12 - Kartu Truf

61 6 1
                                    


"Kau tidak selincah dulu lagi dengan perut gendutmu, Jim."

Jimmy meraba perut gendutnya. "Kalian yang membuatku seperti ini."

Temannya yang lebih muda dan berbadan atletis hanya mencibir. "Kau memang seharusnya sudah istirahat, atau besi di kakimu akan mencuat lagi seperti dulu. Salah sendiri, kenapa istirahat kau artikan dengan minum dan duduk manis di kandangmu itu."

Jimmy mendengus. "Besi di kakiku sudah lama berkarat, jadi sebaiknya dibilas dengan alkohol."

Jimmy menarik celananya hingga setinggi lutut. Terlihat bekas luka jahitan memanjang, pintu masuk besi panjang penunjang langkahnya. Sejak besi bersemayam di dalam kakinya, dia tidak lagi berada di jalanan, dan itu membuatnya depresi.

"Keponakanmu aman bersama Hudson."

"Aku tahu."

"Lalu kenapa masih ke sini? Apa dia minta dibawakan boneka pengantar tidurnya?"

Jimmy mendengus. "Ada urusanku yang belum selesai di sini. Harus aku temukan sebelum polisi atau Moreano menemukannya. Hidup Mala akan menjadi petaka bila benda itu mereka temukan lebih dulu."

"Kurasa aku tidak perlu tahu."

"Itu lebih baik."

Jimmy turun dari mobil,mengenakan kaca mata hitam dan merapikan seragam polisi yang didapatnya dari penyerbuan ke Kantor Polisi tadi malam–lalu melangkah dengan tegap memasuki halaman rumah Jeff Hopkins yang masih digaris polisi.

Melihat langkah Jimmy yang tegap dan gagah meski dengan perut gendut–temannya tertawa kecil. Sembari memastikan situasi sekeliling sepi, dia lalu menghidupkan radio polisi di mobil patroli polisi yang dikendarainya.

Penyerbuan ke Kantor Polisi Nashville dini hari tadi, membuatnya bisa memiliki mobil polisi lengkap dengan radio, sirene dan seragam polisi. Satu berukuran jumbo untuk Jimmy, satu lagi untuk dirinya.

"Ternyata aku lebih tampan dengan seragam polisi. Kurasa selama ini salah negara saja," ucapnya seraya berkaca di kaca mobil sembari merapikan rambut dan mengenakan kacamata hitamnya. Seorang warga melintas dan melambai menyapa. Dengan ramah dia berlagak membalas sapaan.

Informasi dari radio polisi semakin berisik. Pengejaran The Bones oleh para polisi rupanya belum membuahkan hasil.

"Kuharap Jimmy segera menemukan barangnya. Aku tidak mau bila kemudian ada perintah untuk mengejar The Bones, kelompokku sendiri."

Tanpa kesulitan, Jimmy sudah berada di dalam rumah Jeff. Saat melintasi dapur, dia melihat garis polisi yang membentuk orang terkapar di lantai, tidak jauh dari pintu dapur. Sejenak dia memperhatikan, pintu dapur yang tertutup baik-baik saja, jadi dia ditembak saat pintu dapur terbuka.

Jimmy menuju ruang tengah. Mengamati foto-foto yang dipajang di dinding. Dia mengambil beberapa foto keluarga dan memasukkan dalam tas besar yang disandangnya. Foto Mala ketika masih bayi dalam gendongan ibunya, foto ketika sekolah. Ada foto bertiga, Moreano dan Jeff dengan Mala berada di tengah, sedang memotong kue ulang tahun.

"Hm, apa kalian sudah bersahabat selama itu?" gumam Jimmy.

Foto pernikahan Mala dan Gamma juga diambilnya. Dengan tas besarnya, dia sudah bersiap memasukkan banyak barang. Barang yang harus diberikannya pada Mala. Bila tidak sekarang, mungkin nanti bila situasinya sudah aman bagi Mala.

Jimmy menuju kamar tidur. Dia tidak tahu di mana barang yang dicarinya, dia cuma ingat satu hal saja. Waktu itu, sebelum ulang tahun Mala yang ada foto Moreano dan Jeff dalam bingkai. Dia datang tengah malam sebelum perayaan di rumah ini, dan Jenny mengijinkannya masuk meski Jeff tidak ada di rumah. Jeff baru saja keluar untuk menyelesaikan sebuah kasus dan Jimmy mengendap tanpa diketahui siapapun selain Jenny.

"Aku menyimpannya di lantai, di bawah ranjangku, Jim. Aku ingin, bila sesuatu terjadi pada Mala kelak, kau harus menyimpannya sebagai kartu truf terakhir untuk menyelamatkan Mala."

Sebagai istri polisi, Jimmy sangat memahami bila Jenny selalu dalam kekhawatiran bila Jeff sedang bertugas. Dia bisa menjanda kapan saja, dan masa depan Mala menjadi tidak karuan. Tapi ternyata bukan itu yang dikhawatirkannya.

"Apa semua baik-baik saja?"

"Sangat baik-baik saja. Semua berjalan normal, Mala juga bahagia. Hanya saja, aku mengkhawatirkan satu hal besar," ucap Jenny malam itu–gelisah.

"Apa itu?"

"Jeff dan Moreano sekarang bersahabat baik. Kau tahu maksudku, kan?"

Itu adalah jawaban yang lebih dari cukup bagi Jimmy untuk menyadari bahaya apa yang akan mengancam Mala di masa depan–bila sampai terjadi sesuatu antara Moreano dan Jeff. Tidak semua persahabatan bisa begitu tulus, kecuali didasari pada satu hal dasar–urusan nyawa.

Dan Jimmy tidak bertanya lebih jauh pada Jenny malam itu–bagaimana Jeff dan Moreano bisa menjadi sahabat baik. Padahal keduanya berkecimpung di dunia yang berbeda. Yang jelas, kedekatan keduanya sama sekali tidak diharapkan oleh Jenny, atau akan ada hal besar terkuak yang akan menghancurkan segalanya.

"Jim, kau masih lama?"

Suara di handy talky yang berada di pinggang Jimmy membuat Jimmy bergegas menuju kamar mendiang adiknya. Dia berharap Jeff belum merenovasi kamar dan menemukan benda yang disembunyikan Jenny.

"Aku masih belum selesai," balas Jimmy.

"Mereka sudah berisik karena kekurangan armada. Mobil kita disuruh ke pinggir kota, kurasa itu dekat rumahmu."

Jimmy mendengus. Biar saja rumah alias kandang–sebutan dari temannya itu, menjadi serbuan polisi. Tidak ada apapun yang mengaitkan rumah itu dengan Mala. Mungkin beberapa tetangga mendengar informasi di media tentang Kantor Polisi yang diserbu The Bones. Dan mereka melapor bahwa rumahnya adalah sarang The Bones.

Jimmy menggeser tempat tidur Jeff dan menemukan apa yang dimaksud Jenny. Ada bagian lantai yang berbeda dan ada tali untuk mengangkat lantai yang berbeda itu. Perlahan Jimmy mengangkatnya dan menemukan sebuah lobang di bawah lantai. Ada sebuah peti logam sebesar kotak bekal makanan di dalamnya.

"Jim? Bisa lebih cepat?"

"Aku sudah menemukannya. Dua menit lagi aku keluar."

"Cepatlah. Ada mobil patroli yang akan menyusul."

Jimmy langsung memasukkan kotak bekal itu ke dalam tas besarnya. Dia segera mengembalikan posisi ranjang ke tempat semula, lalu bergegas keluar. Baru saja dia hendak mencapai gagang pintu, tiba-tiba terdengar suara kaca pecah.

Jimmy menunduk. Seseorang mengincarnya dari luar rumah dan tembakan nyaris mengenai kepalanya.

"Sial!" geram Jimmy.

Jimmy mencoba memanggil temannya, tapi tidak ada sahutan. Dia semakin geram. Dia yakin, temannya sudah ada yang melumpuhkan. Dan dengan tubuh gendut seperti ini, dia tidak mungkin bisa lari dengan cepat seperti dulu lagi.

Jimmy perlahan membuka pintu depan, dan desingan peluru kembali terdengar, memecah kaca yang lain.

"Sial! Sial!" geramnya.

Dia tidak mungkin menghubungi teman-temannya saat ini, karena mereka sedang mengalihkan perhatian agar dia bisa memasuki rumah ini. Ternyata, ada pihak lain yang mengetahui rencananya. Apakah polisi atau Moreano?

Jimmy merangkak ke ruang tamu. Dia mengintip dari sela-sela tirai. Di luar tidak ada siapa-siapa, tapi dia bisa melihat tangan temannya menjuntai keluar dari pintu mobil yang setengah terbuka. Ujung tangannya mengalirkan cairan warna merah.

"Sial, apa yang harus kulakukan?"

Jimmy mendekap erat tas besarnya. Kartu truf ini tak boleh jatuh ke siapapun, atau Mala tidak akan selamat.

Dendam Mantan IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang