Bab 2

57 10 0
                                    

"Kamu baik-baik saja?"

Pertanyaan sederhana yang sering orang lain lupa, pertanyaan yang telah lama Kelabu tidak dengar. Dulu Kelabu sering mendengar pertanyaan itu dari Luna. Membayangkan masa-masa itu jiwanya menjadi rapuh. Ah, kenapa melow sekali dirinya ini.

Kelabu mendongak melihat siapa orang yang mengajaknya bicara, dimana dirinya tengah merasakan rasa sakit di perut bagian bawah. "Ya." Hanya itu yang bisa Kelabu katakan, ia tengah berada di restoran menunggu sahabatnya datang.

"Sepertinya sebaliknya, ya?" Bukan pria itu ingin menggurui tetapi nampak dari jauh Kelabu menahan rasa sakit. Sebagai tenaga kesehatan ia cukup tahu akan raut wajah yang menahan rasa sakit atau tidak.

"Ah boleh kenalan?" Pria itu duduk di kursi yang berhadapan dengan Kelabu, ia tak lupa mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Enggan menolak, Kelabu menyalaminya dan mengucapkan namanya. "Kelabu."

"Nama yang bagus. Bima, nama panjang Bimantara." Pria itu tersenyum, nampak dari raut wajahnya Bima seperti orang yang baik. Ah, kenapa Kelabu menilai pria yang baru saja ia kenal?

"Saya bisa antar kamu ke rumah sakit kalau kamu mau?" Ajak Bima tulus. Kenyataan melihat orang yang menahan rasa sakit membuat hati kecil Bima tergelitik. "Saya ada janji dengan teman." Kelabu mencoba menolak secara halus.

"Nanti dikabari, karena menurut saya kamu menahan rasa sakit." Memang sejak tiga puluh menit Kelabu menahan rasa itu. "Terimakasih sebelumnya tetapi setelah bertemu dengannya saya akan ke rumah sakit." Kelabu harus menyelesaikan urusannya sebentar.

"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu." Bima berdiri dan berjalan menuju mejanya, ia datang kesana karena ada temu dengan klien.

Jari Kelabu mengetuk-ketuk ke atas meja, mencoba membunuh rasa bosannya. Hingga tak berselang lama Sonia datang dengan penampilan khas pulang kantor.

"Sorry, gue telat." Kelabu mengangguk, ia menyesap minumannya sebelum menyuruh Sonia memesan minuman.

"Wajah lo pucat banget." Sungguh Sonia merasa bersalah tetapi ia tidak bisa mengelak disaat atasannya sudah bertitah. "Iya perut gue sakit."

Sonia menatap prihatin sahabatnya itu, "Sampai kapan lo nahan sakit?"

Kelabu tersenyum kecil, ia tahu pasti dirinya akan diceramahi oleh Sonia. "Saat urusan gue selesai, makanya gue tanya sama lo." Urusan mengenai kekayaan dan wasiat, itu yang dimaksudkan Kelabu.

Sonia hanya bisa terdiam, sebelum mengangsurkan satu berkas mengenai kekayaan Kelabu dan surat wasiat. Awalnya permintaan Kelabu ditentang keras oleh Sonia, karena Sonia pikir penyakit Kelabu masih bisa diobati.

"Semuanya sudah gue selesaikan, termasuk surat wasiat." Kelabu mengangguk, tangannya membuka dokumen itu dan membaca beberapa poin yang tertera. "Gue nggak habis pikir lo segitunya bahas hal ini."

"Nggak ada yang nggak mungkin, bisa jadi setelah operasi gue meninggal? Jadinya gue ingin menyelesaikan ini semua, kan lo tahu gue nggak punya anak dan suami yang akan mengurus segalanya." Mengingat kata suami membuat hati kecil Kelabu teriris.

"Lo masih punya keluarga dan gue." Sonia merasa prihatin akan takdir yang bermain di hidup Kelabu. "Ya, gue tahu. Em... Ini semua sudah sesuai yang gue minta. Lo bisa simpan ini."

Sonia mengambil dokumen itu dan memasukannya ke dalam tas. "Ayo gue antar ke rumah sakit."

"Besok saja, gue sama Lana kesananya."

"Lo yakin?" Kelabu mengangguk.

"Yaudah kalau gitu." Sonia tidak mau memaksa. Hanya saja ingatan Sonia selalu terbayang akan wajah pesakitan Kelabu satu tahun lalu dimana kondisi kesehatannya memburuk.

***

"Bapak mau minum apa?" Bi Inah bertanya kepada pria yang sudah menjadi majikannya itu. Pria yang masih awet muda itu tersenyum kecil. "Teh madu saja."

"Baik Pak." Bi Inah meninggalkan meja makan untuk membuatkan pesanan, sedangkan tak berselang lama Luna datang.

"Pak, pertemuan dengan Pak Broto jadi hari ini?" Hendri menatap istrinya yang berjalan ke arahnya. "Jadi, tapi nggak jadi ke tempat semula." Menurut orang kepercayaan Broto, Pak Broto tengah dirawat di salah satu rumah sakit.

"Terus gimana?" Luna mendaratkan tubuhnya di sisi kosong kursi meja makan, tangannya beralih mengambil buah dan mengupas. Sejak kedua anaknya beranjak dewasa, orangtua itu melalui harinya dengan kegiatan bersama. Luna sudah mengundurkan diri di sebuah bank swasta ternama dan Hendri melanjutkan bisnisnya.

"Kita besuk di rumah sakit sekalian bawa buah." Hendri mengambil buah yang sudah dikupas Luna dan mendaratkannya ke dalam rongga mulut.

Luna menatap lemah ke arah Hendri, rasanya ia ingin mengeluarkan isi hatinya. "Ada apa Bu?"

Hendri menatap istrinya sesaat, sedangkan Luna hanya bisa menghela napas sebelum mengutarakan isi hatinya. "Pak, apa kita jenguk Kelabu ya?" Menurut beberapa orang kepercayaan Luna mengatakan jika Kelabu tengah sakit, dan penyakit ini semakin ganas setelah menantunya menggugat cerai.

"Buat apa Bu? Dia bisa hidup sendiri tanpa kita, buktinya dia menikah dengan pria itu."

Sebagai seorang Ayah egonya terluka saat putri yang ia rawat sejak kecil berubah membangkang karena mengenal cinta.

"Dia sakit Pak." Lirih Luna mengatakannya.

Bi Inah yang berjalan dari belakang menguping pembicaraan kedua majikanya itu. "Ini Bapak, teh madunya. Ibu mau dibuatkan apa?"

"Jus aja Bi, jus alpukat." Jawab Luna.

Setelah keheningan beberapa saat, Hendri mengeluarkan suaranya kembali.

"Sakit apa?" Hendri ingat jika beberapa kali ia bertemu dengan Kelabu dimana fisik putrinya itu menyusut.

"Ibu nggak tahu Pak, tapi memang dia sakit." Sebagai Ibu Luna ingin berada di sisi putrinya. "Kalau Ibu mau mengunjungi dia silakan, tapi Bapak nggak mau ikut." Putus Hendri.

Luna yang mendengar jawaban Hendri sontak terdiam.

Hingga mereka selesai sarapan dan bergegas ke sebuah rumah sakit tempat Pak Broto dirawat. Di sepanjang perjalanan Luna menatap jalanan yang padat, netranya selalu membayangkan akan kondisi putrinya itu. Apakah Kelabu baik-baik saja?

Tbc

Kelabu ✔ (Tamat di Karyakarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang