9 - Pearl House

88 8 0
                                    


Mala tidak tahu kenapa pondok di tepi danau ini dinamai Pearl House. Mungkin karena di malam hari, dia seperti mutiara dalam kegelapan. Benderang dibandingkan sekelilingnya. Sampai dengan radius satu kilometer, tidak ada satu pun rumah. Tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika Mala masih kecil.

Yang jelas, papan nama bertuliskan Pearl House menempel di dindingnya yang berdebu.

Jeff Hopkins tinggal di Pearl House sejak menikah dengan mendiang Ibu Mala. Hingga Mala lahir dan bersekolah, mereka masih tinggal di sana. Namun kemudian memutuskan untuk pindah ke Tennessee setelah Jeff mendapat tawaran di Kantor Polisi Nashville.

Menjadi polisi di kota kecil memang sudah dijalaninya sejak sebelum menikah. Demi pendidikan Mala yang kerap tidak masuk sekolah karena menempuh jarak terlalu jauh–membuat keluarga Hopkins mengambil keputusan yang tidak mudah. Meninggalkan rumah dan tanah warisan orang tuanya, menuju kota besar.

"Ada lelaki tua yang mengurus pondok sepekan sekali." Uncle Jimmy sepertinya memang tahu lebih banyak daripada Mala. "Atas permintaan ibumu."

Seingat Mala, waktu dia masih bersekolah di Junior High School, mereka pernah berlibur di sini. Dan ada seorang lelaki yang sudah tua saat itu yang mengantar bahan makanan.

"Apa Tuan Hudson?" tanya Mala sembari mengikuti langkah Uncle Jimmy menaiki tangga pondok kayu.

"Ya, tentu saja. Dia lelaki yang sehat dan kuat. Selama kau tinggal di sini, dia akan mengirim bahan makanan. Jadi kau tidak perlu ke mana-mana."

Mala mengedarkan pandangan, menyusuri tepi-tepi danau. Senyap, hanya ada suara burung sesekali. "Apa di sini aman?"

"Teman-temanku akan menjagamu."

Mala menghela napas. Teringat kejadian di rumahnya, yang belum dia ceritakan pada adik ibunya itu. Bagaimana bila pembunuh Notaris Rayyes memburunya ke sini. Dia adalah target pembunuhan sebagaimana Lowkey Moreano. Sepertinya urusan warisan tidak akan berhenti begitu saja–meski Lowkey dan Rayyes sudah mati.

"Aku masih hidup, dan ayah menyuruhku mengungsi ke sini. Apa yang sebenarnya terjadi? Paman sudah tahu?"

Jimmy menghempaskan badan di sebuah kursi rotan. Kursi itu berderit cukup kencang menahan beban tubuhnya. Mala belum hendak masuk memeriksa pondok. Dia masih ragu–tapi tidak punya pilihan.

"Kau tidak membunuh notaris itu."

Mala menelan ludah. Teman-teman Uncle Jimmy sudah pasti tahu lebih banyak dari dirinya–meski dia yang berada tepat di tempat kejadian. Bisa jadi, dia yang seharusnya mati, karena itu rumahnya dan Rayyes menyelinap masuk. Rayyes yang berada di waktu dan tempat yang salah.

"Aku aku boleh bertanya? Kurasa teman-teman paman sudah menyelidiki semuanya. Jadi siapa yang membunuh notaris Tuan Moreano?"

Uncle Jimmy menatap keponakannya. "Kamu tersangkanya."

"Apa? Aku tidak membunuhnya! Dia ditembak tepat di hadapanku!" protes Mala.

"Aku bilang kau tidak membunuhnya. Kau tidak mendengarkan dengan baik," tukas Jimmy. "Mulai sekarang, kau tidak lagi bersama ayahmu. Jadi kau harus belajar mengatasi semuanya sendiri. Aku tidak yakin bisa bersamamu seterusnya. Moreano sudah melanggar perjanjian."

"Perjanjian?"

"The Bones."

Mala tiba-tiba teringat kepingan logam berlogo dua tulang bersilang. "The Bones? Paman anggota gang motor itu?"

Jimmy tidak menjawab. Dia bangkit dari duduk dan membuka pintu pondok. Menyadari bahwa pegangan pintu sedikit longgar. Dia menggerak-gerakkan pegangan pintu itu berkali-kali–memastikan kalau memang benar-benar longgar. "Aku akan meminta Hudson memasang pengaman di pintu dan jendela. Kau bisa berenang?"

Mala mengangguk.

"Berenanglah ke seberang bila terjadi apa-apa. Ada pondok tidak jauh dari tepi danau. Kau bisa meminta perlindungan di sana."

"Ada apa dan siapa di sana?"

"Kubilang kalau terjadi apa-apa. Kenapa kau tidak bisa mendengar dengan baik?"

Mala memilih untuk diam. Dia berusaha mengenal pamannya, untuk itu lebih baik memilih untuk patuh saja. Uncle Jimmy rupanya tidak suka bila dia tidak bisa mencerna kalimatnya dengan baik. Jadi, kalau tidak terjadi apa-apa, dia tidak perlu berenang ke seberang dan meminta perlindungan di sana.

***

Hudson sepertinya awet tua. Seingat Mala, dulu lelaki ini memang setua sekarang. Bedanya, cara berjalannya memang lebih lambat.

Sepeninggal Uncle JImmy, mobil pick up Hudson datang membawa peralatan. Dia akan memasang panel kayu untuk pengunci pintu dan jendela. Juga memperbaiki kursi dan dipan yang rusak–karena lama tidak dipakai.

"Kau sudah besar, Mala."

Mala menjabat tangan Hudson. Terasa kering, keriput dan lemah. Dia tidak yakin lelaki ini masih bisa melakukan aktivitas pertukangan. "Aku akan membantumu."

Hudson tampak senang. Mala bukan tipe wanita yang bergantung pada lelaki. Dari tatapannya, dia tampak mandiri–dan Hudson langsung menyukainya. "Kamu seperti anakku. Dia sekarang ada di Jerman. Aku tidak yakin dia akan kembali ke Florida. Setidaknya, kamu bisa menjadi anakku selama dia tidak ada."

Mala mengembang senyum. "Dengan senang hati."

"Bagaimana kabar ayahmu? Dia tidak menikah lagi?"

Mala menggeleng, lalu mengambil kotak peralatan yang dihulurkan Hudson dari bak pickup. Hudson sendiri mulai mengangkat kayu dari bak pick up ke teras pondok.

"Kau sendiri?"

Mala hanya mengendik bahu, membuat Hudson memutuskan untuk tidak bertanya soal status Mala. Memutuskan tinggal seorang diri di Pearl House, jauh dari ayahnya, jauh dari hiruk pikuk kota besar–pasti bukan tanpa alasan sepele.

"Kau pasti senang tinggal di sini."

Mala hanya mengembang senyum. Sembari membantu mengangkat lonjoran kayu dari pick up ke teras, matanya berkali-kali menatap ke seberang danau. Sepertinya dia melihat kilatan atau lebih tepatnya pantulan cahaya. Mungkin dari kaca atau benda berkilat lainnya.

"Ada apa di seberang sana, Hudson?" Mala mengarahkan dagu ke seberang danau. Dia yakin Hudson juga melihat kilatan cahaya di kejauhan sana.

"Kau ingin ke sana?"

Mala tampak ragu. Uncle Jimmy berpesan, dia bisa berenang ke sana apabila terjadi situasi yang membahayakan. Tapi, bukankah jaraknya terlalu jauh untuk kategori menyelamatkan diri atau mencari perlindungan? "Apakah itu termasuk wilayah milik ayah?"

"Tidak. Itu wilayah milih orang lain. Ada pondok juga di sana, sama dengan Pearl House. Jarang dihuni, hanya sesekali pemiliknya datang untuk memancing. Tapi itu pun hanya setahun sekali. Mungkin saat ini dia datang."

Mala berusaha untuk tidak berpikir negatif, meski dia harus waspada. Pesan Uncle Jimmy sebaiknya dia ingat dengan baik. Karena tidak ada yang bisa dipercaya saat ini selain paman gendutnya itu.

Kilatan di seberang danau masih belum berhenti. Membuat Mala mengernyit kening. Sepertinya, itu bukan sekedar pantulan cahaya dari benda berkilat. Itu sebuah kode, Mala melirik Hudson yang masuk ke dalam pondok, memeriksa beberapa perabot.

"Apa aku harus menghubungi paman? Maksudku, kilatan itu apa benar tanda bahwa aku aman atau malah membahayakan?"

Mala mengeluarkan ponsel dari dompet kulit yang berada di balik saku jacketnya. Sebuah ponsel lama yang hanya bisa digunakan untuk menelpon dan mengirim pesan. Smartphone miliknya ada di rumah yang ditinggalkannya begitu saja malam itu. Dia yakin, kalau tidak polisi, Gamma atau Vicky, pastilah pelaku penembakan notaris yang kini memiliki ponsel itu. Jadi, dia tidak akan bisa terlacak oleh siapapun di tempat ini.

"Di sini tidak ada sinyal," ucap Hudson sembari mengeluarkan sebuah kursi yang lepas kakinya. "Hidupmu akan tenang di sini."

Dendam Mantan IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang