A K U P E N G K H I A N A T ?

7K 436 4
                                    

Sinar matahari memasuki kamarku. Sudah pagi ternyata. Aku melihat wajahku yang sejak semalaman menangis. Bukannya aku sedih atau kecewa. Aku hanya merasakan takut. Aku takut jika esok tidak bisa bernafas lagi.

Aku menyingkap gorden yang berwarna biru. Udara pagi ini sangat sejuk. Aku melihat ponselku sesaat. Tertera dilayar sana nomor yang tidak dikenal.

"Siapa yang menghubungiku beberapa kali?"gumamku yang tidak jelas.

Aku berusaha untuk menghubungi nomornya kembali. Kudengar suara serak menyapaku jauh disana. Aku berusaha mengucapkan sapa kepadanya namun aku tidak ingin semakin membuatnya marah.

"Eh lo kalo hape tuh angkat! Jangan cuman didiemin aja! Ngerti gak sih?"bentaknya tanpa ada kesan ramah. Fariz. Aku sudah bisa menebaknya.

"Maaf riz tapi aku semalam tidur dan tidak dengar kalo hape aku bunyi"balasku

"Maaf-maaf! Lo pikir dengan maaf bisa menyelesaikan itu semua!! Engga ya!"sahutnya dengan kesal.

"Mau apa kau menelponku?"tanyaku berusaha bersikap dingin kepadanya.

"Jangan pake aku-kamu deh! Biasa aja! Gue cuman mau bilang kalo lo setujukan untuk batalin pertunangan gak jelas itu?"tanya nya datar.

Aku menghela napas. Mungkin aku harus mengakhirinya sampai disini. Dia masih saja mengingat kejadian dulu. Dia semakin membenciku. Andai saja aku bisa memutar waktu, aku akan mengatakan semuanya.

Alasan mengapa aku pergi.

Alasan mengapa aku meninggalkannya. Aku akan mengatakannya.

"Heh! Jawab"bentaknya kembali.

"Eh iya maaf riz . Terserah kamu aja."jawabku menahan airmata ini.

"Bagus! Besok malem gue akan ajak lo ketemu mama untuk ngomongin ini!"katanya yang kemudiam tidak terdengar lagi.

Aku duduk ditempat tidur. Kuluapkan semua emosiku disini. Seharusnya aku tidak perlu menangisi orang seperti ia. Seharusnya saja aku kuat. Aku tidak boleh lemah seperti ini, bukankah ini adalah resiko ku karena sudah meninggalkannya dulu?

Lalu, untuk apa aku bersedih? Seharusnya aku pantas mendapatkan ini. Dia sudah tidak mencintaiku. Semua ingatannya sudah lenyap. Aku sudah tidak ada dihatinya. Namun bolehkah aku berharap?

Setidaknya, aku merasakan lega. Aku bisa meluapkan semuanya, meskipun hanya sesaat bisa dekat dengannya. Meskipun hanya sesaat meluapkan rasa rinduku kepadanya. Dan meskipun aku hanya bisa melihat senyumannya dari jauh.

Setidaknya aku sudah berjuang. Namun aku tidak berarti apa-apa dimatanya.

Aku melirik jam tanganku. Aku harus kekampus hari ini. Karena semenjak aku dipilih menjadi asisten dosen. Aku semakin sibuk dngan urusan kuliahku. Ada rasa senang dan sedihnya juga.

Senangnya aku bisa melihat fariz lebih lama.

Sedihnya aku ingin sekali menghabiskan waktu dengan kak sean. Kakak laki-laki ku satu satu nya.

***

Ku perhatikan fariz dari jauh. Semua yang ia bawa sangat tidak rapi. Bahkan tas serta baju futsalnya berantakan kemana-mana. Ia memang selalu saja tidak rapi sejak dulu. Aku tertawa melihat tingkahnya ketika dia belum berubah.

Sesekali fariz bertingkah seperti aneh. Dia terlalu pecicilan dan tidak bisa diam dimanapun. Namun terkadang jika ia merasa malu, ia akan diam saja, itulah sikap asli yang dimiliki oleh fariz . Semua sikapnya masih sama.

Aku melewati lapangan yang sudah berisikan pemain yang akan tanding, salah satunya adalah Fariz. Aku berjalan tanpa memikirkan ia. Berjalan dengan penuh harapan ia tidak akan melihatku.

"Heh! tyas "panggilmya yang membuatku menghentikan langkahku. "Ikut gue!"ajaknya tanpa permisi, ia sudah menarik tanganku.

Ia menghela nafas. "Jangan harap gue akan suka sama lo! Itu gak akan mungkin"sahutnya dengan tiba-tiba.

"Aku sudah tau, aku mengerti itu"kataku lemah.

"Mulai sekarang lupain aja semua tentang gue! Lo itu gak lebih dari pengkhianat! "Kata fariz dengan penekanan yang sangat keras.

"Aku? Pengkhianat? Apa alasan kamu dengan itu?"

"Lo itu cuman cewek pengkhianat!"sahutnya kembali.

Ada apa ini? Ia bilang kalau aku penghianat. Apa yang ia katakan tidaklah benar, ia tidak tau apa-apa mengapa aku meninggalkannya. Aku menghela nafas sejenak! Aku tidak boleh menangis. 'Ayolah tyas . Jangan baper!'aku menyemangati diriku sendiri.

"Aku pergi bukan untuk mengkhianatimu- aku hanya---" kalimatku terhenti. Jantungku terasa sakit. Ku mohon jangan tunjukkan kelemahanku dihadapan orang yang sangat aku sayangi. Aku tidak mau melihatnya merasa khawatir.

Apa kau ini tyas ! Fariz tidak akan mengkhawatirkan kau!

Apakah hidupku akan berakhir saat ini juga?

The Beating Of Love   [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang