11. Kepercayaan

22 2 0
                                    

NATHAN yang duduk di kasur menatapku lega.

Kate mengernyit padaku. Aku segera mendorongnya kembali masuk ke kamarku.

"Kate, maafkan aku," kataku menyesal.

"Kenapa kamu melakukan ini, Max? Kamu berbohong padaku."

"Kate, aku tidak bermaksud berbohong padamu. Aku hanya ingin membantunya."

"Max! Dia pernah membiusku." Kate menundukkan wajahnya dan menangis terisak. "Apakah kamu tahu betapa menyakitkannya itu? Dia yang menyebabkanku mabuk di pesta sehingga Victoria mengambil videoku dan menyebarkannya. Aku harus menanggung cemoohan orang-orang yang memanggilku PELACUR VIRAL! Belum lagi dia membawaku pada... membawaku pada Jefferson! Aku tidak akan bisa memaafkannya, Max. Demi Tuhan, aku tidak mau melihatnya!"

Tubuhnya bergetar. Dia memunggungi Nathan dan menganggap cowok itu tidak ada di sini. Aku meraih lengannya untuk memeluknya. Dia tidak menolak, dia menangis di bahuku.

"Aku tidak mengerti kenapa kamu melakukan ini, Max. Ini tidak benar," isaknya.

"Kate, kamu ingat saat kita pernah membahas tentang pengampunan? Aku mencoba melakukannya. Kupikir setiap orang berhak mendapatkan pengampunan dari Tuhan, bukan? Kamu lebih tahu."

Kate melepaskan pelukannya lalu menatapku nanar. "Aku belum bisa memaafkannya, Max. Tidak akan bisa."

"Kate...."

"Jika aku harus masuk neraka karena membenci seseorang, kurasa itu sepadan karena Nathan tidak akan pernah mendapatkan maafku." Dia hendak keluar dari kamarku, tetapi aku menahannya.

"Bisakah kamu tutup mulut tentang ini? Seseorang sedang mengejarnya. Dia sedang dalam bahaya," kataku.

Kate diam sejenak mengernyit menatapku dalam. Dari matanya terpancar keinginan untuk melirik ke arah cowok yang ada di sampingnya—sedang duduk menatap kami berdua dalam diam. Kate menarik napas dalam-dalam. Kelembutan hatinya terpancar sedikit demi sedikit.

"Oh, Max... betapa aku ingin tidak peduli tentang itu." Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Tapi kamu sahabatku. Jika dia ada di sini, itu berarti kamu juga dalam bahaya. Baiklah, aku akan tutup mulut."

Aku merengkuh bahunya. "Bagus. Terima kasih, Kate."

"Sebaiknya kamu tidur denganku," katanya.

Aku menoleh ke arah Nathan. Dia mendadak sedih.

"Tidak apa-apa. Lagi pula kami tidak melakukan apa pun-"

"Jangan berani-berani, Max! Semoga Tuhan dan malaikatnya selalu melindungimu." Dia mendesah. "Aku harus segera keluar dari sini sebelum... sebelum aku... mematahkan tulang seseorang!"

Dia melangkah keluar, tetapi hawa panasnya masih terasa di dinding kamarku. Mungkin itu karena kebencian.

Aku duduk di sofa memandang Nathan yang menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia tidak menangis, hanya menggumamkan kata-kata tidak jelas.

"Dia butuh waktu, begitu juga dengan Victoria," kataku.

Nathan tidak menjawab dan masih bergumam.

Aku beranjak dari sofa untuk duduk di sampingnya. Tanganku mengelus bahunya yang tegang.

"Sudah, tidak apa-apa."

"Semua orang membenciku... Aku minta maaf."

Kepalanya jatuh di pelukanku. Dia menangis.

Nathan selalu berteriak dan mengancam. Meski begitu, dia tidak pernah kelihatan lebih rentan seperti yang tadi terlihat saat Kate menyerbu masuk. Seolah-olah Kate bisa dengan mudah membalikkan keadaan dengan mencabut nyawanya.

After The Storm (Life is Strange)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang