Di Bawah Naungan Daun Momiji

2 0 1
                                    


Aku tidak tahu mengapa aku mau jadi kekasihnya bahkan bertahan hingga empat tahun. Apa mungkin karena uluran tangannya kala itu? Di saat aku tergugu di jembatan layang setelah kabur dari neraka yang kusebut rumah? Aku yang notabene memiliki attachment issues jadi bergantung padanya. Awalnya dia bersikap seakan dia menyukaiku. Namun, apa daya nyatanya selama ini hanya aku yang menyukainya. Hubungan kami bukanlah sebuah hubungan timbal balik.

Aku sangat menyukai pria dari negeri matahari terbit itu. Namanya Kaito Kazama. Lelaki itu cenderung pendiam, tapi aku sangat menyukainya meskipun sesungguhnya dia bukan tipeku. Dia adalah hero dalam kisah hidupku. Lelaki itu yang memberiku harapan dan pekerjaan. Dialah orang yang menolongku dari lubang kegelapan tak berujung yang kurasakan selama ini. Namun, ternyata dia jugalah orang yang menjerumuskanku pada lubang yang sama.

Sore itu kami berkencan setelah sekian lama. Sebagai pasangan kekasih, kami tak cukup romantis. Bahkan, bisa dibilang tidak romantis sama sekali. Kami memang melakukan hal yang biasanya pasangan lakukan seperti kencan di malam minggu. Tapi kencan selama empat tahun ini bahkan tak lebih dari sebuah formalitas dalam hubungan. Kami tak pernah bergandengan tangan di depan publik.

Dulu aku beranggapan karena kami berdua adalah orang yang kaku, jadilah kami terlalu malu untuk melakukan kontak fisik. Tapi ternyata aku yang terlalu buta untuk melihat bahwa ternyata dia menjaga perasaan mantan tunangannya. Ya, mantan tunangan yang kini kembali menjadi tunangannya. Aku baru mengetahui bahwa orang yang menjabat sebagai kekasihku itu nyatanya telah bertunangan.

“Ayo putus," ujarnya tanpa basa-basi.

Sore itu, setelah beberapa bulan jarang bertemu. Dia mengajakku kencan di sebuah restoran langganan kami. Di sanalah ia memutuskan hubungan kami secara sepihak. Hari itulah kencan terakhir kami.

“Mengapa?” tanyaku kelu.

“Aku akan menikah bulan depan. Aku balikan dengan mantan tunanganku.”

“Oh. Selamat,” kataku seperti sedang menelan pasir di tenggorokan. Kata itu sulit meluncur dari mulutku.

Aku berusaha tersenyum sambil menjabat tangannya untuk yang terakhir kali. Aku berusaha menahan raut wajahku. Mataku memanas. Jadi selama ini aku ini apa? Sekadar pelarian? Haha...

Aku tak bisa marah padanya meskipun aku sangat ingin meninju wajahnya.

“Aku akan kembali ke Jepang minggu depan.”

“Baiklah, semoga selamat sampai tujuan. Aku pergi dulu.”

Aku bangkit dari kursiku. Tak yakin bisa mempertahankan raut wajahku jika aku berlama-lama di sana. Hatiku terlalu sakit untuk sekadar melihat sosoknya lebih lama.

Aku baru menyadari bahwa selama aku menjadi kekasih lelaki itu kami sama sekali tak memiliki kenangan manis. Tak ada foto bersama, tak ada pesan manis, semuanya hambar. Harusnya aku menyadari bahwa hubungan kami terlalu dipaksakan. Mungkin hanya berdasarkan rasa belas kasihnya terhadap kondisiku. Aku saja yang terlalu bodoh untuk mengetahui itu. Ya, aku bodoh karena terlalu mencintai pria itu.

Selama seminggu berikutnya, aku hanya tersenyum pedih. Betapa bodohnya aku yang setiap saat masih menunggu pesan darinya. Berharap bahwa ucapannya kala itu hanyalah prank untuk menjahiliku. Sebuah prank di hari ulang tahunku. Nyatanya semuanya hanyalah angan-angan bodohku, karena dia benar-benar pergi.

***
Setahun setelah kepergian lelaki itu, aku masih berada dalam bayangannya. Setelah pahitnya kehilangan aku hampir menjadi diriku yang dulu. Sering menangis meskipun tak lagi berpikir suicidal. Wajah kuyu disertai kantung mata menghitam seperti panda yang sering kututupi dengan perias wajah.

Namun, dalam keterpurukanku aku menyadari bahwa mencintai seharusnya tak sesakit ini. Maka belakangan ini kuputuskan untuk berhenti menangisinya. Berusaha menjadi sosok baru yang lebih ceria.

Under The Maple Tree (Di Bawah Naungan Daun Momiji)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang