39. Missing Cracks: Diversion

4.4K 292 25
                                    

Di vila keluarga, Nao, Xici tengah duduk di meja makan menemani Ann di dapur. Mereka diam menatap pemuda itu yang masih asik memakan permennya, sampai permen itu habis.

"Aku mau lagi... Nao kita keluar yok, mau jajan," ucap Ann dengan wajah penuh harapan.

"Eh, aduhh... Tapi tadi aku kesini nggak bawa mobil, aku cuman ikut Alza," balas Nao kebingungan sendiri.

"Mobil Ayah ada kok kalau Kak Nao mau make."

"Eh tapi, aku nggak enak. Aku nggak berani, kita nunggu yang lain dulu aja sekalian jagain Bunda di rumah, nanti aja keluarnya, ya." ucap Nao lagi berusaha membujuk Ann. Tapi pemuda itu menggeleng pelan dengan wajah cemberut. Tak lama, ia pergi dari dapur.

Di ruang tamu, masih ada sang Bunda dan dr. Voorh yang sudah bersiap pergi. Ann berjalan mendekati sofa. Sesaat pandangannya menatap dr. Voorh yang pergi ke arah pintu dan keluar begitu saja.

"Ada apa, Sayang?" tanya sang Bunda sambil mengusap pipinya.

Ann diam sejenak dengan wajah lesu. "Alva kok belum pulang? Ann mau permen, mau jajan," ucapnya cemberut.

Sang Bunda hanya terdiam dan tersenyum kecil sambil mengusap wajah Ann. Wajah sendunya tak bisa ia sembunyikan lagi. "Ann tunggu sebentar ya Sayang, Alza pasti pulang kok nanti."

Hening sejenak. Ann semakin cemberut mendengar itu. Netranya langsung beralih pada pintu. Ia berjalan keluar dan menemukan dr. Voorh yang masih berdiam diri teras depan.

Tak lama dr. Voorh menoleh saat menyadari Ann ada di belakangnya, tatapan pemuda itu terpaku pada kantong sakunya lagi.

Dr. Voorh tersenyum kecil saat melihat pemuda itu. Ia merogoh sakunya dan menunjukkan sebuah benda kecil yang mirip dengan yang ada di jari Ann. Sebuah cincin milik Alva.

"Mau ikut, Nak? Alva sedang menunggumu."

---

Hawa dingin, panas dan rasa sakit bercampur menjadi satu. Ruangan yang sunyi senyap itu berubah ramai sejenak saat Raven tersentak dan tersadar dari pingsannya. Ia membuka matanya di sebuah ruangan yang cukup dingin. Ia terbaring di sebuah kasur dengan kedua tangannya yang terborgol pada sisi-sisi besi brankar itu.

Raven langsung tahu ia ada di laboratorium ketika netranya menangkap sosok Alza yang sudah menyumpalkan sebuah pistol di mulutnya. Sofiee yang menempelkan pisau di depan lehernya dan Reo yang berdiri di atasnya sedang membidikkan kaliber tepat di kening kepalanya.

Ketiga orang itu seakan sudah sangat siap untuk membunuhnya kapan pun jika ia bergerak gegabah. Raven terdiam saat melihat tatapan dingin dari ketiga orang itu, sampai sebuah suara mengalihkan perhatian mereka.

"Astaga Nak, sedang apa kalian?!" teriak sang Ayah panik saat melihat ketiga anaknya hendak menghancurkan kepala Raven.

"Berjaga-jaga." balas Reo singkat. Ia masih menatap dingin sosok Raven yang terbaring di bawahnya. Tak lama ia menarik kalibernya dan turun dari kasur.

"Senta, kamu sudah sadar, Nak? Apa ada yang sakit?" tanya sang Ayah sambil memeriksa tubuh Raven yang masih terbaring di kasur.

Raven terdiam sejenak menatap sang Ayah, sampai sebuah senyuman terulas kecil. "Oh, mau jadi malaikat dadakan ya ceritanya?" desisnya. Tak lama, ia memalingkan wajahnya dan meringis pelan.

"Senta, tolong jangan banyak bergerak dulu," ucap sang Ayah sambil menyentuh bahu Raven berusaha menenangkannya. Sang Ayah menggunakan stetoskop dan memeriksa keadaannya.

"Tenanglah, kamu baik-baik saja sekarang, yang penting jangan terlalu banyak bergerak dulu," ucap sang Ayah lagi, Raven hanya diam mendengar itu. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain.

I'm not Enigma [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang