Malam gelap dan dingin ini, lagi lagi aku harus berurusan dengan jalanan kota Seoul yang terhitung padat, namun tidak pada trotoar pinggir jalan. Mereka lebih memilih menggunakan kendaraan pribadinya, hanya beberapa orang yang melintas melewati ku maupun berpapasan dengan ku. Aku sedikit enggan untuk melihat ke arah mereka. Wajah mereka yang tertutup Hoodie dari jaket tebal yang menyelimuti seluruh badan mereka menandakan kegelisahan yang sama yang sedang aku rasakan sekarang.
Ya, musim dingin ini memang selalu membuatku ingin berdiam diri dan bersantai di dalam rumah yang hangat, namun pekerjaan ku ini memaksa untuk segera diselesaikan, atau kalau tidak, bos satu itu akan melakukan cara apapun untuk mengeluarkan ku. Kejam memang, tetapi begitulah pekerjaan, aku harus bertahan dengan pekerjaan ini jika aku masih ingin bersama dengannya, untuk dapat membiayai hidup kita bersama, huh bersama..
Trotoar pinggir jalan kini mulai sepi setelah para pedagang mulai menutup kios mereka rapat rapat seperti enggan untuk aku singgah sebentar dan membeli tteokbeokki untuk sekedar menghangatkan tubuh ini.
"Agasshi, kau tau jam berapa ini? Kami sudah mau tutup, lagipula cuaca sangat dingin"
"Tapi ahjumeoni, tteokbeokki nya masih ada.. boleh aku bawa pulang?"
Mungkin Ahjumeoni merasa iba melihatku berjalan sendirian di malam yang dingin ini, dia memberikan semua sisa tteokbeokki yang ada kepadaku hanya dengan separuh harga.
Entahlah, entah dia merasa iba, atau merasa terganggu olehku yang terus terusan menatapnya untuk mendapatkan tteokbeokki. Aku tidak peduli, yang aku pedulikan sekarang adalah, bagaimana cara untuk pulang kerumah dengan membawa sekantong tteokbeokki di tangan kananku dan gulungan kertas projek besar ini di tangan kiri ku.Oh ya, gulungan di tangan kiri ini bukan kepunyaan ku, maupun pekerjaan ku. Pekerjaan ku jauh tidak berhubungan dengan gulungan kertas perkamen ini. Seseorang menitipkan benda ini ketika aku keluar dari kantor tadi, seseorang yang aku kenal betul, apalagi dia. Dan titipan ini seharusnya langsung saja diantarkan ke rumah, kenapa harus aku yang repot2 membawa ini semua. Mereka memang selalu menyuruhku, apalagi setelah tau dia memutuskan untuk tinggal bersamaku.
Dan orang itu, seperti tidak tau malu tidak datang menjemputku. Setelah tadi pagi dia memohon meminjam mobil ku untuk dia pakai dan aku hanya diturunkan di depan kantorku. Setelah dia berjanji akan mengembalikan mobilku ketika dia telah selesai dengan urusannya. Lalu sekarang? Apa urusannya yang penting itu belum selesai juga?
Untungnya di kantor aku sudah sedia jaket super tebal pemberian ibuku dulu, jadi ku putuskan untuk langsung pulang daripada menunggunya yang mungkin tidak akan datang. Akan ku coba telpon dia sekali lagi, agar menjemputku di stasiun terdekat dari rumah.Aku berdiri didepan tangga yang menghubungkan keretaku dengan stasiun terdekat yang bisa aku gunakan untuk sampai rumah. Mengapa tidak naik bus? Atau taksi? Mungkin kalian berfikir ini aneh, tapi aku tidak bisa menggunakan alat transportasi selain kereta, karena aku terbiasa mengendarai sendiri mobil ku, sehingga aku merasa tak nyaman jika seseorang mengendarainya untuk ku. Termasuk seseorang di tadi pagi itu. Dan mungkin saja orang itu tidak begitu mengetahuinya hingga langsung melemparkan tubuhku ke kursi samping kemudi dengan niatan untuk menghentikan keluhan ku.
Ku hubungi panggilan cepat nomor tujuh di handphone ku. Nomor tujuh, dia yang memasangkan nomornya di nomor tujuh pada handphone ku. Aku tidak mendengar alasannya untuk nomor tujuh itu, dan jujur aku tidak ingin mengetahuinya. Tetapi yang aku tau, dia memang selalu suka angka ganjil.
Tiga kali nada sambungan dan dia tidak juga menjawab teleponku ini. Malam semakin larut dan rasa dingin semakin menjalar ke seluruh tubuhku. Ah sudahlah, lebih baik ku telpon dia setelah sampai di stasiun.
Alunan musik yang hangat dan lamban di kereta membuat mataku sejenak terpejam, lelah akan semua aktivitas ini, lelah dengan dirinya yang hingga kini belum menghubungiku kembali. Ah lagipula memang dari awal dia tidak memiliki rasa perhatian sedikitpun terhadap sekelilingnya. Bahkan aku, kekasihnya yang kini ia "tumpangi" untuk hidup sama sekali tidak di gubrisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY ENDING IS MINE
Ficción GeneralTatapannya tajam tapi kosong, hening, dan sungguh aku sangat malu menghadapinya. Tapi ku tegakkan diriku, jangan sampai ada air mata yang keluar dalam mengantarnya pergi. Aku yakin dia bisa tanpaku, walau aku tidak yakin apakah aku bisa tanpanya. "K...