17. Regret and Trauma

2.7K 223 54
                                    

〔༻ 🌌 ༺〕

Jeco melangkah keluar kamar mandi dengan sebelah tangan yang sibuk mengusap-usap rambut basahnya menggunakan handuk. Indra pendengarannya disambut oleh dering ponsel di atas nakas. Jeco pun menghampiri sumber suara dan melihat nama Karin dari kontak yang menghubunginya. Muncul kerutan tipis di dahinya. Belum ada dua jam dari seperginya Karin, ada apa istrinya itu menelepon?

"Halo? Kenapa, Rin?"

Begitu seseorang di panggilan telepon bersuara, kerutan di dahi Jeco semakin jelas sebab suara yang didengarnya bukanlah suara Karin.

"Selamat pagi, apa benar anda kerabat dari Nyonya Katharina Jasmine Orlan? Nomor anda ada di panggilan daruratnya."

Jeco terdiam sesaat. Tiba-tiba dilanda firasat tidak enak. "Iya, benar. Saya suaminya."

Dan kalimat sahutan dari seseorang di panggilan telepon setelah itu membuat jantung Jeco mencelos seketika. Pupilnya bergetar panik bersama debaran jantung yang berpacu cepat.

"Apa? Ke─kecelakaan ...?"

Sesudah panggilan telepon usai, Jeco langsung kalang kabut mencari kunci mobil. Ingin sesegera mungkin datang ke rumah sakit tempat Karin sedang diberikan penanganan medis. Tidak memedulikan dirinya yang hanya memakai pakaian rumah yakni kaos polos serta celana pendek serba hitam ataupun rambutnya yang masih setengah basah.

Seraya berjalan keluar apartemen, Jeco sibuk menghubungi Arel karena yang kecelakaan bukan hanya Karin melainkan Nila juga. Namun, temannya yang satu itu tidak kunjung mengangkat panggilan teleponnya. Sesampainya di lorong lantai 20, Jeco menghadap ke pintu unit 520 A. Ditekannya bel berulang kali namun tidak ada sahutan sama sekali.

Decakan khawatir lolos dari mulut Jeco. "Arel ke mana sih?"

Pada akhirnya, Jeco memilih segera berangkat ke rumah sakit saja karena Arel tidak bisa dihubungi. Sepertinya, Arel juga tidak berada di apartemen. Entah apa yang sedang dilakukan temannya itu.

〔༻ 🌠 ༺〕

Tatapan sendu Arel mengarah pada seorang wanita yang sedang berbaring di bangsal rumah sakit. Hanya menatap dan tanpa bicara sepatah kata membuatnya terlihat seperti sedang melamun walau kenyataannya memang begitu.

"Jangan lihatin aku kayak gitu. Aku udah baik-baik aja."

Suara lembut Shenna meleburkan lamunan Arel. Pria itu berujung menghela napas kecil. "Kamu jangan pergi sendirian lagi. Aku khawatir kamu kenapa-napa terus gak ada yang nolongin atau telat dapat pertolongan. Pokoknya kejadian kayak hari ini jangan sampe terulang."

"Padahal sebelum ke minimarket dekat rumah tadi aku baik-baik aja. Makanya aku berani keluar sendiri karena Papa lagi kerja dan Mama lagi di rumah sepupu."

"Mau kamu lagi baik-baik aja atau enggak pokoknya jangan!" tegas Arel, membuat Shenna tersenyum tipis.

Tiba-tiba pikiran Shenna teringat kejadian di depan minimarket beberapa saat lalu. "Tadi ada perempuan yang nolongin aku. Mungkin aku udah jatuh ke aspal kalau nggak dia pegangin pas kepalaku pusing banget. Dia juga nawarin nganter ke rumah sakit tapi aku tolak karena kayaknya dia lagi ada keperluan terus ada temennya yang nungguin juga. Perempuan itu baik banget, Rel. Sayang aku gak sempat kenalan dan nanya namanya."

"Itu karena kamu orang baik, makanya Tuhan ngirim orang baik juga di saat kamu butuh pertolongan." Arel membalas sembari menarik senyuman teduh. Setelahnya, hening beberapa detik. Hingga perlahan Arel membuka suara lagi. "Aku mau tanya sesuatu."

"Tanya apa?"

"Kenapa kamu milih balik ke Indonesia dan jalani pengobatan di sini sedangkan pengobatan di Australia sana lebih bagus?"

520 | aedreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang