23. Menahan secuil takdir

299 48 7
                                    

Akhirnya segala kegiatan telah dilaksanakan dan berakhir lancar, tidak ada tragedi kecuali jatuhnya Dihyan dari kursi kemarin. Tak apa, itu tak masalah. Kini para panitia berkumpul melakukan evaluasi kegiatan setelah tadi berbenah merapikan peralatan.

Dikarenakan Dihyan izin mendadak tadi siang, maka evaluasi pun diketuai oleh Janied. Mereka membicarakan tentang segala kekurangan yang mungkin saja terjadi untuk bahan perbaikan di kemudian hari. Kiran sebagai sekretaris terlihat sibuk dengan notulensi, tak sedikit pun menginterupsi sejak tadi bahkan cewek itu tidak begitu banyak berbicara setelah tahu jika Dihyan pamit pulang terlebih dahulu.

Tidak sedih, tidak juga sebal, Kiran justru menduga-duga masalah yang terjadi adalah mengenai Haris. Apa mungkin cowok itu kambuh lagi? Diam pun kian memberi akses rasa cemas untuk menyebar memenuhi isi kepala. Ingin ikut melampiaskan kekhawatiran, namun dia masih belum ingin terlibat lagi dengan konflik dingin antara dua saudara itu.

"Oke. Kayaknya cukup sampai segini aja. Kegiatan udah kita laksanakan dengan baik, dengan beberapa kekurangan yang bisa kita perbaiki untuk kegiatan tahun depan. Mungkin ada yang ditanyakan?"

Kira menutup catatannya lantas memasukkan semua barang-barang yang ada di depannya sekarang ke dalam tas. Masih tak ingin membuka suara padahal biasanya yang paling sering bertanya.

"Gak ada? Kalau gitu kita akhiri saja. Jangan lupa nanti seksi perlengkapan, tugasnya mengembalikan semua barang milik kampus ke tempat semula. Yang lain bisa langsung pulang ke rumah. Dan ... oh ya, warga dipamitin dulu."

Acara akhirnya ditutup dengan doa. Setelah itu mereka berpamitan pada beberapa perwakilan warga setempat sebelum menghampiri kendaraan masing-masing, tak terkecuali Kiran yang kali ini berboncengan dengan Tirta.

Sebelum cowok itu menarik motor, mendadak mendapatkan panggilan dari ponselnya. Dia pun mendudukkan diri di atas motor lantas mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

Kiran menghela napas pelan, menanti Tirta selesai dengan telponnya. Sejenak dia menilik jam melalui layar ponsel. Pukul tiga.

"Iya, Dihyan udah balik duluan tadi sekitar jam dua-an."

Mendadak raut wajah Tirta berubah drastis. Nampak begitu terkejut dengan kedua kelopak melebar. Hal itu membuat Kiran mengerutkan kening bertanya-tanya.

Setelah itu, Tirta menurunkan ponselnya dan mengecek satu ruang obrolan dari salah seorang teman. Entah siapa itu.

"Kak Tirta, kenapa?" Kiran memutuskan untuk bertanya setelah melihat reaksi cowok tersebut yang sepertinya sangat syok dengan sesuatu.

"Kak?"

Napas berembus tidak beraturan lantas beralih pada Kiran yang sudah benar-benar bingung.

"Dihyan ...."

"Kenapa?"

"Dia kecelakaan ...."

Otomatis jantung berdebar cukup kencang, menimbulkan reaksi terkejut yang sama seperti Tirta tadi.

"Meninggal, Kir," lanjut Tirta, pelan.

Kiran tak berpikir sejauh itu. Dia kira kabar Dihyan kecelakaan adalah sudah yang paling mengejutkan, ternyata pernyataan terakhir Tirta justru membuat jantung seolah berhenti.

"Hah?"

Tidak, Kiran tidak tuli. Dia spontan bersuara untuk benar-benar meyakinkan kesadarannya bahwa yang didengar tidaklah salah.

"Dihyan ... meninggal." Tirta mengulang dengan nada bergetar.

Sungguh, tidak ada yang lebih mengejutkan dari sebuah kabar kematian. Tubuh mendadak kehilangan daya untuk berdiri dan mata tiba-tiba memanas, dipenuhi oleh cairan yang begitu cepat ingin melampiaskan duka.

Afeksi Garis Tangan | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang