"Banyak kasus di mana getaran tidak diinginkan karena mampu membuang energi, menghasilkan bunyi atau bising, ketidaknyamanan, bahkan mampu menghasilkan kerusakan. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada sistem mekanik dan elektrik berskala kecil, tapi juga dapat terjadi pada struktur berskala besar, contohnya jembatan suspensi...Hmm... apa lagi, ya?"
Gumaman Nada yang disandingi dengan gerakan lincah jari-jemarinya di atas keyboard menjadi pendampingku malam ini.
"Nad! Penyakit banget, dah. Dibatin, kan, bisa?!" Omelan Alika yang duduk di seberang kami menjadi penjeda sekali-sekali.
"Berapa kali juga harus aku bilang? Kalau aku bisa, ya, aku lakuin dari dulu-dulu," kilah Nada bersungut-sungut.
Aku membuang napas, sudah sangat terbiasa dengan adegan seperti ini. "Tolong, ya, anak-anak. Ini kita di luar."
Tidak lucu kalau semua pengunjung yang ada di sini beralih fokus ke kami. Saat ini kami bertiga memang sedang berada di Luxury, salah satu internet cafe yang ada di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Seperti pada mahasiswa pada umumnya, kami sedang memeras otak untuk menyelesaikan satu dari sekian ratus tugas kuliah.
Sebetulnya, bisa saja kami mengerjakan bersama di kos. Akan tetapi, gravitasi yang dimiliki oleh kasurku sepertinya melebihi 9,8 m/s2. Mengerjakan di luar menjadi pilihan yang tepat mengingat deadline hanya tinggal hitungan jam. Aku dan Nada dengan laporan praktikum Getaran Mekanik, Alika dengan laporannya entah apa—intinya berhubungan dengan manajemen.
"Temen lo, tuh!" eyel Alika.
Nada berdecak. "Berisik."
"Lo yang berisik monyet!" balas Alika dengan mata selebar kelereng.
Aku hanya memutar kedua bola mata. "Lo dari tadi baru pengantar sebenernya ngapain aja, deh, Nad?" tanyaku sambil memiringkan badan untuk melihat layar laptop milik Nada.
Nada hanya meringis tanpa jawaban.
"Buruan. Kalau nggak nginep lagi nanti," perintahku santai lalu kembali berfokus pada layar di depanku.
"Iya, iyaa," jawab Nada pasrah, kemudian memposisikan kakinya bersila di atas kursi anyaman berbahan plastik sintetis.
Tidak sampai sepuluh menit berlalu, hingga akhirnya Nada kembali mengeluarkan suara. Iya, aku menghitungnya dari tampilan jam yang ada di pojok kanan atas dari sejak masing-masing kami kembali fokus pada laptop. Namun, kali ini bukan rentetan kalimat teoritis maupun pernyataan yang dikeluarkannya, tapi kalimat yang mengandung nada tanda dimulainya bincang fakta. Kalau mau meminjam istilah dari KBBI, biasa disebut dengan ghibah.
"Eh, kalian tahu nggak, sih?" Nada memulai.
"Nggak." Serentak aku dan Alika menimpali.
"Nah, makanya sekarang aku kasih tahu." Nada menegakkan badan, memasang senyum lebar, dan mengambil ponsel yang terletak di depannya.
"Kalian tahu dating app yang lagi rame itu nggak, sih?" ucapnya sambil membuka kunci ponsel. "Friendly."
"Oohh!" pekik Alika dengan tangan kanan memegang pena. "Tahu gue!" Alika mengikuti Nada dengan cepat-cepat meraih ponselnya. "Gue install seminggu yang lalu."
"Al, inget, Al. Mas Pacar mau dikemanain?" sahutku.
"Install doang!" bela Alika. "Lo tuh yang harusnya install, Re."
Dahiku berkerut dalam. "Kok gue? Apa hubungannya coba."
"Ck. Regen Rosenia Malik. Apa perlu aku ingetin kalau kamu ini sekarang udah jomlo?" tanya Nada dengan senyum palsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
Lãng mạnRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...