SEBELUM malam sampai pada pukul sebelas, Pramuda dan Kumala Dewi sudah sampai rumah. Mereka sempat memandang heran kepada Mak Supi yang sudah semalam itu masih duduk di depan pagar rumah tetangga. Mak Supi ditemani oleh dua pelayan rumah tangga yang bernama Maryati dan Kasmi.
Melihat mobil Pram datang, Mak Supi segera berlari lari kecil membukakan pintu pagar. Namun kedua pelayan tetangga masih memandangi Mak Supi dengan wajah menyimpan rasa ingin tahu. Tatapan mata kedua pelayan tersebut sempat diperhatikan oleh Kumala Dewi dan menimbulkan kecurigaan tersendiri bagi si Dewi Ular itu.
"Jangan masuk rumah dulu," ujar Kumala Dewi saat mobil berhenti di depan garasi.
Mak Supi membukakan garasi yang menggunakan pintu sistem rolling itu.
Dengan menaikkan pintu ke atas, maka garasi akan terbuka dan mobil pun bisa dimasukkan. Tapi rupanya Kumala melarang Pram memasukkan mobil ke garasi. Bahkan ia sampai memegang tangan pria itu saat melarang turun dari mobil."Tetaplah di mobil. Aku akan memeriksa keadaan di dalam."
"Apa maksudmu. Mala?" Pramuda berkerut dahi. Ia sudah merasa lelah memendam keheranan sejak tadi bahkan ia masih merasa takut kalau kalau di belakang tempat duduknya muncul puluhan ekor ular seperti tadi di pantai.
Sekalipun Kumala Dewi sudah meyakinkan betul-betul bahwa ular 'ular' itu tak akan muncul lagi, namun rasa cemas masih saja mencekam hati Pramuda.
"Ada sesuatu yang tak beres di dalam rumahmu, Pram. Aku akan membersihkannya dulu."
Kumala membuka pintu mobil, ingin segera turun. Tapi Mak Supi segera mendekatinya. Pelayan separuh umur itu bicara kepada Kumala, bukan kepada Pramuda. Seakan ia mengadukan sesuatu justru kepada Kumala. Hanya saja, Pramuda yang masih berada di balik setir itu memperhatikan dan menyimak dengan pandangan mata penuh rasa ingin tahu.
"Nona, saya tak berani masuk ke rumah. "
"Ya, aku tahu," ujar Kumala pelan dan tenang,
Tapi Pramuda segera berseru dari dalam mobilnya. "Kenapa, Mak?! Ada apa di dalam sana?!"
"Saya takut, Tuan. Radio bisa bunyi sendiri. TV sudah saya padamkan masih saja menyala sendiri. Juga saya mendengar suara orang memanggil memanggil Tuan Pram dari dalam kamar Tuan."
"Suara siapa?!" Pramuda menegang.
"Suara itu... suara itu seperti suaranya Wenny, Tuan!" Mak Supi tampak dicekam rasa takut yang membuat warna pucat membias di wajahnya.
Pramuda semakin tegang, mesin mobilnya dimatikan. Kumala menatap Pramuda saat pemuda itu pun memandangnya.
"Rupanya hal itulah yang dimaksud Kumala tentang ada sesuatu yang tak beres di dalam rumah," pikir Pramuda, lalu membiarkan gadis cantik itu masuk ke dalam rumah tanpa membawa barang barang belanjaannya tadi.
Kumala masuk melalui pintu depan setelah ia menerima kuncinya dari Mak Supi. Pramuda segera membawa Mak Supi menjauhi garasi. Mereka bicara didekat pintu pagar.
"Apa benar laporamnu itu, Mak?"
"Sungguh Tuan. Saya berani bersumpah," ujar Mak Supi dengan kedua matanya tampak diliputi sinar ketakutan.
"Bahkan ketika saya minta ditemani Maryati dan Kasmi, mereka tak berani tinggal lebih lama di dalam rumah kita, Tuan. Mereka segera lari ketika mendengar suara gadis menangis di dalam kamar Tuan, lalu... lalu lampu padam seketika. Kami buru-buru lari keluar, Tuan!"
Mak Supi menceritakan hal itu sambil mengusap lengan dan tengkuknya beberapa kali, karena lengan dan tengkuknya menjadi merinding jika membayangkan kengerian yang tadi dialaminya.
"Kapan hal itu terjadi, Mak?"
"Tadi, Tuan. Masih sore kok. Setelah Non Verra pulang, tak berapa lama saya mengalami keanehan itu."
"Oh, Verra datang ke sini?!"
"Benar. Tuan. Semula ingin menunggu Tuan pulang karena dia ingin bertemu dengan Non Kumala. Tapi mungkin dia capek menunggu, lalu pulang. Dan tak lama setelah itu, kira kira hampir pukul sepuluh, TV yang saya padamkan menyala sendiri dengan suara keras. Saya sampai terlonjak kaget dan buru-buru lari ke ruang tengah," tutur Mak Supi sambil nafas mulai terengah-engah.
Tampak Maryati dan Kasmi mendekati pintu pagar dengan ragu ragu. Pramuda segera melambaikan tangan, dan kedua pelayan itu pun mendekat ke pintu pagar.
"Benar kalian mendengar suara perempuan menangis di dalam kamar?"
"Benar, Tuan," jawab Malyati. "Saya sudah bilang pada tuan dan nyonya saya tapi beliau tidak percaya."
"Mak Supi tak berani masuk rumah. Maka kami hanya bisa menemani di depan rumah saja, sebab kami tak berani masuk rumah Tuan Pram," timpal Kasmi dengan wajah penuh kesungguhan.
Pramuda menjadi sangat tegang dan menatap ke arah rumahnya sendiri. Tak ada suara apa pun yang didengarnya dari dalam rumah. Kumala Dewi kelihatan tak melintas di ruang tamu. Pramuda semakin cemas. Ia ingin berseru memanggil Kumala, tapi Mak Supi sudah lebih dulu bicara.
"Di meja makan ada darah, Tuan."
"Darah?!" mata Pramuda masih mendelik memandang Mak Supi.
"Saat saya mematikan radio, saya melihat seteses darah di atas taplak meja makan. Saya ingin membersihkannya, tapi darah ini melebar makin lama semakin manenuhi meja makan. Saya menjerit dan segera berlari keluar memanggil Maryati dan Kasmi."
"Namun ketika kami masuk, darah itu tak ada, Tuan. Meja makan bersih tanpa kotoran apapun," sela Kasmi lagi.
Pramuda menarik nafas. Matanya memandang ke arah pintu ruang tamu lagi. Terbayang saat kematian Wenny siang itu. Ia pun ingat bahwa ia tidak ikut memakamkan jenazah Wenny tadi . Ia hanya hadir di rumah duka, lalu sebelum jenazah dimakamkan, ia sudah pulang lebih dulu bersama Santos.
"Aku tak tega menghadiri pemakamannya," ujar Pramuda kepada Santos pada saat pulang dari rumah keluaga Wenny.
"Aku juga tak tega," ujar Santos.
"Anehnya, kenapa jenazahnya cepat menyebarkan bau busuk, ya? Padahal sudah dimasukkan dalam peti tertutup segala?"
"Entahlah. Mungkin itu kebusukan hatinya atau dosanya atau karena suatu hal yang tak kita ketahui. Kurasa karena bau busuknya cepat menyebar, maka jenazah tak sampai diinapkan."
Pram segera melupakan musibah itu dengan membawa Kumala jalan-jalan dan membeli beberapa potong pakaian untuk gadis cantik itu. Ia tak mau membayangkan kondisi jenazah wenny yang mengerikan itu. Matanya tertusuk pecahan kaca, kepalanya retak, sementara itu pergelangan tangannya nyaris putus karena tergencet badan taksi yang naas itu. Jika ia masih bisa bicara dengan Santos saat sebelum menghembuskan nafas terakhir, itu adalah suatu keajaiban menurut Pramuda.
Keajaiban itu hanya terjadi pada detik detik terakhir masa hidup orang pada umumnya. Kini Pramuda memikirkan keadaan Kumala yang ada dalam rumah, sudah sepuluh menit belum keluar dan belum terdengar suaranya. Mak Supi juga tampak mencemaskan keadaan Kumala, sehingga ia segera berkata kepada tuannya dengan nada takut.
"Ap... apakah... apakah tak sebaiknya Tuan menemani Non Kumala? Saya takut tejadi sesuatu pada diri Non Kumala, Tuan."
"Tapi... tapi dia melarang aku masuk kedalam rumah .Sebaiknya... sebaiknya bagaimana, ya?" Pramuda menggumam dengan serba bingung.
Tiba-tiba lampu padam.
Blaab!
Mereka terkejut dan segera berlari menyebar keluar dari halaman rumah. Pramuda sampai melompati pintu pagar yang tingginya sedada itu karena paniknya. Mak Supi berlari dengan kaki membentur tepian pintu pagar, ia menuju ke arah rumah sebelah.
Maryati dan Kasmi malah berlari lebih dulu ke tempat mereka tadi menunggu kedatangan Pramuda.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Roh Pemburu Cinta✓
ParanormalSilakan follow saya terlebih dahulu. Serial Dewi Ular Tara Zagita 1 Ketika langit terbuka bagaikan terbelah, sinar hijau itu memancar ke bumi dalam cuaca amat buruk; hujan lebat dan angin badai seakan ingin menggulingkan permukaan bumi. Gadis canti...