"Saya terima nikahnya Anindia Putri Binti Maulana dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta perhiasan emas seberat 50 gram dibayar, tunai!!!"
"Bagaimana saksi? Sah?"
"SAH!!"
"Alhamdulillah...."
Semua saksi yang hadir dalam acara pernikahan berdoa bersama setelah akad selesai, wanita hebat ku tampak bahagia dan cantik, dalam balutan kebaya putih yang dihiasi tiara sederhana. Kini aku sedikit bernafas lega, tak terlalu khawatir jika harus pergi tugas ke luar kota karena Ibu sudah memiliki seorang suami yang akan menemaninya di sisa usia senja.
Aku dan Raizel menghampiri ke dekat Ibu, memeluk dan mengucapkan selamat, begitupun dengan Belle, anak semata wayang Bapak Rangga yang kini resmi menjadi saudari tiri kami.
Acara pernikahan dilaksakana disebuah hotel, tak terlalu meriah atas kesepakatan bersama, Ibu meminta kepada Bapak Rangga agar tidak melaksanakan resepsi besar-besaran, cukup dihadiri keluarga besar dan rekan kerja. Ibu dan Bapak Rangga duduk di kursi pelaminan setelah kami antar, menyambut tamu undangan lainnya yang baru datang.
Aku dapat merasakan kehampaan dari ekspresi Ibu, kedua orangtua nya telah berpulang sejak Ibu masih remaja. Sementara Bapak Rangga hanya dihadiri oleh Ibu nya yang berasal dari Medan karena ayahnya sudah berpulang, kursi khusus pendamping pengantin tampak kosong, jadi aku dan Raizel berinisiatif mengisi kekosongan tersebut.
"Kak? Makan yuk.." Ajak Raizel setelah tak ada lagi tamu yang mengajak bersalaman.
"Iya..."
"Bu.. Aku dan kak Raen makan dulu ya.." Bisik Raizel pada telinga kanan Ibu dan mendapat respon anggukan kepala.
Kami turun dari stage pelaminan, berjalan bersamaan menuju stan prasmanan. Beberapa tamu memperhatikan dari jauh, mungkin karena Raizel menggandeng lengan ku begitu erat sehingga mereka berpikir kami adalah pasangan.
Sebenarnya aku tidak terlalu lapar, namun Raizel mengajakku makan pasti ada hal lain yang ingin ia sampaikan tanpa sepengetahuan Ibu. Aku hanya mengambil satu piring salad dan satu gelas orange juice, sedangkan Raizel memuat apapun yang ada di meja ke dalam piring nya hingga memenuhi kedua tangan.
"Yakin habis?" tanya ku saat kami sudah menemukan meja kosong.
"Yakin lah, aku belum sarapan tau! Ini udah jam berapa? Waktunya makan siang.." Jawab Raizel ketus.
"Ada apa?" tanyaku lagi, sontak Raizel langsung menoleh lalu tersenyum aneh.
"Tau aja ada yang mau aku bicarain, kak... Gimana?
"Gimana apanya?"
"Kelanjutan kisah sama Belle?"
Hal itu lagi, Belle lagi yang ia bahas. Tiba-tiba jantung berdetak lebih cepat, aku menoleh ke arah dimana Raizel menjatuhkan pandangan seraya melambaikan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Machiavellian (END)
Misterio / SuspensoApi dendam yang berkobar akan semakin besar ketika tertiup angin, pion hitam terjatuh satu persatu, seirama dengan deru nafas di ujung takdir. -Raen Hillga Muller,.