"Pergilah dari Nashville, sayang. Please ..."
Jeff menggenggam jemari putri semata wayangnya dari balik jeruji besi. Jemari itu begitu dingin dan gemetar. Jeff tak kuasa membendung air mata–padahal dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak meneteskan air mata di hadapan Mala.
"Aku tidak akan meninggalkan Ayah!" bisik Mala gemetar. Dadanya bergemuruh, antara marah, duka dan putus asa.
"Kau tidak akan sanggup melawan Moreano dan anak buahnya. Apalagi mereka sekarang di bawah kendali Gamma. Pergilah sayang, Papa tidak ingin melihat kamu menderita."
Mala menggeleng kuat. Memasukkan tangan ke dalam jeruji hingga bisa merengkuh badan gempal ayahnya yang terlihat kurus hanya dalam beberapa hari saja. Dia tidak akan meninggalkan ayahnya melalui semua ini sendirian. Sejak meninggalnya wanita terkasih mereka saat Mala masih kecil, hanya Jeff satu-satunya lelaki di mata Mala yang tak pernah surut menyayanginya. Meski pekerjaannya sebagai polisi menuntutnya untuk tidak selalu bersama Mala saat gadis kecil itu membutuhkan ayahnya.
"Aku akan menderita bila tidak bersama ayah." Mala tergugu.
Jeff mendorong bahu Mala di antara sela-sela jeruji. Lalu mencengkram bahu wanita yang kini tampak begitu rapuh di hadapannya. "Mala, dengarkan ayah!"
Mala mengangkat wajah. Jeff tak kuasa menatap mata bengkak putri semata wayangnya. Pasti wanita yang berharap hidupnya akan bahagia setelah menikah ini–telah menghabiskan malam dengan tangis tanpa henti, dengan suami yang tidak lagi berada di sisinya.
"Mala, kau ingat Pearl House? Rumah yang pernah kita tinggali saat kamu baru masuk sekolah dasar?"
Mala mengangguk. Tentu saja dia ingat. Rumah itu terletak di tepi danau yang indah tapi dia tidak ingat di mana tempat itu berada. Dia hanya tahu, mereka naik mobil selama dua hari untuk sampai ke sana. Tentu saja dengan berkali-kali berhenti karena Mala merasa bosan. Dia, Jeff dan mendiang ibu mereka hanya satu pekan tinggal di Pearl House–saat liburan sekolah. Dan setelahnya, mereka tidak pernah ke sana lagi karena ibu Mala meninggal dunia.
"Untuk sementara, tinggallah di sana." Seingat Mala, ibunya pernah berkata kalau Pearl House adalah rumah masa kecil ibu.
Mala mengernyit kening. "Aku tidak tahu di mana Pearl House, Dad. Aku sama sekali tidak ingat."
Jeff menoleh ke kanan kiri, memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka. Ada tahanan seperti Jeff, di seberang sel, tapi dia tampak asyik dengan bukunya.
Jeff menangkupkan tangan di kedua pipi Mala, lalu berbisik. "Temui Uncle Jimmy. Katakan apa yang terjadi pada ayah. Dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Pergilah."
"Dad ..."
"Mala, dengarkan ayah!" ucap Jeff memerintah, dengan suara pelan. Mala mengangguk, lalu mendekatkan telinga ke jeruji hingga Jeff bisa dengan mudah berbisik padanya. "Katakan pada Uncle Jimmy, belum saatnya melakukan apapun. Dia harus mengantarmu ke Pearl House malam ini juga."
***
Lelaki berperut gendut bernama Jimmy adalah kakak dari mendiang ibu Mala. Seingat Mala, dulu Uncle Jimmy adalah lelaki yang bertubuh atletis. Semenjak ibu Mala meninggal, mereka tidak pernah lagi berhubungan. Kabarnya, karena Jeff dan Jimmy sempat bersitegang–entah karena masalah apa.
"Jadi ayahmu di penjara?" Jimmy menenggak botol minumannya. Sebagai seorang paman yang tidak pernah bertemu dengan keponakannya, perilakunya jauh dari kata "kangen". Tentu saja, karena di hari pernikahan Mala saja, dia tidak hadir. Padahal kata Jeff, dia sendiri yang datang menemui Jimmy untuk mengabarkan pernikahan Mala dan mengundangnya sebagai tamu spesial–pengganti mendiang ibu Mala.
Mala mengangguk. Dia mengamati kalung rantai yang menggantung di leher pamannya, dan menjuntai hingga ke perut besarnya. T-shirt lusuh berwarna hitam dan celana hitam yang dikenakan pamannya, membuat Mala tidak ingin berdekatan dengan satu-satunya darah daging mendiang ibunya itu.
