⊚ 26 ⊚

89 21 0
                                    

"Dia pulang ke rumahnya, Jack. Kemarin."

"Ke mana? Kamu bisa beritahu aku?" Nada bicara Jackson terdengar menekan. Diperjelas oleh tuntutan di sorot matanya.

"Daegu." Jackson mendengkus saat mengetahui kabar sekian, spontan dia berubah lesu. "Kamu menyukai Lisa?" Taehyung menimpali dengan ekspresi tenang. Dan Jackson menanggapinya dari anggukan kepala yang lambat, seperti ragu-ragu. "Sebaiknya pikirkan ulang, atau kamu harus siap untuk berjuang sampai tetes darah terakhir."

"Kamu pikir mau perang?!"

"Agar kamu tahu kalau kemenangan terlalu mustahil untukmu. Mending terima saja pernyataan cinta dari adik kelas itu." Sambil memainkan ponsel pintarnya, Taehyung kelihatan santai memperingati temannya.

"Kenapa? Kamu juga naksir Lisa, ya?" Jemari Jimin bergerak gelisah di bawah meja, tentu dia bisa mendengar sepenuhnya obrolan dua pemuda itu.

"Iya atau enggak bukan urusanmu," jawab Taehyung menohok, hingga Jackson berdecak kesal di tempatnya. Padahal dia masih ingin mengorek-ngorek lagi tentang Lisa. Namun, tanggapan Taehyung tadi telah lebih dahulu menjatuhkan semangatnya.

"Ya sudah, aku masih bisa menanyakannya pada Namjoon."

"Semoga beruntung." Jackson tahu perkataan ini merupakan ejekan baginya.

-----

Taehyung berjalan cepat menyusuri lorong-lorong menuju klub basket. Namjoon meminta dirinya untuk memastikan beberapa perlengkapan yang mesti dibeli ulang, sementara dia tengah disibukkan beberapa urusan penting.

Muka Taehyung mengernyit saat pintu yang hendak dibuka malah tidak terkunci. Dia mendorongnya perlahan, waspada bila ada seseorang yang mungkin berencana mengambil barang-barang di sana. Begitu dia menemukan Jimin yang sedang mengecek barisan loker, Taehyung pun menutup pintunya dengan hati-hati.

"Ji, buat apa ke sini?" Jelas saja Jimin terperangah, dia bungkam seakan kehilangan respons otaknya.

"Hanya berkunjung. Maksudku memeriksa--iya, memeriksa. Aku harus pergi." Taehyung segera menggamit lengannya, memojokkan gadis ini ke tembok.

"Lagi-lagi mau kabur. Tolong ya, Ji! Kelakuan kamu melampaui batas. Kesabaranku habis menghadapi kekonyolan kamu. Diajak bicara baik-baik malah membentak. Bukan kamu doang yang punya perasaan, Ji!" Sepanjang hardikan tersebut, Jimin cuma merunduk. "Aku tanya sekali lagi, salahku apa?" Jimin masih belum berkutik. Di sisi lain Taehyung jenuh menahan diri. "Kamu menyukaiku?" Jimin mendongak kilat, menatap lekat-lekat jelaga tajam di hadapannya.

"Kamu salah paham, itu mustahil kalau menyukai." Dan Taehyung sangat membenci pernyataan ini. Dia hampir kelepasan, hingga menggeram kesal.

"Bohong! Lihat aku! Ayo, katakan sekali lagi!" Taehyung mencengkeram kuat kedua pundaknya. Dalam tekanan itu, Jimin berupaya mengontrol emosi dengan bertahan pada pendiriannya.

"Tae, kamu teman baikku. Aku enggak mungkin suka sama kamu."

"Oke! Oke! Baik, aku bisa terima." Taehyung melepas pegangannya, lalu menendang kasar sisi loker yang terjangkau. Jimin kontan tersentak dan bingung ketika serta merta lengan si pemuda Kim memalang kepalanya ke tembok. "Aku perlu bukti." Lirih sekali perkataannya, mengiringi dia yang berusaha mengikis jarak di antara mereka.

Tindakan barusan menyebabkan Jimin membeku di tempat. Sedekat ini dengan Taehyung, tidak berdampak baik buat dirinya. Bagai terhipnotis, Jimin seakan lupa terhadap kalimat penyangkalan yang dia lontarkan.

Di punggungnya rangkulan Taehyung perlahan merapat, seiring dia intens ingin melenyapkan jarak di wajah mereka. Dada Jimin kentara naik turun begitu cepat. Berat walau sekadar menelan ludah. Saking intimnya, embusan hangat deru napas Taehyung membuatnya gugup. Jimin tahu, hanya kepalang kaget atas semua yang terkesan cepat. Dalam keheningan mengecap sesuatu yang lembut dan basah. Dia menuai kejutan dari euforia ciuman pertama. Perasaan nyaman seiring perut yang seolah tergelitik, Jimin kian berdegub.

"Munafik!" Si pemuda Kim tertawa sinis. "Aku enggak menyangka kalau kamu bisa seegois ini, selalu seenaknya. Tidak mempertimbangkan perasaan orang lain, menebak-nebak dengan pikiranmu sendiri. Kamu sangat melukai perasaanku, Ji. Ke depannya kita enggak mungkin bisa menjadi teman lagi." Tenggorokan Jimin tercekat, ada keputusasaan di wajah pemuda impiannya. Suasana yang menyiksa untungnya tidak menetap lama usai Taehyung berbalik untuk meninggalkan Jimin seorang diri di sana. Kepergiannya sungguh menyempitkan pernapasan. Jimin tiba-tiba merasakan kedua lututnya lemas. Tubuhnya perlahan merosot ke lantai. Hanya hitungan detik, dia merelakan kesedihan membasahi wajahnya.

-----




(END) Lowkey in Love with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang