Eight

761 75 9
                                    

"Bagaimana hasilnya Hinata ?" Hinata duduk di sofa besar ruang tamu kediaman mewah itu, dengan laptop di pangkuannya, serta panggilan dari ponsel yang tersambung di telinganya. Dia menghubungi Kurenai.

Wanita itu masih mengetikan beberapa sandi ke akun E-mailnya menggunakan laptop, "Masih belum terhubung sensai, masih loading sebentar "

"Baiklah, kau yang akan bekerja, tapi sensei yang sudah tidak sabar Hinata" Kekeh kurenai diseberang sana, dia sangat bersemangat menunggu hasil lamaran pekerjaan dari salah satu muridnya ini. Dia nyakin Hinata pantas untuk itu.

Hinata ikut terkekeh pelan, "Doakan saja Sensei, semoga aku lolos"

"Tentu saja Hinata, Sensei yakin kau pasti bisa" Optimis harus dalam segala hal, dan kurenai sangat optimis pada kemampuan muridnya.

Tidak berselang lama, halaman akun itu terbuka, Hinata langsung menuju kotak masuk di bagian menu sebelah kiri, jujur dia juga sangat penasaran dengan hasilnya. Wanita itu membuka menu Inbox dan mencari surel dari Frantzén, tidak terlalu susah menggulir kebawah, Hinata langsung menemukannya.

Dengan perasaan yang sedikit gugup,menarik napas dalam, dia klik surel itu seraya memejamkan mata.

"Bagaimana Hinata ?" Kurenai kembali bertanya penasaran, karena dia tidak mendengar suara apapun dari muridnya itu di seberang sana.

Rasanya Hinata tidak percaya ini, di surel itu tertulis kalau dia diterima bekerja pada restoran ternama itu, dan lebih mengejutkannya lagi, dia di minta untuk bisa segera memulai pekerjaan setelah wisuda nanti.

"Sensei" Wanita itu bergumam tidak percaya, ini jauh di luar ekspektasi Hinata

"Iya kenapa, gimana hasilnya? kau di terima bukan ?" Kurenai makin tidak sabaran.

"Sensei, a-aku diterima di Frantzén" Hinata berucap pelan, air matanya jatuh di kepipi. Cita-citanya selama ini bisa bekerja di restoran ternama akhirnya bisa di wujudkan.

Rasanya Hinata ingin memeluk kedua orang tuanya saat ini, mengatakan kepada mereka, kalau apa yang selama ini selalu mereka dukung, berhasil Hinata raih.

Diseberang sana Kurenai berteriak kegirangan, dia sudah menduga ini, Hinata pasti akan di terima, kemampuan muridnya itu tidak bisa diremehkan, "Selamat Hinata, Sensei bangga sekali. Orang tuamu disana pasti akan turut bangga juga" Kurenai juga ikut meneteskan air matanya, rasanya haru sekali. Melihat betapa susahnya perjuangan muridnya itu sejak orang tuanya meninggal.

"Terima kasih banyak sensei, ini semua berkat sensai" Rasanya Hinata tidak tau lagi harus berucap terima kasih seperti apalagi pada dosennya itu, dia merasa sangat berhutang budi dengan Kurenai.

"Tidak Hinata, ini semua karena kemampuanmu, mulai sekarang kau harus mempersiapkan semuanya. Wisuda akan di gelar besok, itu tandanya, sebentar lagi kau harus terbang ke Swedia."

Hinata kembali termenung, rasa gelisah itu kembali hadir dalam dirinya setiap dia membayangkan harus meninggalkan Jepang dan Naruto.

********************************

Hinata masih duduk di sofa itu, sedangkan latop di pangkuannya sudah mati sedari tadi, dan sambungan panggilan dengan Kurenai sudah berakhir juga dari 15 menit yang lalu.

Wanita itu hanya sedang dilema sekarang, apa dia sanggup mengatakan semua ini pada Naruto ? Apa pria itu akan mengijinkan, bagaimana kalau Naruto tidak memperbolehkan dia pergi ? Atau apa dia rela meninggalkan pria itu begitu saja ?

Menarik napas pelan, Hinata bangkit dari sofa, dia akan pikirkan itu nanti, dan coba bicara dengan Naruto nanti malam dari hati ke hati. Hinata yakin, Naruto pasti paham dan mengerti dan Hinata bisa pergi tanpa beban di hati.

Am I a Sex Slave ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang