06 | Fading Light

16 3 0
                                    

Aroma vanila merebak ke indra penciuman manusia yang berada di taman. Malam sudah hampir tiba, percakapan dengan Dandy terus berputar bak kaset rusak, terlebih percakapannya dengan Wen sebelumnya. 

Natha menampilkan seringainya, tangan dan kakinya terasa dingin. Dengan penuh kesadaran dia menelpon nomor Wen.

"Hei, kenapa?"

Natha membiarkan ada jeda beberapa saat sebelum dia menyapa kembali cowok tampan ini.

"Hei, lagi apa?" tanya Natha dengan basa-basi.

"Belajar. Kamu tahu jam segini aku pasti belajar. Kenapa? Kangen?" 

"Hmm. Kamu ngarep?" goda balik Natha, beruntung mereka berbicara dengan perantara telepon. Jika tidak, Wen pasti melihat wajahnya memerah. 

"Nggak juga. Buruan ngomong, kenapa telepon? Kalau nggak penting, aku tutup teleponnya," tukas Wen lagi.

"Iya, deh. Si paling nggak mau buang-buang waktu. Aku tadi dapat insight aja dan aku ngerasa kamu harus dengerin, sih."

"Hmm, tentang apaan?"

"Ini ada kaitannya sama kamu dan masalahmu.  Kadang, lebih mudah berbohong daripada berkata jujur. Lebih mudah mengingat kesalahan orang lain, daripada hal baik yang dilakukan orang tersebut."

"Kamu bicarain masalahku sama papa?" tanya Wen dengan nada sumbang. Natha tahu, dia tidak pernah suka Natha memulai pembicaraan tentang Dandy.

"Iya, Wen. Pada akhirnya semua keputusan ada di tanganmu. Ya udah, kamu lanjut aja belajarnya. Jangan lupa makan, jangan maniak belajar aja kerjaannya," lanjut Natha lalu menutup panggilan secara sepihak.

Natha menghela napas panjang, "Sama aja. Kamu dan sifat keras kepalamu," ujarnya pasrah.

Natha berulang kali mengingatkan Wen untuk mencoba membuka hati terhadap Dandy. Natha tahu, dia tidak berhak untuk menyuruh Wen berbuat seperti ini, semua ini dia lakukan demi dirinya sendiri.

Natha terlalu takut Wen akan membencinya hingga melihat wajahnya pun dia tidak sudi. Sungguh, demi apa pun, Natha tidak ingin Wen menghilang dari hidupnya.

Dia sudah terlanjur nyaman dan terbiasa dengan kehadiran Wen dalam hidupnya. Sejak dia pindah ke tempat ini, Wen adalah teman pertamanya. Cowok kecil yang gemar merengut dan menggerutu kesal. Bibir kecil yang manyun meskipun hal itu tidak merubah kadar ketampanannya. 

Sejak kecil Wen sudah tampan, membuat Natha terpesona dengannya. Natha ingin berada di dekatnya, supaya dia bisa terus melihat Wen berada disisinya. Sejak bertemu dengan Wen, Natha mulai memperhitungkan setiap geraknya, termasuk mendekati Airine, wanita yang mengandung Wen. 

Semuanya penuh tipu muslihat, dilakukan demi kepentingan pribadi. Setiap kali mengingat tentang hal ini membuatnya sedih.

Dia terlanjur melakukan banyak hal yang menyakiti Wen, hanya saja dia sudah terlanjur masuk dalam kubangan dosa. Untuk berharap Wen tidak membencinya seperti berharap rumah tidak hangus karena kebakaran. 

Natha mendengkus kesal sembari menggaruk kepala, dia sudah berpamitan dengan Dandy. Obrolan yang membuatnya tidak senang, dia sangat yakin mereka saling menyayangi.

"Ah, sial. Dua-duanya sama-sama keras kepala. Nasehatin dari jaman batu sampai jaman teknologi maju juga sama aja. Nggak ada yang mau gerak duluan, kalau kayak gini aku harus apa?" gumamnya pelan.

Natha mengusap layar ponsel, melihat beberapa pesan yang masuk serta beberapa panggilan tidak terjawab.

"Ada lima pesan tidak terbaca dan lima panggilan tidak terjawab. Semuanya dari kamu, Wen. Gila aja. Aku mana mungkin terima teleponmu tadi? Apalagi ada suara Om Dandy, pasti kamu langsung ngamuk," ucapnya lagi.

My Wish- TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang