Happy reading and enjoy the story
Have a nice day{🦢}
Jemarinya menari di atas layar monitor tepat tengah dashboard mobil, lalu tarik tuas rem tangan kala dirinya sudah merasa yakin akan tempat yang ditunjukkan pada teknologi maps itu sudah benar. Raih benda persegi pipih miliknya itu, tampilkan deretan angka yang tunjukkan tengah pukul delapan kurang dua puluh menit, obsidiannya kini amati sebuah bangunan bertingkat bercat putih gading, pada seberang jalan buat sudut bibirnya terangkat buat senyuman kala dari kejauhan dirinya dapat melihat sosok bertubuh kecil, kini tengah asik bentangkan lembaran kain basah di atas tali yang melintang pada bagian atas bangunan itu.
Sejujurnya Haidar terlalu bersemangat pada pagi ini, bila biasanya dirinya masih bergulung nyaman dibalik selimut dengan mata terpejam dan akan menggeram marah bila agenda tidurnya diganggu— kali ini dengan keadaan yang masih cukup pagi, bagi Haidar. Nyatanya dirinya sudah berada disini, tinggalkan sejenak kebiasaannya— dengan tubuh segar dan wangi parfum yang menguar tubuh jangkung Haidar terduduk dibalik kemudi yang terparkir pada sebrang jalan tepat didepan kos tempat Javier berada. Sebenarnya ini jauh dari jam yang sudah direncanakan keduanya, seharusnya Haidar datang pada pukul sembilan jemput Javier dan mereka akan berbelanja sebentar membeli beberapa barang yang kurang— tapi entahlah mungkin dirinya terlalu bersemangat mulai harinya seperti sosok Javier yang tampaknya masih asik dengan kumpulan cuciannya di atas sana.
Haidar ambil ponselnya, tangannya bergerak lincah lalu buka aplikasi chat yang kini tampilkan room chat dirinya dan Javier semalam yang diakhiri dengan ucapan selamat malam dari Javier— lirik sesaat sosok Javier yang masih dengan agenda menjemurnya, lalu jemarinya menari di atas papan ketik pada benda pipih itu— rangkai untaian kata lalu tekan ikon pesawat pada sudut keyboard itu, buat kalimat yang ia ketik terkirim melayang menjadi sebuah bubble chat baru hiasi room chat keduanya. Obsidian kini amati ekspresi lucu yang terlukis pada wajah yang lebih muda di atas sana— Haidar terkekeh kala dapati panggilan suara masuk dari Javier kini hiasi layar ponselnya, geser ikon telephone itu sebelum dekatkan benda pipih berwarna gelap itu pada telinganya, buat dirinya dapat dengarkan suara manis dari seberang sana.
“Halo mas”
“Iya apaa”
“Mas bohong ya? Pasti masih di rumah” tuduhnya, dari sini Haidar dapat wajah lucu Javier yang tengah sibuk cari keberadaannya dari atas sana. Buat Haidar tertawa.
“Ih bohong kan? Itu mas ketawa” ucapnya sembari majukan bibirnya tanda marah merasa tengah dibohongi. Pancing Haidar kembali tertawa, “Mas serius deh, aku tutup nih telephonnya.”
Haidar redakan gelaknya, “Mas ngga bohong vier, coba kamu cari mobil mas,” perintahnya.
“Mas nyasar ya? Mobil mas ngga ada didepan kos aku.” Sambarnya cepat dari ujung sana.
Gelengkan kepalanya, “Sebentar yaa, coba kamu lihat mobil hitam yang didepan kos kamu.” ajunya, lalu turunkan kaca pada samping kursi pengemudi sembari beri lambayan pada sosok Javier diatas sana.
“Lah? Mas kok ngga bilang sih, tunggu sebentar aku turun dulu.”
Sedangkan Haidar tatap tak percaya, tubuh kecil itu hilang persekian detik setelahnya, “Santai aja, jangan lari. Mas ngga kemana-mana kok.” Ingatnya kala terdengar suara berisik turuni anak tangga.
“Iya pelan-pelan kok, aku tutup dulu ya mas.”
Benar, Javier tidak salah. Memang tidak ada mobil yang biasanya Haidar bawa saat temui Javier seperti biasanya, pria kelahiran Desember itu lebih memilih bawa mobil yang lebih besar pikirnya agar tidak terlalu sempit bila bawa beberapa barang. Matikan kendaraan bermesin itu, lalu keluar dari mobilnya— bertepatan dengan sosok Javier yang menggunakan joger abu dengan kaus hitam tutupi tubuh atasnya, muncul dari balik gerbang sambut dirinya dengan sebuah senyum lebar seperti biasanya.
Perhatikan sekitar, Haidar langkahkan kakinya hampir si manis yang tengah menunggunya: “Pagi~ mas idar,” sapa Javier.
Haidar tersenyum, “Pagi~ juga vier,” sapanya tirukan nada bicara si cantik, yang timbulkan gelak tawa dari yang digoda, “Ayo masuuk,” ajaknya, persilahkan sang tamu ikuti dirinya.
“Ini gapapa mas namu kepagian?” tanyanya basa-basi sembari amati bangunan bertingkat yang tampak sepi itu— tampaknya penghuninya masih jemput mimpi.
Tatap sosok tinggi Haidar, “Gapapa kok, aku udah izin sama yang punya kosan toh ada cctv juga,” ajunya sembari tunjuk benda kecil berwarna putih pada sudut langit-langit bangunan.
Menganggukkan kepalanya, tubuhnya ikuti tubuh kecil Javier naiki beberapa anak tangga bawa tubuh keduanya pada lantai atas dari bangunan bertingkat itu. Maniknya perhatikan pergerakan si manis yang putar kunci pada daun pintu bertuliskan “Vier’s” yang tandakan setiap pemilik penghuni bangunan itu, “Maaf rada berantakan mas, soalnya belum sempet beresin.” aju Javier sebelum dorong pintu kayu itu.
Hal yang pertama sambut Haidar kala masuki kamar itu ialah wangi aroma terapi beraroma manis gelitik penciumannya, kalau boleh jujur dirinya sedikit bingung berantakan yang dimaksud oleh Javier sebab kamar dengan desain minimalis itu tampak rapi dan tertata rapi hanya ada tumpukan kotak dan beberapa kertas berbentuk bunga dan beberapa bungkus permen pada sudut ruangan.
“Silahkan duduk mas,” tawarnya tarik kursi pada meja belajar sang empu, sembari hidupkan pendingin udara.
“Mas mau minum apa?” tawarnya, yang dijawab gelengan oleh Haidar, “Ngga usah repot-repot, mas datang rada pagian sekalian mau ngajakin kamu cari sarapan,” ucapnya jujur.
“Kenapa ngga bilang dulu? Aku belum mandi,” ajunya lalu mendengus kaus yang ia gunakan, “Bau deterjen sama matahari lagi,” celetuknya polos, undang tawa Haidar.
“Gapapa, tetep cantik kok,” buat mata bulat itu makin melebar, “Aku cowo loh mas,” ajunya sembari berusaha sembunyikan semu pada pipinya.
“Ini mas, gapapa kalau nunggu aku mandi dulu?” sambung Javier tatap Haidar sembari ambil beberapa helai pakaiannya dari lemari.
“Gapapa, harusnya mas yang nanya cucian kamu udah kelar semua?”
Javier menganggukkan kepalanya, “Udah kok, aku tinggal mandi dulu ya?”
“Iyaa, Javier.”
Javier tekuk dua jarinya, “Agak lama dikit, maaf ya mas,” ucapnya sembari menyengir kuda, sebelum tubuh kecilnya hilang dibalik pintu itu. Yang buat Haidar menggelengkan kepalanya.
Haidar dudukkan tubuhnya tepat pada kursi yang ditunjukkan Javier, obsidiannya bergerak amati tiap inci pada ruangan bernuansa cream itu— seperti kamar kos pada umumnya, yang buat dirinya tertarik ada satu rak penuh berisikan buku dengan puluhan judul milik sang empu— yang Haidar simpulkan bahwa sosok Javier suka membaca, terlebih lagi dengan dua tumpukan buku yang berada diatas nakas samping kasur. Tampak luas sebab penempatan barangnya buat ilusi optik pada ruangan dengan skala tak begitu lebar itu, ruangan itu tampak sederhana tidak penuh dengan barang dan yang ia yakin siapapun yang berkunjung merasa nyaman.
Dahi Haidar dibuat berkerut kala obsidiannya tangkap presensi sebuah jas berwarna kuning terang, yang bertengger manis dalam hanger pada sudut ruangan tepat di bawah gitar yang biasa Haidar temukan bersama Javier saat mengamen, tentu jelas dengan logo yang sangat familiar berwarna biru tandakan dari mana sosok itu menempuh pendidikannya— maniknya kembali bergulir cari informasi yang dapat validasi rasa penasarannya, hingga sebuah tabung berwarna hitam dan beberapa pernak perniknya ikut sita perhatiannya juga beberapa foto yang tertempel pada dinding, bercampur foto sosok Javier dengan anak-anak kecil yang biasanya temani dirinya mengamen— tangannya terangkat, telunjuknya bergerak, geser dua tumpukan foto halangi, satu foto si manis yang tengah tersenyum sumringah dengan jas sama persis pada sudut ruang, satunya diambil berlatarkan gedung rektorat kampus tersebut dan yang satunya di depan gedung yang bertuliskan departemen arsitektur kampus ternama itu— dengan tulisan tangan sang pemilik, pada ujung kertas foto.
“When, I make my dreams come true.”
-Javier Dennara O
Terkejut? Jelas, sebab Javier tidak pernah sekalipun singgung kehidupan pribadinya terlalu dalam, begitu pula dengan Haidar— hormati privasi si manis dan hanya tunggu jika ia memulai terlebih dahulu. Yang selama ini dirinya tahu adalah sosok itu seorang mahasiswa tingkat akhir tengah susun bab 1— tidak pernah sekalipun jurusan yang diambil sosok itu akan berbanding terbalik dengan Haidar pikirkan, ia tebak si manis menempuh pendidikan dalam bidang pendidikan atau mungkin sosial atau pula berbau dengan masyarakat, maka dari itu buat dirinya terjun rangkul anak-anak yang tidak memiliki kesempatan anyam bangku pendidikan dengan sedikit berbagi ilmu. Nyatanya pemilik nama Javier Dennara itu adalah mahasiswa dari jurusan arsitektur pada salah satu universitas ternama, tergabung dalam organisasi berisikan kumpulan mahasiswa ibu kota, yang bertujuan salurkan sedikit ilmu mereka punya pada anak-anak yang kurang beruntung dan fakta terakhir itupun baru ia dapati kemarin sore. Saat temani si manis tunggu ojek online pesanannya, sebab tolak tawaran yang lebih tua untuk diantar alasannya takut terlalu jauh— ada benarnya begitu, ya walaupun tidak terlalu bagi Haidar, bila itu menyangkut Javier ia tidak masalah.
Badan Haidar dibawa berputar cepat, kala dengar suara ketukan pintu terbuka beriringan dengan suara asing yang sapa indra pendengarannya, “Kak Vier~ pinjem pensil war—Eh! Mas siapa?!” ajunya kaget begitu pula dengan Haidar.
“Saya— bibirnya kembali bungkam kala kalimatnya dipotong cepat, oleh sosok bersurai pink dihadapannya itu, “Mas pacarnya ya?” tebaknya.
Haidar gelengkan kepalanya, “Bukan, saya temannya Javier,” akunya jujur.
Sosok itu tersenyum jahil, lalu menaik turunkan alisnya, “Bohong ya? Jujur aja sih mas, jangan malu~”
Hembuskan nafasnya, “Saya memang cuman teman Javier, bukan pacarnya,”
“Yaaa, penonton kecewa~” ajunya tampilkan air muka sedih, “Btw, kak vier mana mas?” sambungnya.
“Javier-nya lagi mandi, paling sebentar lagi selesai” jawabnya, yang buat pria bermata rubah itu sedikit tekuk alisnya bingung, “Lah, kamar mandinya masih rusak kah?” monolognya, lalu kembali beri atensi pada Haidar sembari ulurkan tangannya pada yang lebih tua, “Mas ayo kenalan, siapa tahu ntar bisa nanya kak Vier dari aku hehehe.”
Yang disambut ramah oleh Haidar, “Salam kenal saya Haidar, temannya Javier.” ajunya sekenanya.
“Aku Sean, temen kos sekalian adik tingkat kak Vier di kampus,” akunya, lalu ambil duduk pada sudut kasur Javier, “Aku ikut nunggu gapapa ya mas? Soalnya nanggung kalau balik ke kamar.” yang dijawab anggukan oleh Haidar.
“Mas Haidar, udah kenal lama sama kak Vier?” tanya Sean pecahkan hening antara keduanya lalu tatap sosok Haidar.
“Ngga lama, sekitar dua bulan lebih dikit,” jelasnya, yang tentu jelas undang keterkejutan pada Sean, sebab yang ia tahu. Javier bukanlah tipe orang yang akan mengajak orang baru, untuk bermain ke kosan dan yang Sean tahu teman-teman Javier saja kebanyakan berkunjung setelah mengenal sosok itu selama enam bulan lebih— dapat Sean simpulkan kemunculan Haidar adalah orang yang cukup spesial atau mungkin Javier sudah sangat percaya.
“Owh ya? Baru-baru ini dong artinya.” yang dijawab sebuah anggukan singkat dari Haidar, Sean kembali pasang senyum jahilnya “Aaa~ aku paham, mas Haidar lagi—
Kalimatnya terpotong, kala dengar suara manis terdengar pada rungu keduanya lalu alihkan atensi keduanya pada sumber suara, “Loh, Sean kamu ngapain?”
Sean tampilkan senyum terbaiknya, kala maniknya temui sosok kakak tingkat favoritnya itu dihadapan, “Hehehe~ Aku mau pinjem pensil warna boleh?”
Javier mengangguk, langkahkan kakinya tarik satu laci berisikan alat tempurnya, “Punya kamu ilang lagi di kampus?” tebak Javier sembari berikan satu kotak berwarna hitam pada Sean.
“Hehehe, nampaknya sih gitu kak atau ketinggalan di studio mungkin,” ajunya sembari menyengir kuda, dekap pensil warna milik Javier. Sedangkan pria kelahiran November itu hanya gelengkan kepalanya, kebiasaan. “Masih aja, besok coba tanya pak Anto mungkin ada nemuin pensil warna kamu,” ajunya.
“Iyaaa, makasih ya kakak cantik~ aku balik ke kamar dulu ya?” pamitnya berlalu bangkit dari duduknya, yang dijawab anggukan oleh Javier, “Iyaa, kamu udah sarapan?”
“Udah kok tadi nitip sama Iky— good bye~ kak Vier sama mas Haidar,” pamit Sean, tubuhnya kini lenyap balik pintu kamar Javier. Sisakan dua anak adam yang kini tengah saling tatap, tepatnya Haidar lah yang tengah tatap penuh puja sosok Javier dalam diamnya, sosok itu tampak sederhana dan begitu sempurna dengan balutan celana jeans miliknya dengan kaus berwarna cream berlapis kemeja bermotif kotak-kotak berwarna manis perpaduan ungu lembut dengan warna coklat susu yang beri kesan manis pada pemuda berparas cantik dihadapannya: “Cantik,” gumamnya tanpa sadar.
“Ya? Mas tadi ngomong apa?” tanya Javier, buat Haidar kembali ambil kesadarannya lalu ukir senyum tipisnya, “Ngga ada,” ucapnya lalu tatap Javier yang mulai bergerak kumpulkan potongan bunga dari kertas origami pada ujung kamar, buat Haidar ikuti pergerakan si manis.
“Ini untuk dibawa ke sana nanti?” tanyanya yang dijawab sebuah anggukan oleh sang empu, “Iyaa, sebagian untuk surat sama untuk hiasan permen nanti biar lucu,” ajunya sembari masukkan kertas warna-warni itu pada satu plastik, “Mas idar, nanti mau sarapan apa?” sambungnya alihkan atensinya pada sosok yang ikut berjongkok di samping itu.
Haidar ikut menoleh, tatap hazel milik si manis, “Mas ngikut kamu aja.”
Buat Javier beri gestur berpikir, “Kalau ngikutin aku, aku ngga yakin selera kita sama” jelasnya, yang entah sadar atau tidaknya Javier sedikit mempoutkan labiumnya.
Undang kekehan yang lebih tua— lucunya, pikirnya; “Mas bukan tipe yang picky, soal makanan,”
“Serius? Kalau mas sarapan mie ayam pinggir jalan mau ngga?” tanyanya ragu.
Yang dijawab anggukan oleh Haidar, “Iyaa, mas mau kok”, jawabnya, terbitkan senyum sumringah dari si manis, “Kalau gitu, ayo! Aku ada tempat langganan di jamin enak dan bersih,” ajunya semangat, lalu bangkit sembari angkat dua kotak kecil berisikan dan dua bungkus permen batang yang menjadi bawakan mereka nanti.
“Biar mas aja, kamu bawa bawakan kamu aja sama permen” aju Haidar, ambil alih kedua kotak dalam dekapan Javier.
“Makasih yaa, kalau gitu ayoo kita sarapan,” ucapnya dengan semangat, sembari tersenyum manis yang lebih tua.
.
.
.
Di sinilah keduanya kini, sedikit berjalan masuki gang yang jelas tak memungkinkan kendaraan roda empat menepi, untuk sampai pada sebuah gerobak mie ayam bawa tenda biru terbuat dari terpal, tidak jauh dari kosan Javier kalau kata si november bisa jalan kaki kalau lewat gang belakang kosan dan walaupun menggunakan kendaraan juga tidak jauh— tampaknya baru buka, sebab yang Haidar lihat dari kejauhan, tempatnya masih cukup sepi dan terlihat satu anak remaja perempuan tengah tata botol-botol berisikan saus penunjang. dengan satu orang dewasa tengah lanjut usia berdiri hadap tungku.
“Kak vier!” sebuah pekikan ceria berasal dari remeja perempuan itu, sembari berlari berikan satu pelukan pada Javier kala dapati keduanya berjalan dekati tempat itu. Sedangkan yang diteriaki sambut sosok bersurai panjang itu dengan sebuah rentangan tangan, sambut sang puan dalam dekapan. “Long time no see, Keyra~” aju Javier, yang undang kikikan dari sosok itu, “Kakak apa kabar? Kakak ke sini pas aku lagi sekolah terus,” protesnya lalu lirik presensi Haidar yang baru ia sadari, tengah tatap interaksi keduanya sembari tersenyum teduh, “Mas nya, temen kak vier ya?” tanyanya ragu, yang dijawab sebuah anggukan oleh Haidar.
“Kakak baik, iya ini mas Haidar temen kakak,” timpal Javier, sedangkan Keyra hanya ber-oh ria, lalu tepuk dahinya kala sadarkan akan sesuatu “Duh! Ayo silahkan pesan kak, akunya lanjut beres-beres yaa,” ajunya persilahkan pelanggan pertama ayahnya itu.
“Wah nak vier, tumben bawa temen kamu nak,” sapa hangat sosok bertubuh cukup gempal baru saja datang sembari bawa satu panci berisikan ayam dengan satu toples berisikan kerupuk pangsit.
Javier tertawa renyah, “Gapapa sesekali pak, aku kek biasa aja ya pak banyakin sayurnya,”
“Kalau mas Haidar?”
“Mas mienya jangan masak banget, pake telor sama banyakin sayurnya juga,” ajunya yang dijawab anggukan dari sang pemilik, “Siap, ditunggu ya, bapak buat dulu...”
Sedangkan keduanya pilih duduk tubuhnya berhadapan, pada kursi panjang tak jauh dari gerobak, “Kamu langganan di sini? Sampe anak yang punya akrab banget sama kamu,” tanya Haidar mulai percakapan keduanya.
Javier mengangguk, lalu buka satu bungkus kerupuk berbentuk panjang, “Iyaa, dari awal aku ngekos deket sini, kalau soal Keyra dia mah akrab sama semua langganan juga pelanggan lain,”
“Tipikal ekstrovert gitu ya anaknya,” yang dijawab sebuah anggukan dari sang empu, “Iyaa, anaknya juga asik. Udah sekitar tiga tahunan ada kalik aku kenal sama dia dari awal ngekos,” ajunya sembari tatap sosok yang menjadi pembicaraan keduanya tengah cuci sayur yang akan jadi campuran mie ayam tak jauh dari sana.
“Dari awal aku kuliah, dulunya dia baru masuk SMP sampe sekarang akunya udah skripsian, dia nya juga udah mau masuk SMA,” tambahnya.
“Kalau mas gimana, ada tempat makanan langganan udah lama juga ngga?” tanyanya.
“Ada, nasi goreng sama sate padang langganan dari SMA,” jawabnya, timbulkan decakan kagum dari sang empu “Wah, lama banget, artinya rasanya ngga bisa diraguin lagi dong,”
Haidar mengangguk, mengiyakan pertanyaan si manis— memang benar begitu adanya, “Kapan-kapan, kita ke sana. Mas yakin kamu juga bakal ketagihan apa lagi nasi gorengnya, enak banget. Kamu mau kan?”
Dijawab anggukan antusias dari sosok tersebut, buat rambutnya ikuti bergerak lucu, “Mau, makasih ya mas,” ajunya sembari tersenyum.
“Asik banget ceritanya, ini yaaa pesanannya~ bonus pangsit bakso untuk cah ayu dan cah bagus nya bapak,” selanya, sajikan dua porsi mie ayam yang keluarkan kepulauan asapnya tandakan makanan itu dihidangkan kala masih hangat, dengan sepiring kecil berisikan dua kerupuk pangsit berisikan bakso tanda bonus dari sang penjual, jelas dengan aroma yang buat perut keduanya gemuruhkan suara ingin diisi. Juga timbulkan binar, pada sepasang hazel milik Javier.
“Makasih pak,” ucap keduanya bersamaan, timbulkan keterkejutan pada keduanya dan kekehan pada sosok sepuh yang menyaksikannya, “Sama-sama, selamat menikmati,” ajunya sembari undur diri.
Haidar tatap binar bahagia pada kedua mata bulat milik Javier kala dapati semangkuk mie ayam hangat di hadapannya, pejamkan matanya bersamaan dengan kedua tangganya saling menggenggam sembari sedikit menunduk Javier rapalkan kecil sebuah doa pada sang pencipta, ucap kan sebuah syukur atas karunia yang diberikan jelas masih dapat ia dengar, buat hati Haidar ikut menghangat melihatnya— terlebih lagi senyum sumringah yang si manis ukir sembari ucapkan kalimat sederhana tapi berdampak besar makan detak jantung Haidar “Selamat makan,”
{🦢}
Terik panas matahari kini sengat kulit keduanya, buat kelenjar keringat kulit keduanya bekerja keluarkan bulir air basahi kulit keduanya— begitu pula dengan rel kereta yang berada pada sisi kirinya, tampak perlihatkan lempeng besi itu munculkan tipis uap panas diatasnya. Di sinilah keduanya, tengah berjalan dekat rel kereta api guna tuju tempat jadi tujuan mereka berdua habiskan waktu pada hari ini— Haidar lirik sekilas sosok Javier dari balik bucket hat berwarna senada seperti yang ia gunakan, bedanya hanya ada mainan berbentuk bunga dari rajutan pada tengahnya— milik Javier yang ia bawa sebelum tinggalkan kosan, katanya jaga-jaga takut bila sang surya tiba-tiba berubah tak bersahabat dengan keduanya.
Terhitung sudah nyaris 15 menit mereka telusuri jalanan ini, tapi bila ditotal dari mereka berjalan masuki kawasan padat penduduk itu ada total dua puluh lima menit keduanya berjalan kaki sembari bawa dua kotak berisikan alat menggambar dan beberapa buku juga dua plastik berisikan permen yang sudah Javier dan Haidar tambahkan bunga dari kertas origami tadi. Kembali teguk minuman dingin berperisa jeruk pada genggamannya itu, kala kembali rasakan haus pada tenggorokannya— sejujurnya Haidar sangat ingin tanyakan berapa lama lagi mereka harus berjalan dibawah panasnya ibu kota ini, tapi rasanya ragu kala lihat air wajah Javier.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belamour - Enhypen
Fanfictionall about one/short au enhypen shipper~~ Almost hyung line and sungjake. BXB Update kalau ngga ngantuk ToT