18. Differences

99 9 0
                                    

"Ada apa? Kok kaya buru buru?" tanyaku mengamati punggungnya. Ia masih menggenggam tanganku namun kali ini dengan lebih lembut.

Tubuhnya tidak terlalu besar namun tetap saja lebih besar dariku. Setiap kali ia mengandeng tanganku, aku merasa aman seperti dijaga seorang kakak. Berhubung aku anak tunggal jadi aku tidak pernah memiliki sosok seperti itu.

Terkadang momen seperti ini begitu menyenangkan. Sederhana namun berhasil menempati kekosongan hatiku.

Sampai kapan ya kita bisa tetap seperti ini?

Ia tidak memperhatikanku dan terus berjalan di depan sembari sibuk menengok kanan kiri. Walau begitu, tidak pernah sekalipun genggamannya lepas.

Hanya saja aku merasakannya bergerak dengan tidak nyaman cenderung panik. Seakan ia berusaha menghindari sesuatu.

"Jeonghan?" panggilku pelan.

"Eh iya. Kenapa?" jawabnya sambil menoleh ke arahku. "Hampir aja aku lupa lagi bawa kamu."

"Ish. Jawab dulu. Lagi ngehindarin apa? Kamu kaya panik banget," Aku berusaha menahan tubuhku agar tetap di tempat dan ternyata sukses memberhentikan Jeonghan.

"Woi ngapain sih? Cepet balik ke gedung dulu," bisik Jeonghan lagi. Kali ini suaranya benar benar menunjukkan ketakutannya. Hal itu membuatku terdiam beberapa detik sebelum Jeonghan dengan cepat menarikku lagi.

Akhirnya aku membiarkan tubuhku dituntun Jeonghan menuju Gedung Pledis tercinta.

Begitu melangkahkan kaki disana, Jeonghan membuang nafas lega. Aku pun masih terengah engah karena harus berjalan kaki cukup jauh dari Cafe tadi.

"Fuh. Hampir aja," ucap Jeonghan lega sembari membuka maskernya.

"Hampir apa siii? Daritadi aku nanya ga dijawab nyebelin banget aslii," omelku memasang wajah kesal padanya.

"Ada ssasaeng tadi. Ga ngeliat ya? Hampir kena masalah kalo ketauan tau," tuturnya pelan. "Begitu keluar gedung hati hati ya. Banyak yang orang yang ga waras."

"Iya iyaa. Lagian aku cuman staff ga bakalan kenapa napa. Malah kamu yang harus hati hati. Kamu kan idol," kekehku.

"Ya tetep aja."

"Bedalah. Mana ada ssasaeng peduli ama staff. Pasti nyari idolnya," ucapku sembari menunggu lift turun.

"Apa bedanya staff sama idol sih? Sama aja harus hati hati kan?" balasnya pelan.

"Bedalah. Ayo cepet masuk," jawabku singkat lalu menariknya ke dalam lift sebelum pintu lift menutup.

"Bedanya apa? Apa yang ngebuat kamu mikir kalau aku dan kamu beda?" tanyanya lagi kali ini sembari menatapku lekat. Ia tidak membiarkan aku lolos begitu saja tanpa menjawabnya.

"Ya bedalah. Dari segi mana pun udah beda. Gimana si kamu tuh?"

"Sama sama manusia kan? Sama sama nafasnya pake idung atau mulut. Sama sama hidup di bumi. Sama sama punya perasaan. Bedanya apa?"

"Ya bener sih. Cuman bukan itu yang kumaksud..," Aku berjalan mendahuluinya keluar lift lalu berbalik menghadapnya.

"Apa dong?"

Kudapati ia terdiam menungguku menjawab pertanyaannya.

Hanya saja mulutku terasa kaku untuk menyebutkan kenyataan yang membatasi kita. Aku merasa hatiku akan menciut ketika aku harus menerima kenyataan kita hanyalah rekan kerja.

Semakin kuamati, semakin aku sadar, ternyata jurang antara aku dan kamu sejauh itu, Han.

Sosok paripurna dengan wajah tampan sekaligus cantik, tubuh tinggi, suara lembut, sifat baik seperti malaikat dan kejahilan yang mampu membuat banyak orang takjub. Inilah sosok idola semua orang, Yoon Jeonghan.

Sedangkan aku? Hanyalah seorang staff yang bahkan tidak sengaja mendaftarkan dirinya ke Pledis dan berakhir terlibat denganmu. Dengan perjanjian konyolmu.

Tetapi, berkat itu, aku bisa menikmati setiap kesempatan sembari melakukan hal diluar nalar disela kesibukan kita masing masing. Aku tersenyum samar menyembunyikan rasa terima kasihku.

"(Y/n)? Kamu gapapa?" panggilnya sembari menyamakan kedudukan matanya dengan mataku. "Awas kebanyakan bengong bisa kesurupan."

Sebentar lagi. Sebentar lagi sampai tiba waktunya untuk comeback mereka. Benar. Aku hanya harus sadar diri agar tidak melewati batasku kan? Aku tidak perlu menemaninya lagi sewaktu mereka beres comeback dan lepas dari ini semua.

Tapi kenapa aku ga rela perjanjian ini berakhir?

Dengan cepat aku menggelengkan kepala seakan berusaha menyangkal pikiranku sendiri dan menjawabnya perlahan.

"Tadi kamu nanya bedanya kita apa kan? Aku staff dan kamu idol. Dari situ aja udah beda. Banget. Aku cuman orang biasa disini. Cuman staff. Lah sedangkan kamu? Bintang panggung Han."

"Kamu anggep aku cuman sebatas idol kah (y/n)?"

Deg.

Aku tertegun mendengar jawabannya.

Apa maksudnya?

"Jawab aku (y/n). Kamu anggep aku apa? Cuman sebatas Jeonghan Seventeen aja? Beneran cuman sebatas itu aja?"

Aku menggigit bibir bawahku pelan. Ingin rasanya kusangkal dengan cepat namun aku hanya terdiam seribu bahasa sembari menundukkan kepalaku. Melihat reaksiku, Jeonghan tertawa pelan seakan sudah menduganya.

"Ternyata selama ini hanya dianggap teman ya? Haha oke deh. Sepertinya aku terlalu berharap," gumamnya pelan. "Maaf ya. Anggep aja hari ini ga pernah terjadi. Selamat beristirahat (y/n)-ah."

Ia berjalan mendahuluiku dan dengan lembutnya mengusap rambutku sebelum benar benar menghilang.

Tidak perlu waktu lama untukku menjatuhkan butiran air mataku ke lantai. Pertahananku runtuh begitu saja. Iya aku memang selalu cengeng ketika berurusan dengan Jeonghan. Membiarkannya percaya bahwa dirinya hanyalah sebatas teman adalah hal terbodoh yang bisa aku lakukan.

Karena sejujurnya, aku pun mencintainya.

Aku mengusap air mataku yang tak kunjung berhenti. Semakin aku menyangkalnya, hatiku seperti dibubuhkan luka baru. Tapi mau tidak mau, aku harus melakukannya.

Bukannya aku ga tau Han.. tapi dunia kita beda jauh. Maafin aku ya, aku juga ga mau begini. Kamu harus lupain perasaan kamu demi kebaikan kamu sendiri.

Kenapa hati ini masih saja bersikeras mencintaimu? Kenapa aku nekat mendambakanmu untuk hadir dalam hidupku? Seegois inikah aku?

"Jangan nangis noona.."

Aku mendongak dan Dino sudah berada di depanku sembari menyodorkan sapu tangan kucing. Sapu tangan yang aku berikan padanya sewaktu di ruang latihan. Aku semakin terisak saat tangan Dino mengusap air mataku.

"Noona pasti sayang banget ya sama Jeonghanie hyung?" bisiknya berhasil membuatku tertegun.

Apakah sejelas itu? Aku ga boleh ngebiarin orang lain tau aku menyukai Jeonghan. Nanti dia bisa kena masalah. Maafin noona ya Din, terpaksa aku harus berbohong padamu juga.

Sontak aku berhenti menangis dan menghapus sisa air mataku dengan sapu tangan kucingku.

"Engga kok. Mana ada kek begituan haha," balasku sembari tertawa hambar dan alih alih menjawabnya, aku mengalihkan percakapan ini. "Makasi ya, Dinn. Oia kamu memangnya mau kemana? Kuanterin yuk."

"Aku mau olahraga bareng Hoshi hyung sama Seungkwan hyung. Noona sendiri mau kemana?" tanya Dino lagi. "Mau bareng? Abis itu mau jalan jalan juga keknya."

"Ah.. ga dulu deh Din. Oia berhubung kamu udah sama Hoshi dan Seungkwan, aku ga nemenin kamu gapapa ya?" Aku menggaruk tengkuk leherku. Dino terdiam sejenak sebelum menjawabku dengan anggukan.

"Kenapa Din? Kamu ga seperti biasanya?" balasku lagi sembari menempelkan punggung tanganku pada dahinya. "Ga demam kok?"

"Gapapa kok noona. Selamat istirahat."

"Ya sudah kalau begitu. Hati hati yaa . Semangat olahraganya!" tuturku lalu meninggalkan Dino sendiri sembari membalas lambaian tangan Dino yang mungil.

"Tuh kan. Apa kubilang juga."

Unspoken Love || Yoon JeonghanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang