Dari sekian banyaknya hal didunia ini, sepertinya tidak banyak pula hal yang bisa Haikal syukuri. Buktinya, Haikal hanyalah seorang anak yang menghabiskan waktunya didalam kamar seharian. Tanpa teman, dan juga tanpa hal menarik dalam hidupnya. Kecuali...
"Ikal, A Mahen pergi ke kampus dulu yah, tolong jaga rumah, kalau ada apa-apa Ikal tinggal telepon A Mahen, hari ini AA cuma sebentar kok, dua kelas doang. Omat tong kamana-mana lamun teu penting-penting teuing nya." Suara yang terdengar dari seseorang berusia dewasa awal, dengan tingkat pendidikannya yang kini tengah menuju semester akhir.
Ya, Haikal kini hanya memiliki kakak satu-satunya yang sekarang juga sibuk akan dunianya, mengingat kakaknya kini sedang menempuh pendidikan di salah satu kampus favorit yang kini sudah menginjak semester-semester akhir.
"Iya A, hati-hati dijalan, jangan ngebut, AA mah sok teu kira-kira ari bawa motorteh, Ikal ge suka spot jantung dibawa ku A Mahen mah." Jawab Haikal diikuti dengan kalimat-kalimat pengingat sembari merepet mulutnya seperti petasan cabe.
Ya, seperti yang sudah kalian duga, pada akhirnya Haikal kembali seorang diri, hanya ada ruangan-ruangan kosong beserta benda mati didalamnya. Hari-harinya hanya ia isi dengan sekolah dan belajar. Mengingat ia merupakan siswa yang sangat berprestasi disekolahnya, baik dibidang akademis, maupun non akademis.
Selain dari belajar, sesekali juga Haikal melatih skill bernyanyi-nya di studio musik milik ayahnya. Benar, Haikal mewarisi bakat menyanyi-nya dari dari sang ayah, yang kini hanya bisa Haikal dengar suaranya saja lewat CD. Dan ketika Haikal bernyanyi, orang-orang pasti langsung teringat dengan sosok bernama Arya Dwipangga. Ya, sosok legendaris didunia musik diera 90-an. Bahkan jika ada orang yang mendengar Haikal bernyanyi sambil menutup mata, mereka akan rancu akan siapa yang sedang bernyanyi karena saking miripnya suara mereka.
"Hmmm... diluar hujan, padahal, Ikal ingin sekali merjalan-jalan didekat rumah, mana A Mahen masih lama lagi pulangnya, Ikal kudu kumaha ayeuna, Ikal bosan kalo harus terus melihat rumus matematika." Keluhnya yang tidak bisa pergi mendinginkan kepalanya karena sudah bosan berkutat dengan rumus dan buku matematikanya.
Namun, setelah Haikal berkutat dengan pikirannya, ia memutuskan berkeliling rumahnya yang memiliki luas seperti mall itu. Setelah lama berkeliling rumahnya, Haikal terdiam dan berdiri tegak menghadap pintu yang tertutup rapat mengarah ke salah satu ruangan yang sudah lama tidak ia masuki.
Ruangan tersebut merupakan ruangan favoritnya ketika ia kecil. Ya, kamar kedua orang tuanya. Yang kemudian setelah sekian lama baru berani ia masuki. Lalu siapa sangka, Haikal didapati satu buku besar tebal yang sudah berdebu, dan kini tergeletak begitu saja diatas meja rias ibunya. Dengan rasa penasarannya, Haikal mulai membuka buku tersebut yang ternyata itu merupakan album kenangan keluarganya.
"Ibun... Ikal sangat merindukan Ibun, Ibun bahagia kan disana? Maafkan Ikal karena Ikal belum bisa bahagiakan Ibun, Ikal hanya bisa membuat ibun kerepotan, dan Ikal hanya bisa buat Ibun sedih. Ayah, Ikal sudah meraih juara satu olimpiade matematika seperti yang sudah Ikal janjikan pada Ayah. Ikal janji, selama Ikal masih hidup, Ikal akan melakukan yang terbaik, dan bikin Ibun dan Ayah bangga sama Ikal." Gumamnya sambil menatapi album photo yang sedari tadi ia pegang.
Tidak lama kemudian, hujan pun mereda, diikuti suara seseorang yang sedang membuka pintu, lalu kemudian masuk kedalam rumah.
"Ikal... Ikal... AA pulang, Ikal dimana?" Teriak Mahen sambil mencari adiknya yang tidak ia dapati dengan mudah.
"Lah, Ikal? Ikal ngapain disini? dari tadi AA cariin kemana-mana gak ketemu, bahkan dikamar juga gak ada, ternyata disini, Ikal lagi ngapain disini?" Tanya Mahen yang bingung karena tiba-tiba mendapati adiknya yang tidak biasanya berada dikamar orang tuanya.
"Eh... Ikal kenapa? Kok nangis? Hei, sini-sini AA liat, Ikal kenapa nangis, Ikal juga kenapa ada disini? Tumben." Susul mahen berbicara sembari berjalan menghampiri adiknya yang didapati tengah menangis sesegukkan sambil menatapi album keluarganya.
Namun, Haikal sama sekali tidak menjawab apa yang menjadi pertanyaan kakaknya, bahkan ia juga menghiraukan apa yang sedari tadi kakaknya utarakan padanya.
Tak lama kemudian, Mahen tiba-tiba memeluk adiknya yang tengah tenggelam dalam kesedihannya itu. Dan tanpa sadar, air mata Mahen pun ikut mengalir karena ikut terbawa suasana.
"A Mahen, Ikal jahat yah? Kalo aja Ikal gak lahir ke dunia ini, pati sekarang A Mahen masih bisa main bareng Ibun, A Mahen juga masih bisa makan masakan Ibun, dan gak perlu cape cape kerja sambil kuliah kaya sekarang." Ucap Haikal yang masih menangis sambil menyalahkan dirinya sendiri.
"Hush... Tidak boleh bicara seperti itu, karena yang namanya hidup dan matinya seseorang itu sudah diatur sama Tuhan. Kalau Ikal terus-terusan menyalahkan diri Ikal sendiri, Ikal justru malah bikin Ibun sedih disana. Jangan seperti itu lagi yah? Pokoknya A Mahen gak mau denger Ikal bicara seperti itu lagi. Janji?" Ujar Mahen sambil mengusap air mata Haikal.
"Yasudah, gimana kalo kita sekarang jalan-jalan sore keliling Dago, sambil jajan cuanki Mang Wahyu, mumpung cuacanya lagi enak, abis ujan, terus mam cuanki yang anget. A Mahen tau kalo soal cuanki Mang Wahyu Ikal gak bakal bisa nolak. Sekarang, hapus air matanya, abis itu siap-siap, biar A Mahen siapin dulu motornya." Ajak Mahen kepada Haikal agar suasana hatinya kembali membaik.
Setelah kedua kakak beradik ini saling menuangkan kesedihannya, mereka memutuskan untuk berkeliling Dago disore hari, karena mengingat Dago merupakan tempat favorit kedua orang tua mereka. Diiringi udara yang dingin, dan jalanan yang masih basah karena hujan tadi siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAYUNG
Fanfiction"Bandung hari ini lagi cerah banget, pengen deh jalan jalan keliling Dago, sambil makan cuanki Mang Wahyu."