Bab 4

10 4 0
                                    

Suasana di kampus tempat Rakshan mencari ilmu sore ini tak seramai saat pagi atau siang, sebab hanya beberapa mahasiswa dari jurusan yang berbeda saja yang kedapatan jadwal kelas sore atau beberapa dari mereka tengah melakukan bimbingan skripsi, a...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana di kampus tempat Rakshan mencari ilmu sore ini tak seramai saat pagi atau siang, sebab hanya beberapa mahasiswa dari jurusan yang berbeda saja yang kedapatan jadwal kelas sore atau beberapa dari mereka tengah melakukan bimbingan skripsi, adapun yang masih terjebak dalam kelas praktikum yang jam nya bisa mencapai 6 sks.

Tepat pukul 6 sore ini, Rakshan baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya untuk hari ini. Wajahnya yang cukup kusut menunjukkan bagaimana kondisi mahasiswa semester 5 ini nampak sudah dibantai habis-habisan oleh makalah dan PPT.

Ada yang bilang, 'Sesungguhnya Tuhan bersama mahasiswa semester 5.' Rakshan kira, saat dirinya masih MABA, semboyan itu hanyalah sebuah candaan untuk menakuti mahasiswa baru sepertinya. Namun, saat dirinya sedang menjalani semester tersebut, Rakshan baru menyadari semboyan itu memang ada benarnya. Bahkan sampai hampir tiap hari dirinya terus berdoa agar diberi kekuatan menghadapi semester mematikan ini, bukan sekedar matakuliah yang membuatnya pusing, tapi dosen-dosen yang sialnya ia dapati di semester ini rata-rata killer dan pelit akan nilai. Biasanya dulu ia selalu dengan mudah mendapatkan nilai, tapi sekarang rasanya Rakshan harus mati-matian untuk mendapatkan nilai yang ia inginkan.

"Jirrr, pulang-pulang itu wajah kusut banget, sehat Shan?" Rakshan yang baru saja memijakkan kaki di kosannya langsung menatap sepupunya, Hasha yang sedang rebahan di kasur milik Rakshan itu tertawa ringan.

"Lo serius nanya gue begitu? Gue nyaris gila!" ketusnya lalu Rakshan melemparkan tubuhnya ke atas kasur dan menyeret tubuh Hasha hingga buat si gadis menjerit.

"Tololllllllllllllll, awas anjing!" Hasha mengumpat. Rakshan tak peduli, dia tetap merebahkan badannya di sebelah Hasha yang sudah memisuh tak terima sebab tempatnya nyaris direbut oleh sepupu sialannya. Rakshan menatap langit-langit kosannya. Helaan nafas beberapa kali keluar dari mulutnya.

"Ca, menurut lo aneh gak sih kalo gue tiba-tiba keinget bocah itu?" Hasha menoleh pada sepupunya, menatap heran akan pertanyaan yang terlontar. "Siapa? Bocah kaya itu?" Rakshan mengangguk, "Kaga sih, gue juga kalo jadi lo bakal kepikiran. Tapi tumben lo nanya begituan ke gue?"

Rakshan menyatukan tangannya sebagai bantalan, "Lo inget kan pas Jivaa tiba-tiba ke kampus dan ngaku-ngaku jadi pacar gue?" Hasha menganguk, "Abis dari sana dia ngajak gue ke mall yang bahkan gue gak berani ke sana soalnya mall itu khusus kalangan orang keatas. Terus gue dibeliin banyak barang," dia mengambil sebuah ponsel dari saku celananya, Hasha yang melihat ponsel itu mendadak melotot. "ANJING?!" umpatnya, ia rebut ponsel tersebut.

"Ini ponsel keluaran terbaru, Chan. Gila aja lo dapet darimana?" Dirinya semakin terkejut ketika Rakshan mengambil tote bag dari tas nya. Sebuah ponsel lain yang sama-sama keluaran terbaru, dan jelas ponsel itu adalah Impian terbesar Hasha saat ini. "CHAN?!"

"Gue dibeliin sama Jivaa kemarin, gue udah nolak secara halus kalo gue tuh gak butuh begituan. Niat gue emang beneran mau nganter dia, tapi katanya dia pengen beliin gue ini cuma gara-gara denger ponsel sama laptop gue udah nge-lag."

"Bentar – jangan bilang lo―" Rakshan yang paham kemana pertanyaan Hasha langsung mengangguk, dia menunjuk lemari plastiknya dengan dagu. "Lo bisa liat di sana, dia beliin gue macbook sama iPad." Mendengar hal itu, buru-buru Hasha membuka lemari dan mengambil barang disebutkan sepupunya.

"Gila. Gue kalo jadi lo udah manfaatin doi, chan." Hasha dengan niat busuknya masih takjub menatap barang-barang mahal di depannya. Sebuah notifikasi dari ponselnya mengalihkan perhatian Rakshan, itu adalah pesan dari Jivaa. Remaja yang akhir-akhir selalu mengganggu kehidupan Rakshan mengabari jika dalam tiga hari kedepan Jivaa akan mengajak Rakshan untuk berkunjung ke rumahnya. 

"Ca, Jivaa ngundang gue ke rumahnya."

"HAH?!" Lagi-lagi pernyataan Rakshan membuatnya kaget, Hasha jadi penasaran, sebenarnya siapa sih Jivaa Jivaa ini?

"Chan, Jivaa nama aslinya siapa dah? Maksud gue, marga dia apaan?" 

"Mana gue tau anjrit!" Rakshan menatap ponselnya, masih bingung harus membalas apa. 

"Coba lo tanyain. Gue sama Diki mau nyari tau biar lo bisa dan gak terlalu kaget ngadepin keluarga dia." Rakshan mematung, benar juga apa yang Hasha katakan, seharusnya ia mencaritahu mengenai informasi sederhana itu. 

"Bentar, gue tanyain." 

"Iya sok."

Hasha kembali bergelut dengan barang-barang mewah, termasuk ponsel android yang selalu ia impikan. Hasha kemudian menoleh saat Rakshan memanggil namanya, "Dia bilang namanya Jivaa Paramarta." 

Tanpa bersuara apapun, Hasha segera menghubungi Diki, di antara mereka bertiga yang paling tahu mengenai keluarga-keluarga sultan itu hanya Diki seorang. Ia tidak ingin firasatnya meleset, sebab hanya satu keluarga Paramarta yang dia ketahui. 

"Anjing! Lo beneran Manusia brengsek paling beruntung, Chan." Hasha melemparkan bantal di sampingnya hingga mengenai Rakshan. Buat si empu bertanya-tanya, apa salahnya. 

"Begoooo, lo lagi berurusan sama salah satu keluarga paling kaya dan disegani di Asia, anjinggg. Keluarga Paramarta itu bukan keluarga sembarangan, bisnis dan asetnya ada dimana-mana. Bahkan banyak orang yang pengen kerjasama bareng keluarga ini, termasuk papinya si Diki!"

"Hah?" Kali ini giliran Rakshan yang terkejut. Ia memproses apa yang Hasha katakan. 

"Bajingaaannn. Pantes aja si Jivaa gak pernah tau soal indomaret, Bandung atau dunia rakyat jelata. Orang dia aja punya banyak Private Jet." Hasha memijat pelipisnya, "Lo tau gak sih?! Maminya si Diki sampe pingsan pas tau fakta soal lo deket sama anak bungsunya Paramarta! Gue sampe bingung harus ngomong apa, chan..."

"Gu-Gue harus apa...?" 

"Kaga tau anjing! Lo mending lebih hati-hati nyikapin Jivaa. Konon katanya dia diawasin sama banyak bodyguard yang tersebar dimanapun dia berada. Jadi kalo lo ketauan nyakitin dia, lo bakal tamat." 


Rakshan bengong. Dia benar-benar dilanda kebingungan. Harusnya dia bersyukur karena bertemu dan disukai oleh anak yang bukan berasal dari keluarga sembarangan. Tapi, kenapa dirinya malah merasa terbebani? Bagaimana kalau ia dipandang buruk oleh keluarga Jivaa? Bagaimana jika dia dijebak? Dia benar-benar harus menyiapkan mental untuk bertemu keluarga Jivaa, sebab bila sekali Jivaa bersabda maka apa yang ia katakan harus terwujud. Apa Rakshan pura-pura sakit aja ya? 

 Apa Rakshan pura-pura sakit aja ya? 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kakak Tampan! [Hyunjeong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang