Rasa pusing serta muntah-muntah semakin membuat kondisi Inara melemah. Dafa tau kondisi istrinya dalam beberapa hari ini bisa dikatakan tidak baik, tapi ia tetap acuh dan fokus dengan pekerjaannya saja.
"Mas," Panggil Inara yang masih tidur karena sudah tidak sanggup lagi untuk bangun. Jika ia melangkah sedikit saja maka perutnya kembali bergejolak ingin muntah.
"Hmm." Dafa hanya berdehem. Lihatlah, lelaki itu bahkan sibuk dengan dasi yang sedang ia pasang ketimbang menatap sang istri yang berbaring tidak berdaya.
"Temenin aku ke dokter, mas. Aku udah lemes banget." Pinta Inara dengan wajah memelas.
"Inara, saya sedang sibuk di kantor. Kamu ke rumah sakit ditemeni mama atau pembantu aja." Kata Dafa.
"Tapi mas,"
"Tolong mengerti Inara, saya cape kerja jangan menambah beban saya lagi!" Suara Dafa mulai meninggi. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, Dafa langsung pergi begitu saja.
Inara kembali menangis. Ia merasa beberapa hari ini emosinya tidak stabil. Sedikit saja dibentak maka Inara langsung menangis.
Setelah beristirahat selama beberapa menit, Inara memutuskan untuk ke rumah sakit ditemani oleh bi Siti. Tidak mungkin juga ia meminta ditemani oleh Ariana yang ada wanita itu akan menghina Inara habis-habisan. Lagipula, ia belum berbicara sedikitpun dengan Ariana sejak kedatangan Zanna kemarin.
Setelah bersiap-siap dengan cepat dan tentunya sederhana, Inara menghampiri bi Siti yang sedang di dapur bersama pembantu yang lain.
"Bi Siti." Panggil Inara.
"Iya, nya?"
"Bi Siti, temenin Inara ke rumah sakit boleh ya? Soalnya mas Dafa lagi sibuk." Inara menatap bi Siti memohon.
"Baik, nya. Saya ganti baju dulu ya." Inara mengangguk dan menunggu bi Siti ditemani oleh pembantu yang lain.
"Emang nyonya sakit apa? Beberapa hari ini kami lihat nyonya selalu muntah." Tanya bi Ani, pembantu yang seumuran dengan bi Siti.
"Enggak tau juga bi, tapi kayaknya cuma cape sama masuk angin aja." Kata Inara dengan suara lirih.
"Tapi kayaknya nyonya lagi hamil." Sahut bi Inah yang usianya pun tidak jauh dengan bi Ani dan bi Siti.
Inara terdiam mendengar perkataan salah satu pembantu di rumahnya. Apa benar dia hamil? Jika benar, betapa bahagianya Inara sekarang.
"Ayo, nya. Saya udah siap. Mang Ujang juga udah nunggu di depan." Ajak bi Siti yang sudah siap di samping Inara.
"Ah ayo bi." Inara mengangguk kemudian berjalan menjauh dari dapur.
"Semoga apa yang kita duga bener ya bi." Kata Sekar sambil memperhatikan Inara yang mulai berjalan menjauh.
***
Setelah menunggu antrian yang begitu lama, Inara akhirnya dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter kandungan. Kenapa dokter kandungan? Karena Inara terpengaruh dengan kata-kata bi Inah. Ia ingin membuktikan jika benar ia hamil atau bukan.
"Silahkan masuk, bu." Ujar salah satu perawat dengan sangat ramah.
Inara tersenyum kemudian memasuki ruangan dokter kandungan untuk melakukan pemeriksaan, ditemani bi Siti di sampingnya.
"Selamat pagi bu, dengan ibu Inara Fadhila Xabier?" Tanya dokter perempuan bername tag Arsila.
"Ada keluhan apa, bu?" Tanya dokter Arsila.
"Emm, saya mau periksa aja dok. Apa benar saya hamil atau bukan." Jelas Inara dengan senyum canggungnya yang dibalas senyuman hangat oleh dokter cantik itu.
"Baik, silahkan rebahan disana, bu." Inara menuruti perkataan dokter itu dan merebahkan tubuhnya di atas brankar rumah sakit.
Setelah menjalani pemeriksaan, Inara dinyatakan positif hamil. Sungguh, Inara tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Akhirnya, waktu yang ditunggunya telah tiba.
"Selamat ya, bu. Usia kandungan ibu baru genap satu bulan, jika ada keluhan segera hubungi saya. Ini nomornya." Ujar dokter Arsila sambil memberikan kartu namanya yang diterima dengan baik oleh Inara.
"Selamat, nyonya. Pasti tuan akan sangat senang mendengarnya." Kata bi Siti ikut bahagia. Bahkan Inara langsung memeluk bi Siti karena rasa bahagia yang tidak bisa digambarkannya.
Sepanjang perjalanan pulang, Inara tidak henti-hentinya tersenyum bahagia. Tangannya selalu mengelus perut ratanya dan menyalurkan kasih sayang tak terhingga.
Ting
Inara membuka pesan yang baru saja masuk ke nomornya masih dengan senyuman yang merekah di wajah wanita hamil itu. Namun, saat melihat pesan itu senyuman Inara langsung berganti dengan raut wajah datar. Ia menatap lekat pesan itu sebelum mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam tas.
Sesampainya di rumah, Inara menjadi lebih pendiam. Setelah turun dari mobil, Inara mencegah bi Siti yang ingin masuk.
"Bi Siti, tolong sembunyikan tentang kehamilan saya dulu. Hanya kita berdua saja yang tau dulu." Kata Inara mendapat tatapan bingung dari bi Siti.
Namun wanita itu tidak bertanya lebih lanjut, ia berpikir itu masalah Inara yang tidak boleh diikut campurkan olehnya.
"Baik, nya." Jawab bi Siti patuh.
Saat memasuki rumah, langkah Inara terhenti saat mendengar suara Ariana. "Dari mana kamu?"
Inara menatap ibu mertuanya kemudian tersenyum, seolah wanita itu melupakan semua sakitnya dengan cepat.
"Inara baru pulang dari rumah sakit, ma. Sama bi Siti." Jawab Inara.
Ariana memandang Inara sinis kemudian berlalu begitu saja. Inara tersenyum tipis kemudian bergegas masuk ke kamarnya, sedangkan bi Siti sudah duluan izin melanjutkan beberapa pekerjaannya.
Inara menutup pintu kamarnya dengan cepat, ia juga mengunci pintu itu dari dalam. Inara langsung menangis terisak sampai wanita itu tidak dapat menopang bobot tubuhnya sendiri.
Inara terduduk di lantai yang dingin bersamaan dengan air mata yang terus saja mengalir dari kedua matanya.
"Ya Allah, kenapa semua ini terjadi sama Inara? Baru beberapa menit yang lalu Inara bahagia, tapi kenapa rasa sakit dan kecewa itu kembali hadir?" Tangis Inara terdengar sangat pilu. Pesan dari nomor asing yang sering mengiriminya pesan itu terus berputar-putar di ingatan Inara layaknya kaset rusak.
"Tega kamu mas!"
***
Disetiap permasalahan, pasti ada hikmahnya. Allah tidak akan memberikan masalah percuma-cuma kepada Hamba-Nya yang kuat. Inara menangis dalam sujudnya. Ia meminta pengampunan dan pencerahan dalam setiap masalah yang sedang dilaluinya. Inara memang terlihat seperti wanita kuat yang tidak mudah terprovokasi. Tapi dibalik kuatnya seorang Inara, ia tetaplah Hamba Allah yang lemah dan rapuh.
Menjelang malam, Dafa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Setelah menunaikan sholat magrib, Inara duduk di depan cermin. Tatapannya datar, matanya bengkak, dan wajahnya memerah karena terlalu lama menangis.
Inara menghembuskan nafas kasar. Rupanya begini permainan yang Dafa berikan padanya. Diam-diam Inara tersenyum miring. Ia tidak akan tertipu lebih lama lagi. Inara akan mengumpulkan bukti yang kuat agar dapat membungkam Dafa kedepannya.
Tok tok tok
"Inara buka pintunya." Itu suara Dafa.
Inara berjalan ke pintu dan membukakan pintu untuk sang suami yang baru saja pulang.
"Kamu baru pulang mas?" Tanya Inara sambil menyalami tangan Dafa, seperti yang sering dilakukannya dari dulu.
Inara mengambil alih jas dan tas kantor Dafa seperti biasa pula. Kali ini tanpa ragu lagi, Inara mencium bau parfum yang sama dengan malam itu di jas kantor Dafa, bau parfum perempuan. Parfum itu tentu saja pernah Inara cium sebelumnya, tepatnya kemarin saat seorang perempuan bertamu ke rumahnya.
Inara masih ingat betul bau parfum Zanna yang tajam namun lembut secara bersamaan. Wanita itu tersenyum sinis, ia kini tau jika suaminya benar-benar bermain gila dibelakangnya.
"Mas Dafa berhubungan dengan Zanna di belakangku?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Jendela Hati
RomantikTidak ada yang tau kapan penyesalan datang. Juga, tidak ada yang tau kapan rasa percaya runtuh akibat pengkhianatan dari orang terdekat. 2 tahun telah mengabdikan diri pada sang suami, tidak pernah Inara sangka jika kepercayaannya dihancurkan begitu...