19

844 108 22
                                    

"Jadi Archilla suka sama temen kamu dari lama, tapi kamu baru tahu?" Tanya Elena, Ibu Archilla yang berjalan dari dapur membawa sepiring bolu yang dibeli tadi sore. Beliau menanggapi cerita yang baru selesai Jeka bagi mengenai anak bungsunya, ikut terkejut sebab beliau pun sama sekali tidak tahu.

Ditaruhlah piring itu ke hadapan Jeka yang sudah dianggap seperti putra sendiri. Beliau duduk dan menyuruh Jeka memakan hidangan.

"Makasih banyak, Mah." Aju Jeka, tersenyum. "Aku sampai marah Mah ke Archi. Dia tuh selalu nyembunyiin semuanya dari aku. Padahal apa-apa aku ke dia."

Elena tertawa, "Loh bukannya kebalik? Archilla yang apa-apa ke kamu. Ke kampus minta anter-jemput. Ngurusin motor masih kamu juga. Temen apa punya dia kalau bukan kamu?"

"Ya kalau itu sih, aku luang Mah. Tapi soal cerita itu lho, Archilla gak pernah mau bagi perasaan sama pikiran ke aku."

Tawa wanita itu kembali tersuara, paham betul bagaimana sikap putrinya yang memang jarang membagi cerita. Elena bahkan pernah berpikir, apakah Archilla sungguh baik-baik saja selama menjalani kesehariannya; tetapi ternyata, gadis itu memang tak suka mengungkap saja.

Sudah ada setengah jam Jeka mendudukkan diri di sini. Isi pikirannya saja yang kemana-mana. Resah yang memeluk itu ternyata turut dirasa oleh Elena. Pemuda manis ini memang seperti putranya, dan sebagai seorang ibu, Elena tahu ada yang tak biasa antara Jeka dan Archilla.

"Kenapa kamu marah waktu tahu Archilla suka temenmu? Temenmu nakal?"

Wisanggeni menggeleng sirah, "Dari semua temen aku, dia yang paling waras Mah. Keluarganya juga orang baik-baik, dia dididik baik."

"Jadi kamu marah karena Archilla gak pernah cerita aja?"

Jeka diam, berpikir. Elena menunggu. Dari sorot mata Si pemuda, ia seperti berkelana jauh ke memori lama; ada sesuatu yang tak beres oleh kejelasan dari resahnya.

"Aku marah karena Archilla sering dibuat sedih. Aku sayang Archilla, Mah."

Bising kendaraan terdengar dari luar, memecah fokus Jeka yang tanpa sadar menatap ke jendela yang mengarah ke depan rumah dengan penuh minat dan kelegaan.

Elena diam di posisi, melihat Jeka yang bergegas menghilang di balik pintu. Ibu Archilla merasa bahwa ia harus membicarakan sesuatu dengan Archilla setelah ini.

•••

Mesin dan cahaya lampu motor mati. Archilla turun disusul Dipta yang berdiri di sisi. Helm dilepas dan ditaruh rapih di atas badan motor.

"Sekali lagi, gue minta maaf karena bikin lo nunggu."

Archilla tersenyum, sebetulnya ia lebih khawatir kepada Dipta. Tentu saja mengenai pemuda ini dan mantan kekasihnya. Mungkin saja Pradipta sudah mendengar banyak hal mengenai kenyataan lampau yang mengusiknya dari lama.

Sungguh, sejujurnya Archilla tahu dia salah. Dia mendekati pemuda ini sejak masih menjadi milik Jennie. Tapi perasaan Archilla bukan suatu penawaran cuma-cuma, ia tulus. Archilla mencintai Dipta seolah itu garis hidupnya. Maka semesta mendukung, bahwa Pradipta pantas untuk mendapat seseorang yang lebih baik.

"Gue juga minta maaf, gue tahu semuanya jadi lebih sulit buat lo akhir-akhir ini. Tapi gue gak akan kemana-mana. Gue percaya sama lo. Gue gak buru-buru, dan gue mau nunggu."

Rasa nyaman menjalar di relung dadanya, sirkulasi udara seperti lancar dihirup oleh Pradipta. Ingin sekali memeluk, namun memilih menahan diri. "Makasih banyak."

"Gue kira bakal pulang sama Yuta, lo." Ucap Jeka, berdiri di balik gerbang rumah. Menatap Archilla, separuh peduli pada kawannya.

"Tadi gue kan bilang pulang sama Dipta." Archilla menjawab, melirik dan tersenyum sekilas pada Dipta.

Tatapan Jeka beralih pada pemuda selain dirinya, "Sejak kapan perpustakaan kampus tutup jam delapan?"

"Gue telat jemput Archilla tadi."

"Ya kalau prioritas mah didahuluin."

Archilla menghela napas, "Apa sih Jeka? Dipta ada urusan mendadak. Gue juga gak wasting time banget. Sempet ngecek ulang tugas juga pas nunggu." Menjelaskan dengan nada lembut.

"Anjir, dibela aja terus sampai mampus."

"Dipta apa mau mampir?" Tawar Archilla, tak menghiraukan gerutuan sahabatnya.

Sebelum Dipta hendak membuka suara, Jeka lebih dulu menyerobot, "Gak ada mampir-mampir! Pulang aja lo, gue juga mau pulang."

"Ih, kok ngatur? Orang rumah gue." Protes Sang gadis.

"Lo mending istirahat, besok masih ujian."

Pradipta menyetujui, "Iya. Archi istirahat. Gue pulang aja." Sambil mengelus surai Archilla; ia selalu ingin melakukan ini. Terlalu banyak iri yang ia simpan ketika melihat Jeka melakukan hal yang sama ke Archilla.

Archilla mengangguk lucu, "Okay. Dipta hati-hati ya. Makasih banyak."

"Sama-sama." Helm lain Dipta terima dari tangan gadisnya. "Masuk duluan sana. Habis itu gue langsung pulang."

"Dah, Dipta."

"Dah."

Mereka benar-benar mengacuhkan Jeka yang hampir emosi jiwa.

Archilla melangkah masuk, sementara Dipta kembali menaiki kendaraannya. Helm ia kenakan seraya menatap susunan langkah Archilla. Ketika Sang gadis hendak kembali berhenti untuk melihat kepergian Dipta, pundaknya justru dirangkul oleh Jeka yang menyeretnya guna terus berjalan.

Tak ada protes apapun, Archilla menurut, ia tahu Jeka masih marah. Namun ia masih sempat berteriak, "DIPTA HATI-HATI YA DI JALAN!"

Mengakibatkan tawa Pradipta mengudara.

•••

note : i pray all the good things for you all

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

note : i pray all the good things for you all. i hope happines come early. be happier. be healthy. i love you a lot! ♡⃛

aku bakal update as soon as possible.

jumpa di bagian selanjutnya! 👋

I love your boyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang