Pukul delapan malam, Zea baru menyelesaikan seluruh pekerjaannya hari ini dan hari-hari sebelumnya. Betapa letihnya dirinya, seharian harus terjebak di ruangan yang luas, tetapi terasa menyesakkan karena harus berkutat dengan berkas laporan, proposal kerjasama dan lain sebagainya. Setelah ini, Zea bersumpah tidak akan menunda-nunda lagi, ia tidak sanggup bila terus seperti ini.
Melepas satu kancing atas kemejanya, entahlah, meski AC-nya menyala ia tetap meresa gerah seolah tercekik. Zea lantas beranjak keluar ruangan yang ternyata sudah ada Sergio yang menunggunya di depan pintu.
Zea mengernyit heran ketika Sergio buru-buru menunduk sesaat setelah menatapnya.
"Kenapa kau menunduk?"
Sergio mengangkat wajahnya, lalu menunduk kembali, ia bisa melihat telinganya memerah. "I-itu, baju Nona sedikit terbuka. Tidak sopan rasanya jika saya melihatnya."
Pandangan Zea menurun, memang benar, belahan dadanya terlihat sedikit, Dengan segera ia mengancingkannya lagi. "Sudah, Sergio."
Sergio mengangkat wajahnya, lalu memasang senyum formal. "Mari saya antar pulang, Nona." Zea dengan tegas menggeleng. "Tidak perlu, kau pulang saja, aku akan berkendara sendiri. Pasti istrimu sudah menunggu."
Zea langsung melenggang pergi, meninggalkan Sergio yang masih berdiri mematung di depan ruang kerjanya. "Tetapi, saya belum menikah, Nona."
Apa gadis itu lupa? Di usianya yang sudah 27 tahun ini, Sergio masihlah seorang lajang.
-
-
-
Setelah keluar dari lift dan berjalan cukup lama, Zea sampai di parkiran khusus atasan. Memasuki mobilnya dan segera melajukannya meninggalkan area kantor yang sudah sepi, menyisakan beberapa satpam yang berjaga di posnya.
Zea melajukan mobil dalam kecepatan sedang, karena memang dirinya tidak sedang terburu-buru. Justru ia ingin berjalan-jalan sejenak, mungkin bersenang-senang sediki?
Di pertigaan yang seharusnya mengambil jalur belok kanan, Zea memilih lurus. Ia tidak cukup bodoh sampai tidak menyadari ada yang mengikutinya setelah meninggalkan area kantor, seolah sedang menanti dirinya. Beberapa kali Zea melihat kaca spion mobilnya. "Satu, dua ... iya, dua." Zea bergumam.
Ada dua mobil yang mengikutinya, satu sedan mewah dan satunya lagi adalah mobil taxi. Sungguh perbedaan kasta yang jelas sekali.
Zea sengaja membawa mobilnya ke tempat yang lebih sepi, jalan yang kanan kirinya dipenuhi pohon rimbun dan gelap.Dirasa sudah cukup jauh, Zea menghentikan laju mobilnya, lalu segera keluar menghampiri mobil sedan yang ikut berhenti tidak jauh di belakang mobilnya. Berbeda dengan mobil taxi yang benar-benar jauh dari mereka, tetapi masih bisa Zea lihat keberadaannya.
Pintu mobil sedan itu terbuka, menampilkan sosok pemuda yang Zea kenali. Meski tidak cukup jelas karena hanya berbekal pencahayaan dari lampu mobil, tetapi Zea langsung menyadari dari proporsi tubuhnya.
Pemuda itu berdiri di depan Zea, membelakangi cahaya.
"Udah dua kali Lo ngikutin gue," Zea berujar sinis. Sosok pemuda itu malah terkekeh. "Itu karena kamu hilang gak ada kabar Zea," bisiknya dengan tangan terangkat menyelipkan rambut Zea ke belakang telinga.
Zea hanya memutar bola matanya malas. " Kamu gak lupa, kan? Kamu masih kekasih saya."
Benar, Zea masihlah kekasih dari pemuda di depannya ini. Victor— yang lagi-lagi menguntitnya.
"Gue gak lupa," jawab Zea malas.
Victor menangkup kedua pipi Zea, memasang senyum manis yang jelas palsu di mata Zea. "Lalu ada urusan apa kamu sama putra tunggal keluarga Glovis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ZEANETHA
FantasíaBagi seorang Lyodra artamevia yang sudah merasakan kepahitan hidup tanpa jeda, kematian adalah hal yang dinantikan. Namun, bagaimana jika di saat kematian itu sudah berada di depan mata, ia malah ditakdirkan hidup kembali dengan raga yang berbeda...