Sudah lima menit berlalu sejak Salma tidak lagi tertangkap sepasang netra milik Rony. Lelaki itu masih duduk di tempatnya semula sambil memandangi kursi yang Salma tinggalkan. Sesekali ia menatap gelas minum milik perempuan itu yang masih sisa setengah bergantian ia juga menatap piring makan Salma yang bahkan belum disentuh sama sekali, isinya masih utuh.
Rony menarik napas dalam-dalam, memenuhi tiap rongga dadanya dengan oksigen. Ada rasa sesak di sana. Lantas Rony memejamkan matanya beberapa detik. Mencoba menciptakan ketenangan walaupun hasilnya nihil saat ia kembali membuka mata. Rony meringis, tidak ia dapati Salma dipenglihatannya.
Usahanya selama ini, sejak kali pertama ia menyadari ada rasa yang berbeda. Saat ia tahu jalan di depannya tidak menyajikan kemudahan andai ia mengungkapkannya. Lelaki itu berusaha sebisanya untuk tetap ada di hidup Salma. Berusaha menjaga perempuan itu dengan segenap yang bisa ia upayakan. Rony tidak pernah membayangkan akan ada hari seperti ini.
Bukan akhir seperti ini yang Rony mau. Ia tidak apa andai semesta tidak membuatnya dan Salma berjalan di jalan yang sama. Ia tidak apa andai akan ada hari di mana ia melihat tawa perempuan itu yang alasannya adalah laki-laki yang bukan dia. Asal Salma tetap menjadi bagian hidupnya sebagai apapun itu.
Tapi sebab kebodohannya yang tidak mampu tegas pada perempuan yang seakan menyebut namanya saja membuat Rony merasa bersalah. Ketidak tegasannya pada perempuan itu membawa hubungan Salma dan Rony tiba di titik ini. Salma menjauh dan itu membuat Rony merasa sesak.
Belum juga sejam sejak Salma pergi dari hadapannya, Rony sudah merasa separuh semestanya menghilang.
Saat sedang menenangkan sesak di dadanya, dering ponsel menyela. Rony menatap ponselnya, nama perempuan itu tertera di sana. Perempuan yang membuat Salma memilih menjauh. Rony tersenyum kecut. Mau apa lagi dia?
***
Setelah berhasil mengabaikan panggilan telepon dari perempuan itu sejak jam delapan malam tadi. Pada akhirnya Rony berakhir di sini, di dalam apartemen perempuan itu. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi.
Perempuan itu berulang kali menelpon Rony, jumlahnya sudah ratusan panggilan. Namun selalu Rony abaikan. Hingga setengah jam lalu, satu pesan WhatsApp membuat Rony berakhir di tempat ini. Duduk berhadapan dengan perempuan yang nampak menenangkan tangisnya itu.
"Udah tenang?" Tanya Rony dengan nada suara yang rendah.
Perempuan yang ditanya mengangguk pelan sembari menyeka sisa air mata dengan tisu.
Rony mengangguk, "Sekarang tidur, gak usah macem-macem. Aku balik ya."
"Kok balik sih, aku tuh kangen." Rengek si perempuan. Wajah cemberutnya menatap Rony kesal.
"Udah jam dua pagi, gak baik kalau aku di sini."
"Gak apa-apa, Ron."
"Enggak," sahut Rony. "Paul nungguin di mobil."
"Ke sini sama paul?"
"Iya."
"Kenapa gak sendiri aja sih, kan bisa di sini sampe pagi. Temenin. Aku kangen, Ron. Kamu kalau aku gak kayak gini, gak bakal nyamperin."
Rony mengembuskan napas kasar, "Gak usah aneh-aneh. Aku sibuk."
"Sibuk tapi kalau ketemu sama Salma bisa." Perempuan itu menatap tajam.
Rony mengusap wajahnya frustasi. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Kamu mau apa?"
"Suruh paul balik, kamu di sini aja. Baliknya besok."
"Gak bisa, besok ada acara pagi."
"Kan bisa berangkat dari sini."
"Gak, aku gak bakal nginap di tempat cewek apapun alasannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali (SUDAH TERBIT)
FanfictionAda hal-hal yang nyatanya belum usai. Perasaan itu. Perasaan yang coba disingkirkan, nyatanya tidak pernah benar-benar pergi. Setelah bertahun-tahun berlalu dan kembali bertemu, apa perasaan yang tidak pernah benar-benar pergi itu bisa berjalan beri...