya, Shay?"

Mendengar itu sontak air mataku seolah berlomba untuk cepat-cepat keluar dari pelupuk mata.

"Gapapa untuk nangis, Shay. Itu gak nunjukin diri kamu lemah."

"Tapi aku gak tau lagi nangisin apa." Entah menangisi hidupku yang payah ini atau menangisi ucapan jahat orang-orang atau bahkan mengekspresikan rasa capek yang dirasakan oleh tubuh ini. Entah.

"Berarti sekarang kamu cuma lagi luapin emosi yang selama ini kamu tampung. Padahal gapapa loh untuk merasa sedih, kecewa, marah, kesel, bahagia dan sebagainya setiap hari. Karena itu artinya kamu masih hidup."

Tentu saja tangisanku semakin deras. Namun tidak sampai terisak.

"Boleh aku peluk?" Dia bertanya tapi tidak mendengar jawabanku dulu. Mas Je langsung memelukku dari samping.

Pelukannya tidak sampai membuat tubuh kami berdua menempel. Sebab di antara kami masih ada jarak yang memisahkan. Dan menurutku, pelukan ini masih tergolong kaku. Tubuh kita berdua lah yang kaku sebenarnya.

"Ututututu, siapa sih yang bikin istri Je ini nangis? Kerjaan kamu banyak banget ya, Shay?"

Aku mengangguk mengiyakan karena memang sedang sebanyak itu kerjaanku hingga mampu membuat tubuhku merasa lelah yang amat sangat lelah.

"Jalani ya, Shay. Semua pasti bakal berlalu." Mas Je terdiam sebentar sebelum kembali berucap, "Atau kamu resign aja. Ayo masuk sekte aku. Kita gabut di rumah."

Aku mencubit pahanya yang mudah sekali aku jangkau. Bukannya meringis, Mas Je malah tertawa dibuatnya.

"Maaf, Mas."

"Kok minta maaf, Shay?"

"Mas Je masih marah?"

Setelah mendengar pertanyaanku, Mas Je memisahkan diri. "Buat apa aku marah, Shay?"

"Tadi pagi." Maksudku, masalah kartu yang katanya akan dibahas ketika kami berdua sudah bertemu. Namun sampai saat ini kita belum membahasnya dari awal Mas Je menjemputku.

Dengan kedua matanya yang menatap langsung bola mataku, Mas Je berujar, "Aku gak marah, Shay." Tatapan kita bertahan beberapa detik sebelum Mas Je mengambil segelas air putih.

"Cuman kok kamu bandel ya, Shay? Padahal udah aku bilangin dari awal loh," ucap Mas Je sembari menyodorkan gelas di tangan kanannya.

Bukannya tak ingin mendengar perkataan Mas Je, hanya saja aku merasa tidak pantas. Aku tidak pantas untuk menggunakan uang yang sudah Mas Je kumpulkan seorang diri. Aku ini hanya orang asing yang tiba-tiba datang di kehidupannya dan sekarang malah menumpang hidup pada dirinya. Benar-benar tidak pantas.

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang