Satu part lagi untuk penebusan dosa karena terlalu lama ngaret.
-o0o-
Di sanalah mereka berempat sekarang, berdiri bersama beberapa mahasiswa lain di halte BRT terdekat dari indekos Gea dan Yudha. Hanya berjarak beberapa ratus meter dari Masjid Ulul Albab UNNES.
Yudha dengan santai bersandar pada tiang halte, menggulir layar ponsel guna menyimak info terkait pelaksanaan wisuda di grup WhatsApp. Yita dalam balutan celana jeans juga kemeja hitam yang sempat diprotes Latu, memilih bersedekap dada. Sementara itu, Gea dan Latu asyik berbincang sembari menunggu bus tiba.
Tak tahu lagi harus membicarakan apa dengan Gea, Latu diam. Memilih menunggu bus sambil menyapukan pandangan ke berbagai arah. Lalu lintas terbilang cukup ramai, banyak motor lalu lalang yang Latu yakin adalah para mahasiswa.
Lima belas menit kemudian, bus yang mereka tunggu-tunggu datang. Setelah sabar bergantian dengan mereka yang hendak turun, keempatnya naik. Bangku-bangku yang masih kosong membuat mereka semua dapat duduk dengan nyaman. Latu bisa bersebelahan dengan Gea sedang Yudha dan Yita terpisah di bagian depan.
“Naik ini bisa langsung sampai apa harus transit dulu, Ge?” tanya Latu, matanya sibuk menyusuri pemandangan menakjubkan Gunungpati dengan sedikit menyerongkan posisi duduk ke arah jendela.
“Seingetku sih transit sekali, Mbak. Ntar kita tanya lagi deh, soalnya aku ke sana udah lama juga, nggak terlalu inget.” Gea terkekeh, mengakhirinya dengan ringisan.
Saat bus berhenti di halte daerah sekitar UPGRIS, dua lansia dan seorang ibu hamil beserta anak kecil berusia 5 tahun naik. Yudha dan Yita yang berada dekat pintu langsung berdiri, mempersilakan dua lansia untuk duduk mengingat tak ada lagi bangku kosong tersisa.
Gea yang lebih dulu menyadari keberadaan sang ibu hamil juga ikut berdiri, tersenyum ke arah wanita berpakaian garis-garis itu. “Silakan, Bu.”
Si wanita hamil balas tersenyum. “Terima kasih, Mbak.”
Semenit penuh bus berjalan, Latu baru sadar bahwa di sampingnya bukan lagi Gea. Ia terlonjak dan mengubah posisi duduk, kembali menghadap depan. Ia mendapati Gea sudah berdiri sambil berpegangan, sedang sebelah tangannya yang bebas membantu memegangi bocah perempuan itu agar tak jatuh.
Latu fokus ke anak berkepang satu itu, lantas menepuk pahanya seraya tersenyum. “Mau duduk sini sama Kakak?”
“Eh, nggak usah Mbak, ngerepotin nanti,” balas sang ibu sambil tersenyum tak enak.
“Nggak apa-apa, Bu.” Kembali Latu menawari anak itu dengan senyum lebarnya. Gea pun ikut membantu meyakinkan anak itu agar mau mengiyakan. Namun, gelengan pelan yang diterima Latu.
Sadar tak akan berhasil, Latu memilih berdiri, memilih memberikan tempat duduknya untuk anak itu.
“Eh Mbak, kok malah jadi Mbak yang berdiri? Aduh, beneran nggak apa-apa,” protes ibu itu lagi.
Latu tersenyum. “Nggak apa-apa, Ibu, beneran. Adek, duduk situ aja.”
Anak itu menurut, lantas melihat ke arah sang ibu.
“Bilang apa sama Kakaknya?”
Latu mendapat senyum lebar dari anak itu, matanya bahkan hingga sisa segaris. “Terima kasih, Kakak.”
Tangan Latu terulur guna mengusap kepala si anak. “Sama-sama.”
Latu menikmati perjalanan meski beberapa kali tubuhnya terayun karena jalanan lumayan menurun dan berkelok.
Beberapa kali bus berhenti di halte-halte yang dilewati, penumpang semakin penuh. Beberapa anak muda yang semula Latu lihat duduk nyaman sudah berdiri, memberikan tempat duduk masing-masing pada penumpang yang lebih prioritas. Yudha dan Yita bahkan sudah tergeser ke belakang, sudah berada di sekitar Latu juga Gea.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...