Tiga

52 7 0
                                    

Seraut wajah cantik jelita terpaksa berkerut dahi mendengar laporan langsung dari asistennya, yang juga merangkap sebagai sopir pribadinya itu. Pemuda yang melaporkan tentang hebohnya surat setan itu tak lain adalah Sandhi, sedangkan si jelita cantik yang mengagumkan hati setiap insan itu sudah tentu sang Bidadari Dewi Ular alias Kumala Dewi. Gadis muda yang lincah dan bertubuh sexy itu merasa aneh mendengar keterangan Sandhi. Bahkan ia segera menyambar koran yang habis dibaca sopir pribadinya tersebut, lalu membaca sendiri berita tentang kematian mengerikan dan surat berdarah yang disebut-sebut sebagai 'surat setan' itu.

Sebagai anak dewa yang langsung turun dari Kahyangan, asli keturunan bidadari cantik : Dewi Nagadini, tentu saja. Kumala berkewajiban mengetahui tentang kasus kematian aneh dan surat setan. Padahal ia baru saja pulang dari Boston. Satu minggu lebih ia berada di sana mendampingi kakak angkatnya: Pramuda, menyelesaikan urusan bisnis perusahaan mereka. Tapi begitu mendengar munculnya misteri surat setan itu, mau tak mau Kumala harus segera bertindak. Mencegah korban berjatuhan lebih banyak lagi.

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengetahui dulu siapa ketiga korban surat setan itu. Langkah kedua adalah meneropong kekuatan setan yang digunakan dalam surat berdarah tersebut. Dari teropong gaibnya diharapkan dapat diketahui, siapa pengirim sebenarnya dan kekuatan mistik jenis apa yang dipakai dalam surat itu.

"Cukup sempurna," ujarnya lirih seperti menggumam.

Sandhi yang sejak tadi memandangi Kumala saat gadis itu tertegun bungkam dengan mata datar menerawang, kini berkerut dahi sebagai tanda tak mengerti maksud ucapan lirih majikan cantiknya itu.

"Apanya yang sempurna?"

"Pekerjaan si pengirim surat setan itu cukup sempurna menurutku, sebab ia berhasil menghapus jejak gaibnya, sehingga sulit kuteropong dari sini."

"Apakah itu berarti kau tak akan bisa menghentikan  tindakan si pengirim surat setan jika ia membutuhkan korban lagi?"

Dengan tenang dan senyum tipis manis yang khas, Kumala Dewi menjawab pelan, "Aku butuh sarana untuk melacaknya."

"Sarana apa yang kamu maksudkan?"

"Sampul surat, atau... yang lebih baik adalah contoh surat bertulisan darah itu. Melalui darah yang tertera di kertas surat tersebut, mudah-mudahan aku bisa mengenali jenis kekuatan gaibnya."

"Kalau begitu kita harus menemui orang yang di dalam berita di koran ini bernama... Karina. Sebab dia adalah kakak dari korban."

"Ya. Tepat sekali analisamu. Ideku pun begitu, San."

"Tapi surat itu sudah nggak ada, kan? Maksudku, tulisan berdarah itu sudah hilang saat korban yang bernama Milla belum mati. Tulisan itu lenyap dengan sendirinya dan permukaan kertas surat."

"Coba baca berita bagian akhir di situ," Kumala menuding koran yang diletakkan di meja makan. Sambil melanjutkan sarapan paginya, Kumala menjelaskan maksud kata-katanya itu. "Dijelaskan, surat setan itu terdiri dari selembar kertas putih kusam yang hilang tulisannya. Tapi setelah Milla mati kertas surat itu mempunyai keanehan lagi, yaitu munculnya tanda bintang bersudut enam pada kertas tersebut. Bintang bersudut enam itu kan dibuat bukan dengan tinta, melainkan juga dengan goresan darah merah yang telah mengering, bukan?"

"Hmm, yaa... benar juga!" Sandhi manggut-manggut.

"Darah itu yang harus kuselidiki dari mana asalnya dan siapa pemiliknya," lanjut Kumala.

Pada saat ia berkata begitu, seorang pemuda berambut kucai baru saja keluar dari kamarnya. Ia habis mandi, merapikan badan sebentar, lalu bergabung dengan Kumala dan Sandhi di meja makan. Pemuda berambut kucai yang tubuhnya agak kurus itu tak lain adalah jin usil, yaitu jelmaan dari Jin Layon yang kini menjadi asistennya Kumala dalam urusan gaib. Ia menggunakan nama Buron, dan nama itu termasuk nama yang cukup trendy di kalangan paranormal baik yang sudah kenal Kumala maupun yang belum kenal dekat dengan Kumala. Bahkan beberapa klien dan sahabat Kumala pun banyak yang sudah mengenal Buron sebagai jelmaan dari Jin Layon.

"Kamu sudah dengar kasus surat setan ini, Ron?" sapa Kumala begitu Buron bersiap-siap mengambil jatah sarapan paginya.

"Sudah dari kemarin-kemarin aku tahu, ada kasus gila seperti itu."

"Termasuk dua korban sebelumnya?"

"Iya dong. Pokoknya selama kamu di Amerika bersama Pramuda, aku sudah memantau kasus itu."

"Sejauh mana pantauanmu?"

Sambil mengoleskan margarine di permukaan roti tawar. Buron menjawab cukup jelas. "Yaaaah... sejauh... sejauh... jauh sekali deh, pokoknya! Sulit diukur berapa kilometer jauhnya."

Kakinya ditendang Sandhi. "Maksud Kumala... sampai di mana kau memantau kasus ini selama Kumala pergi kemarin!"

"Yaah... sampai di sini!" jawab Buron masih ngeselin, tapi Kumala hanya menghela napas dalam-dalam, tak mau menanggapi kekonyolan jin usil itu. Hanya Sandhi yang bersungut-sungut dengan gerutu tak jelas menanggapi jawaban seenaknya Buron itu.

"Ibarat orang jalan," kata Buron kepada Kumala, "kita berjalan di dalam gelap tanpa obor atau lampu senter sekecil apa pun. Sulit sekali melacak kasus surat setan itu."

"Alasanmu...?" Kumala melirik sebentar seraya menghirup minuman susu hangatnya.

"Nggak ada barang bukti, yang bisa kita gunakan sebagai alat pelacak. Gaib itu seakan mudah dihapus dari alam mistik mana pun."

Tetap dengan kalem dan berkesan lembut Kumala menimpali. "Bagaimana dengan tanda bintang bersudut enam yang muncul di atas kertas surat setelah korban meninggal dunia?"

Buron tersenyum, mirip kuda menyeringai jelek."Kamu mau selidiki kasus ini lewat kertas surat itu? Hmm coba saja kalau bisa!"

Selesai berkata begitu. Buron mengangkat tangan kanannya ke atas, seperti meraih sesuatu. Gerakan itu diikuti oleh pandangan mata Sandhi. Hati Sandhi sedikit terkejut melihat tangan Buron hilang sebatas pergelangan. Seolah-olah buntung mendadak, tapi setelah dipahami oleh Sandhi, maka Sandhi pun tahu bahwa tangan Buron itu masuk ke lapisan dimensi gaib. Sebentar kemudian ditarik turun, seperti menjambret sesuatu. Tangan itu utuh kembali, menggenggam secarik kertas putih kusam. Kertas tersebut diserahkan kepada Dewi Ular.

"Nih, selidikilah sendiri!" ujarnya seenaknya saja, seperti bicara dengan saudara angkat sendiri.

Kumala tidak pernah merasa tersinggung oleh sikap Buron maupun Sandhi yang seperti itu, sebab mereka memang sudah dianggap keluarga sendiri. Formalitas tak lagi diperlukan dalam keadaan seperti pagi ini.

"Kertas apaan ini?" tanya Kumala setelah memeriksa kertas itu, membolak-balikkan beberapa kali. Kertas tersebut adalah kertas kosong tanpa secoret tinta apa pun.

"Itulah kertas surat setan yang disimpan oleh keluarga Nikki, korban pertama tewas Karena tertimpa reruntuhan jembatan penyeberangan, di Jalan Amatir sana."

"Kok nggak ada tanda bintang sudut enam seperti yang diberitakan di koran tempo hari?" kata Sandhi, karena ia ikut memeriksa kertas tersebut.

Setelah menelan roti gigitan pertama Buron pun menjawab. "Yah, begitulah keadaan yang sebenarnya. Sebelum aku hadir mendekati rumah Nikki secara gaib, ternyata tanda bintang sudut enam yang dikabarkan muncul kembali setelah kematian Nikki, menjadi lenyap kembali tanpa bekas sedikit pun. Seakan-akan pengirimnya sengaja menghapus tanda bintang tersebut sebelum aku berhasil menyelidikinya. Dan... ternyata aku memang nggak menemukan getaran gaib apa pun pada kertas tersebut. Coba saja kamu check sendiri, apakah kamu bisa menangkap adanya bekas getaran gaib di kertas itu atau nggak."

Dewi Ular mencoba menggunakan radar getaran gaibnya lewat telapak tangan, juga melalui pandangan mata dewanya. Tapi ia menemukan kehampaan belaka. Tak ada getaran gaib yang bisa ditangkapnya. Tak terlihat tanda-tanda kekuatan iblis membekas di kertas itu. Keadaan kertas tersebut sama sekali kosong, seperti halnya kertas-kertas lainnya.

"Gila!" gumam si gadis peranormal eksekutif itu. "Siapa pemilik ilmu hitam itu, sampai nggak berbekas sedikit pun di kertas ini!"

Buron hanya sentakkan pundak tanda tak tahu-menahu tentang jawaban yang dibutuhkan dalam pertanyaan Kumala itu. Gadis cantik tersebut mulai tertegun bungkam, merenungi kemisteriusan yang agaknya kali ini sulit diterobos dengan kekuatan supranaturalnya. Hati kecilnya sempat bertanya pada diri sendiri.

"Apakah kenyataan ini menandakan bahwa aku tak boleh ikut campur dalam kasus yang dapat merenggut nyawa orang lagi itu?"

****

57. Asmara Mumi Tua✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang