Satu hal tentang menyambut akhir pekan yang paling disukai oleh Dey adalah, berarti ia bisa begadang untuk menonton serial anime kesukaannya. Seperti saat ini, ia sedang menonton anime kesukaannya di kamar, dengan lampu yang sengaja ja matikan dan hany mengandalkan penerangan dari lampu tidur. Air matanya sudah untuk kesekian kalinya menetes meratapi nasib kelabu tokoh andalannya dalam anime tersebut harus mati.
Ia cukup menyesali kelupaannya membeli tissue saat pergi belanja bersama Aca tempo hari, dan kini ia hanya memiliki jarinya untuk mengelap air matanya.
Ah omong-omong soal Aca, sudah beberapa hari tidak ada kabar dari perempuan itu. Chat-nya terakhir kali tidak dibaca, apalagi dijawab. Di sosial medianya juga tidak ada status apa-apa yang dapat menjadi informasi keberadaan gadis itu. Dey jadi enggan berasumsi aneh-aneh, mungkin gadis itu sedang dihujani pekerjaan saat ini.
Seolah tahu bahwa dirinya sedang menjadi beban pikiran seseorang, Dey mendecak saat mendapati nama Aca muncul pada layar ponselnya. Bisanya jika menelepon tengah malam begini, keluhannya tidak jauh-jauh dari insomnia atau lapar. Biasanya Dey akan dengan senang hati meladeninya, tapi tidak untuk saat ini.
"Apaan?" jangan salahkan Dey apabila ia terdengar tidak ramah saat ini. Lagipula memang siapa sih yang bisa baik-baik saja saat kegiatan faboritnya diinterupsi? Apalagi sekatang Dey baru saja selesai menangis. Jejak air matanya bahkan belum menghilang dengan sempurna.
"Bukain pintu. Mau masuk." balas suara dari seberang sana.
Day melirik sudut layar laptopnya untuk memastikan waktu, dan hal itu refleks membuatnya menjawab suara di seberang sana. "Hah? Eh gila lo ya namu jam segini?"
"Kayak lo gak gitu aja ke gue!" suara Aca protes dari seberang sana membuat Dey memejamkan mata dan menghela nafas. Keadaan tidak akan membaik jika Dey membalasnya akan sangat besar kemungkinan Aca mengambek dan malah memilih pulang dan akan mendiamkannya selama berhari-hari ke depan.
Dey tidak bisa protes lebih jauh lagi. benar sih Dey juga sering seperti itu. Lebih parah bahkan mengingat bahwa ia tahu password kediaman Aca. akhirnya mau tidak mau ia pun membuka pintu untuk gadis yang entah apa tujuannya datang ke sini tengah malam itu.
"Hai." seolah ia tidak baru saja membuat Dey harus menyeka jejak air mata yang masih menyisa di pipi Dey dan membentaknya dari telepon, Aca terlihat memamerkan senyumnya saat pintu dibuka dan menampilkan si pemilik tempat tinggal.
Dey terlalu malas untuk menjawab sapaan tersebut. Alih-alih, ja malah menyorot penampakan Aca saat ini. tas selempangnya melorot nyaris jatuh dari bahu, di tangannya juga ada shopping bag supermarket, dan dilihat dari pakaian dan dandanannya, sepertinya anak ini habis dari luar. Tanpa bertanya apapun, Dey mengambil tas belanjaan tersebut lalu mempersilakan Aca masuk. Padahal tanpa dipersilakan pun Aca sudah pasti akan masuk, dan Dey akan dengan senang hati menjamunya.
"Masuk."
"Eh tunggu tunggu." perempuan itu menahan tangan Dey.
"Apa lagi siih?"
Dey nyaris menahan napas saat tangan Aca mampir ke pipinya. "Lo abis nangis?"
Pemuda itu tentu saja berdecak. Mau jadi appa ia jika ia terus terang bahwa ia habis menangisi kematian salah satu karakter anime yang ia tonton? "Ck. Kagak."
"Jangan boong ya! Emang gue buta? Lagian akuin aja gak papa kali." kalimat terakhirnya terdengar seperti ledekan bagi Dey.
Dey menghela nafasnya. "Gue habis nonton anime, sedih, eh tiba tiba lo dateng. kalo gak percaya lo liat tuh di kamar gue laptopnya masih nyala."
"Gak perlu. Makasih. Gue perlunya sekarang makan."
"Gue gak ada makanan. Tadi aja gue beli. Kalau mau makan pesen aja, gue lagi malas nyetir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Your Arms
FanfictionRachael dan Delroy, sepasang muda-mudi yang sudah terlalu lamaa bersama walau tidak ada status di antara mereka. Antara takut kehilangan dan takut salah satu diambil orang.