10 - The Bones

65 8 0
                                    


Jeff Hopkins duduk tepekur di sudut sel. Sebagai pensiunan polisi, seharusnya dia mengistirahatkan badan dan isi kepalanya–tidak lagi memikirkan kasus-kasus yang sudah membuat rambutnya memutih.

Namun nasibnya kini adalah, dia harus memikirkan kasusnya sendiri.

"Apa yang kau rencanakan, Lowkey?"

Jeff mendesah panjang. Dia yakin Lowkey punya rencana besar sebelum kematiannya, kalau tidak, dia tidak akan membuat janji untuk bertemu di malam nahas itu. Saat Mala dan Gamma berbulan madu, saat tidak ada satu pun pengawal di dalam rumah.

Lowkey mengadakan pesta kebun kecil-kecilan untuk pengawalnya–tanpa memperingati apapun. Dia memang sering mengadakan acara seperti itu untuk beberapa teman dekatnya. Semua sedang menikmati minuman ketika pelayan menemukan tubuhnya bersimbah darah. Padahal Jeff baru saja menemuinya lima menit sebelumnya. Semua pelayan dan pengawal menjadi saksi, bahwa Moreano memanggil Jeff dari jendela lantai dua, dan Jeff meninggalkan acara minum-minum di kebun memenuhi panggilan Moreano.

Hanya sebentar, karena ketika Jeff masuk ke dalam ruangannya, Moreano meminta maaf, tidak jadi meminta bantuannya. Dan akan segera menyusul ke kebun. Jeff pun kembali ke kebun dan tak lama kemudian terdengar jeritan histeris salah seorang pelayan.

Jebakan–itu sudah pasti.

Dan Jeff curiga, Moreno ikut andil dalam memasang jebakan itu untuknya. Lelaki itu selalu penuh perhitungan dan strategi dalam bisnisnya, jadi dia tidak akan ceroboh–bahkan untuk kematiannya sendiri.

Suara jeruji yang diketuk benda logam membuat Jeff mengangkat kepala. Mantan anak buahnya membawa sesuatu.

"Tuan Hopkins, anak anda mengirim makanan lewat kurir."

Jeff berpikir sejenak. Lewat kurir? Mala tidak akan mengirim makanan lewat kurir, karena gadis itu sangat mengkhawatirkan kondisi ayahnya. Kecuali, Mala tidak bisa mengirim makanan karena terkendala satu hal penting. Dan saat ini tidak ada yang lebih penting dan genting selain keselamatan Mala.

Terakhir anak gadisnya itu muncul di hadapannya dalam kondisi sangat kacau–tapi dia tidak mengatakan apapun.

Jeff perlahan bangkit dan menerima kotak kue dari mantan anak buahnya. "Terima kasih, Barry."

Yang dipanggil Barry hanya mengangguk, lalu berlalu. Sejenak dia menoleh mengamati Jeff sebelum menutup pintu.

Jeff kembali duduk di sudut sel dan membuka kotak kue. Isinya dua buah donat. Yang satu berlumuran coklat pekat dan satunya dilumuri selai kacang. Jeff menggeleng-geleng. Mala sangat tahu kalau dia alergi kacang. Sedikit saja kacang masuk ke perutnya, dia akan mengalami sesak napas.

Jeff meletakkan kotak kue yang terbuka itu di hadapannya. Tentu saja dia tidak akan memakan yang berselai kacang–meski itu dikirim atas nama Mala. Namun sejurus kemudian, tiba-tiba dia punya pemikiran berbeda. Dia mengeluarkan donat dengan selai kacang dan menatapnya cukup lama.

"Ini bukan kiriman Mala," batin Jeff. Mala tidak akan seceroboh ini. Seseorang pasti hendak mencelakainya–dan itu pasti bukan dari pihak Moreano. Karena mereka sangat menginginkan kebenaran keluar dari bibirnya.

"Kalau begitu, kita lihat saja" ucap Jeff. Perlahan, sembari memejam mata, dia mulai menggigit donat berselai kacang. Dia sangat tahu apa yang akan terjadi pada tubuhnya begitu makanan ini sampai di lambungnya.

***

"Seharusnya kau memeriksanya dulu, Barry. Bukankah kita semua tahu kalau Jeff alergi kacang? Kenapa kau seceroboh itu?"

Kepala Polisi mengusap wajahnya putus asa. Mereka berdua berada di depan UGD–tempat Jeff baru saja dibawa masuk untuk mendapat pertolongan pertama. Dia kesulitan bernafas setelah memakan donat yang dikirim oleh anaknya.

Barry menundukkan kepala. "Kupikir karena itu dari anaknya. Tertulis jelas dari kurir. Mala Hopkins."

"Kau harus membuat laporan atas kecerobohan. Kau lupa, kalau keluarga Moreano tidak akan tinggal diam? Mereka bisa melakukan apa saja–tidak peduli kita polisi atau Hakim sekalipun!"

"Maafkan aku, Bos."

"Kau harus berada di sini sampai pengganti jaga datang. Sulit dibayangkan, ini terjadi di depan hidungku. Gara-gara kau!"

Barry hanya menunduk dalam. Dia pasti akan mendapat skors karena kecerobohannya.

Seorang dokter berperut gendut melewati mereka, diiringi dua perawat. Kepala Polisi langsung menghentikannya sebelum dia membuka pintu menuju UGD.

"Anda siapa?"

Dokter itu menatap Kepala Polisi dengan tatapan heran. "Apa saya harus menunjukkan tanda pengenal di Rumah Sakit saya sendiri?"

Kepala Polisi mengangguk-angguk, meminta maaf, lalu menyilakan dokter itu masuk dengan dua perawatnya. Barry mengamati ketiga orang itu masuk, dia merasa ada yang aneh. Tapi untuk menyampaikan keraguan pada bos-nya, Barry menahan diri. Dia tidak mau kena damprat lagi.

Namun, nalurinya sebagai seorang polisi mendesaknya untuk melongok ke dalam UGD. Dia merasa ada yang janggal, dan dia harus menuntaskan rasa penasarannya. Saat menerima kiriman paket makanan dari kurir langsung ke mejanya–dia sama sekali tidak merasakan keanehan seperti saat ini. Karena semua tampak normal. Tapi dokter yang baru saja masuk ke ruang UGD ...

"Apa yang kau lakukan?" sergah Kepala Polisi sembari mengeluarkan ponsel dari sakunya karena berdering. Tapi dia tidak langsung menerima panggilan telepon, melainkan mengamati tingkah Barry yang melongok ke dalam ruang UGD melalui kaca di bagian atas pintu.

"Aku merasa aneh saja melihat dokter tadi."

"Tapi kau tidak merasa aneh dengan kiriman donat dari Mala Hopkins," sindir Kepala Polisi kesal. "Ini Rumah Sakit. Semua dokter sama."

Barry mengangguk ragu. "Semua dokter sama. Tapi apakah dokter di sini diperbolehkan gendut dan ... brewok?"

Kepala Polisi terdiam sejenak. Barry benar. Dokter tadi gendut dan brewok.

"Kurasa tadi aku melihat dia memakai kalung rantai."

Sontak Kepala Polisi mencabut pistol dari pinggangnya dan membuka pintu UGD perlahan. Memberi kode pada Barry untuk melakukan hal yang sama. Mereka memasuki ruang UGD. Barry memberi tanda pada perawat dan dokter yang lewat untuk segera menyingkir tanpa suara.

Kepala Polisi perlahan menyibak tirai demi tirai untuk mencari Jeff. Di ujung ruangan, tiga orang berpakaian dokter tadi keluar menyibak tirai dan memasuki pintu lain.

Kepala Polisi segera mengejar ketiga orang tadi, sedangkan Barry mencari Jeff. Sungguh dia berharap Jeff baik-baik saja. Meski lelaki itu kini menjadi tersangka pembunuhan Lowkey Moreanon, seluruh anggota di kepolisian sama sekali tidak mempercayainya. Tidak mungkin Jeff melakukan pembunuhan sekeji itu, meski semuanya belum terbukti.

Tapi bila sampai dia tewas karena selai kacang–itu sungguh drama yang berakhir tragis.

"Tuan Hopkins?"

Jeff Hopkins berada di ruangan paling ujung, dengan hidung dan mulut terhubung tabung oksigen, Dia tampak baik-baik saja, meski matanya setengah terpejam.

"Anda baik-baik saja?" tanya Barry memastikan kondisi Jeff, setelah menyarungkan pistolnya kembali.

Jeff mengangguk lemah.

"Siapa ketiga orang tadi?" tanya Barry hati-hati.

Jeff membuka tangannya yang menggenggam sesuatu. Sebuah kepingan logam dengan logo dua tulang disilangkan. Barry tertegun menatapnya.

"The Bones," gumam Barry tak percaya. Tidak menyangka bahwa baru saja Jeff berada di bawah ancaman Geng Motor paling berbahaya di Tennessee. 

Dendam Mantan IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang