(𝗠)
Dewangga Restu Adyatama hidup dalam ilusi manis bahwa cinta pertama tak pernah kalah. Meski telah 15 tahun menikah dengan Rhea Putri Syaquella dan memiliki putri yang ia sayangi, hatinya tetap merindu sosok Kyrabel Qilla Rajarsa, perempuan yang...
"Di ambang pintu yang tak lagi terbuka, kutemukan sunyi sebagai rumah. Di sanalah rindu menggigil, mencari hangat yang takkan pernah lagi ku punya."
_______
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Cucu Ibu mana?"
"Masih sekolah, Bu."
Kyra menjamu kedua orang tuanya yang tiba-tiba datang ke Indonesia. Tapi bukan untuk menemuinya, apalagi merindukannya—melainkan hanya untuk menjenguk cucu mereka, Pangeran.
"Bapak mau Kyra bikinkan kopi?" tawar Kyra, berharap bisa menjalin kembali komunikasi dengan Ayahnya, Liam Rajarsa.
Namun, tatapan Liam tetap terpaku pada ponsel. Sementara sang Ibu hanya memilih duduk menunggu di sofa ruang tamu. Matanya fokus pada televisi yang menyala, tak peduli akan kehadiran Kyra yang berusaha keras menghidupkan suasana.
"Ehm, Bapak mau kopi hitam atau kopi susu?"
Dalam hati, berharap sang Ayah akan menjawab salah satu dari dua pilihan yang dia tawarkan meskipun tanpa embel-embel antusias. Tapi yang terjadi adalah jawaban datar yang membuat jantungnya bergetar.
"Air putih aja."
Kyra masih berusaha ingin menunjukkan niat baiknya. Dengan berkata, "Tapi Kyra masih ada stok kopi kok."
"Kyra bikinkan kopi hitam kesukaan Bapak."
Liam menarik napas dalam-dalam dan menatap putrinya dengan ekspresi datar—seolah menilai kehadiran Kyra tak lebih dari sekadar kebisingan latar.
"Bapak sudah nggak suka minum kopi."
Kyra menelan ludah. "Loh masa sih, Pak?" Suaranya tetap terdengar riang, meski hatinya merasakan adanya benturan.
"Padahal dulu Bapak suka banget minum kopi buatan Kyra."
"Bapak juga suka—"
Namun, sebelum kalimat itu selesai, Liam menyela dengan suara yang tiba-tiba lebih tegas. Menusuk seperti pisau yang tak tampak tapi terasa nyata di setiap patahan kata.
"Kamu bisa gak, stop bahas-bahas masa lalu?"
Kata-kata itu menyambar seperti petir di tengah siang, merobohkan harapan Kyra untuk merangkai kembali kenangan yang telah lama berserakan.
"Bapak sudah gak suka kopi." Ulang Liam, kali ini lebih tegas.
"Yaudah, iya." Kyra menghela napas pada akhirnya. "Air putih aja?"
Liam hanya mengangguk, tanpa kata, tanpa sedikit pun upaya untuk bertatap muka. Dia bahkan tak peduli bagaimana raut kecewa menghiasi wajah Kyra.
Dengan langkah berat seolah memikul beban dunia, Kyra berjalan menuju dapur. Setiap gerakannya terasa lamban dan terpaksa, selaras dengan gejolak emosional yang semakin membebani jiwanya.