Prisha berjalan tanpa alas kaki ke kebun setelah mengembalikan motor milik Mang Asep. Segelintir orang bertudung caping bambu yang baru hendak berangkat ke sawah atau ladang mereka, serta berpapasan dengannya sempat menyapa Prisha yang hanya dibalasnya melalui satu-dua anggukan sekadarnya.
Well, sedikit aneh sih. Sebab, biasanya karena selama ini Prisha terkenal sebagai manusia paling pendiam, condong ke anti sosial bahkan di kampungnya maka, orang-orang cuma akan melewatinya tanpa repot-repot melempar senyum terlebih sok akrab dengan bertanya dia mau ke mana?
Prisha nggak ada curiga apa-apa sih. Hanya saja ketika dia tiba di kebunnya yang jauh dari pemukiman lebih-lebih keramaian, dan tahu-tahu mendapati beberapa kantong NPK sekaligus jerigen berisi pupuk cair yang ternyata telah diantar entah kapan. Pun, Mang Asep yang terlihat sudah sibuk menyiapkan alat untuk memupuk di dalam gubuk. Sesaat Prisha tercenung. Menyadari bahwa tak seperti lumrahnya di mana Mang Asep berkerja sendiri-tentu nyaris setiap waktu pria itu dibantu oleh Prisha mengingat beliau kadang hanya berkerja di waktu-waktu tertentu seperti ketika melakukan pemupukan, penyemprotan, atau sewaktu Prisha tengah tak bisa berkebun-di sana pagi ini ada tampak siluet punggung satu sosok asing yang sedang duduk membelakangi Prisha.
Okay, siluet itu asing untuk duduk di sana, tetapi rasanya tak seasing itu di mata Prisha.
Bagaimana pun tidaklah lumrah orang ke kebun memakai setelan lengkap kan? Mana kemeja hitam yang dia kenakan biar pun kusut, tapi tampak mahal.
Prisha mendesah ketika dia dapatkan satu nama yang nyaris pasti adalah terduga dari manusia yang saat ini lagi santai duduk-duduk di atas alas pelepah daun pisang itu.
Namun, Prisha bahkan belum bergerak ke mana-mana ketika Mang Asep yang agaknya sudah memergoki kehadirannya di sana menyapanya penuh semangat, "Selamat pagi, Mbak Prish! Sudah sarapan belum, Mbak?"
Bersamaan dengan Mang Asep yang sontak berdiri memegangi rakitan pipa yang nanti akan digunakan buat menyemprotkan pupuk, orang yang sedang duduk lesehan itu tahu-tahu menoleh, menunjukan wajahnya yang semestinya sudah minggat bersama Volvo merahnya ke Jakarta.
"Mari Mbak nyarap bareng dulu! Tadi teh saya dibekelin lontong sayur banyak banget sama istri," Mang Asep kembali menawari, sementara Prisha mulai pelan-pelan berjalan mendekati.
Lalu, ketika Prisha sudah meletakkan keranjang bambunya di tanah dia mendadak mendengar celetuk ini, "Saya kira di sini masyarakatnya memang terbiasa sarapan siang. Ternyata, itu hanya berlaku bagi yang malas saja ya, Mang?"
Walau tidak sebut nama, tapi Prisha tetap merasa kalau kalimat itu sebuah sindiran terhadapnya.
"Saya juga tidak setiap hari sarapan berat kok, Pak. Terkadang cuma pakai goreng-goreng," Mang Asep kemudian menyahut ramah.
"Tapi, istri Mang keren loh ya setidaknya bukan yang bahkan pagi-pagi tidak bisa masak air untuk menyeduh kopi."
Lagi, Prisha tahu dengan penekanan dalam nadanya itu merupakan kalimat sarkas lain untuknya.
"Oh, kalau masak air dari subuh-subuh biasanya istri saya memang sudah bangun, Pak. Lalu sehabis itu sambil istri masak, saya bantulah cuci-cuci kan biar seimbang suami-istri teh kudu begitu atuh saling gotong-royong jadi semua beres di awal pagi."
"Ya intinya masak karena memang istri Mang berdedikasi saja sih." Paradikta-well, pria yang Prisha tinggalkan, serta dia asumsikan bakal langsung angkat kaki dari Bogor adalah suaminya sendiri, yang entah bagaimana bisa ujug-ujug berhasil mendahuluinya hingga tanpa dia duga bisa sampai di kebunnya-lantas membuang ke sembarang arah bungkus lontong yang selesai disantapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Ficción GeneralPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...