"Bukankah itu yang terbaik?" cibir Jimmy sembari tersenyum sinis. Kumis dan cambang yang menghiasi wajahnya tampak tak terurus. Apalagi pakaiannya. Mala sedikit menahan diri untuk tidak menutup hidung saat Jimmy membuka pintu rumahnya.
"Aku tidak ingin membahas masalah ayah."
Jimmy mendengus. "Lalu untuk apa kau kemari?"
"Dad menyuruhku menemui paman."
Jimmy memindai Mala beberapa detik, lalu bangkit dari sofa. Sejak keponakannya itu masuk ke dalam rumah, dia hanya berdiri tidak jauh darinya sembari memeluk diri sendiri–seolah sekarang sedang musim dingin dan dia tidak mengenakan baju hangat. Padahal di luar matahari sedang bersinar terik dan udara begitu gerah.
Saat Jimmy membuka kulkas untuk mengambil minuman lagi, dia melirik Mala. Wanita itu bahkan tidak berniat duduk di sofa kumuh miliknya. Sofa yang sudah sobek di sana sini, dan lalat beterbangan saat Jimmy bangkit atau hendak mendudukinya.
"Kita bicara di luar saja. Kau bisa terkena kuman di dalam rumahku."
Mala menelan ludah. Kondisi rumah Uncle Jimmy memang jauh dari kata bersih.
Dia lelaki pemabuk, tapi tak akan mengabaikan keponakannya–kata Jeff.
Jimmy menjadi lelaki yang tak pernah lepas dari alkohol, sejak kematian ibu Mala dan pertengkaran hebat antara Jeff dan Jimmy.
"Tidak apa-apa di sini saja."
Jimmy mengendik bahu, tak peduli. Dia kembali duduk di sofa kumuhnya, sembari menenggak minuman. Entah botol ke berapa hari ini, Mala hanya melirik beberapa botol kosong berserakan di ruangan.
"Dad mengirim pesan untuk paman."
"Pesan?"
Mala mengangguk.
"Katakan, aku tidak punya banyak waktu."
Mala kembali menelan ludah. Tidak punya banyak waktu, padahal sudah sepuluh menit, dia hanya menenggak botol. Tapi bagaimanapun juga, hanya Uncle Jimmy satu-satunya harapan Mala. Jadi, dia harus bersabar menghadapinya.
"Dad berpesan, belum saatnya melakukan apapun. Dan paman harus mengantar aku ke Pearl House malam ini juga."
Tiba-tiba Jimmy mematung. Mala terkesiap, tapi mencoba untuk tidak bereaksi apapun. Nyaris satu menit, kemudian Jimmy tiba-tiba berdiri. Berjalan mondar mandir sembari mengintip jendela berkali-kali.
Dia mulai tampak gelisah.
"Apa yang terjadi pada Jeff?"
Mala mengernyit kening. Bukankah dia sudah mengatakannya lima belas menit yang lalu? Mungkin Jimmy sedang mabuk, jadi baru sekarang otaknya mulai bekerja normal. Bisa jadi sejak tadi dia mengira bila Mala hanya orang asing yang iseng datang ke rumahnya.
"Ayah dituduh membunuh sahabat karibnya."
"Siapa?"
"Moreano."
Jimmy mendelik. Sontak dia meraih bahu Mala dan memutar badan Mala hingga menghadap ke arahnya.
"Lowkey Moreano?"
Mala mengangguk.
"Dan kau barusan kawin dengan Gamma Moreano?"
Mala kembali mengangguk. Menatap sepasang mata pamannya yang masih mendelik ke arahnya. "Paman mengenal mereka, tapi tidak datang ke pernikahanku. Terima kasih, jadi aku tidak perlu mengenalkan dua nama itu pada paman."
"Kita berangkat sekarang!"
Mala terkesiap. "Ke mana?"
"Pearl House!"
Jimmy menyambar jacket hitam yang tergantung di tembok. Sebuah kepingan logam terjatuh dari saku jacketnya. Saat Jimmy hendak memungutnya, Mala lebih dulu mengambilnya. Jimmy merampas kepingan logam dari tangan Mala–bergambar dua tulang manusia yang disilangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Mantan Istri
Misterio / SuspensoBulan madu tidak selamanya manis, apalagi terpaksa diakhiri karena tewasnya si Papa tercinta. Mala dan Gamma sedang berbulan madu, ketika Papa Gamma dibunuh dengan keji. Semua bukti mengarah pada Ayah Mala-meski Ayah Mala menyangkal. Tapi Gamma tida...