Begitu Pram berhasil lolos dari kemacetan, ia segera tancap gas kuat-kuat. Mobil meluncur ke rumah dengan kecepatan tinggi tanpa rasa takut kena tilang oleh petugas di perempatan jalan. Bahkan lampu merah berani diterjang oleh Pramuda dan untungnya sedang tak ada petugas di sana.
Sampai di depan rumah, Pramuda membunyikan klakson beberapa kali menandakan tak sabar menunggu kemunculan Mak Supi untuk membukakan pintu pagar. Bahkan Pramuda segera melongokkan kepalanya dari pintu mobil ketika Mak Supi tampak mulai keluar ke teras.
"Cepat buka pagarnya, Mak!"
"Suruh buka pula garasinya!" ujar Kumala di sela nada tangisnya.
"Buka juga garasinya, Mak! Cepat!"
Mak Supi pun menjadi gugup dan ikut panik mendengar seruan itu. Tak biasanya Pramuda berseru demikian. Berarti ada sesuatu yang tak beres pada diri mereka, pikir Mak Supi kala itu. Mobil pun segera masuk ke dalam garasi.
Kumala masih sempat berseru. "Tutup pintu garasi dan biarkan aku di dalam mobil!"
Pramuda sendiri yang segera menutup pintu garasi dengan tergesa-gesa. Namun ia tidak segera meninggalkan Kumala dalam mobil sendirian. Jelas hal itu tak mungkin dilakukan Pramuda, karena ia tak ingin Kumala menghadapi kesedihan seorang diri.
"Matikan lampu garasi dan tinggalkan aku, Pram!" seru Kumala sambil sesekali mendesah dan mengisak.
"Klik...!"
Lampu garasi dipadamkan. Suasana di dalamnya sangat gelap. Tapi Pram, segera membuka pintu mobil bagian belakang.
"Praam...! Jangan memandangku! Pergi sana! Pergii...!"
Pramuda tak melihat apa-apa karena gelap. Namun ia mencoba membujuk Kumala. "Ijinkan aku membantumu, Mala!"
"Tidak! Tidak! Pergi sana!" Kumala berseru dalam tangis.
"Kalau kau tak izinkan aku membantumu aku tak akan pergi dari sini. Aku akan tidur di lantai garasi sampai kau turun dari mobil dan kamu pindah kamar."
Kumala menjadi jengkel, agaknya Pramuda benar-benar tak mau meninggalkannya. Akhirnya ia berkata dengan isak tangis yang masih menyayat hati Pramuda.
"Pram, kau memaksaku rupanya!"
"Kumala, kalau merasa sebagai sahabatku. Kalau kau menganggap aku adalah saudaramu, mengapa tak izinkan aku menanggung beban dukamu, Mala?! Kau tidak adil!"
Kekerasan hati Pramuda yang ingin ikut menanggung kesedihan bersama itu membuat Kumala akhirnya menyerah. Ia mulai berkata lembut dalam tangis yang mengharukan hati pemuda itu.
"Pram, kau benar-benar mau menganggapku sebagai saudaramu?"
"Hanya itu yang bisa kulakukan untukmu, sesuai dengan harapanmu, Mala."
"Kau tak akan kecewa padaku jika kau tahu beban kedukaanku?"
"Tak ada kata kecewa bagiku, Mala!"
Gadis itu diam sejenak. Pramuda masih belum bisa melihat keadaan Kumala karena pintu mobil hanya terbuka sedikit dan suasana masih gelap. Tangis Kumala kian jelas di telinga Pramuda. Namun beberapa saat kemudian, suara gadis itu terdengar parau di sela tangisnya.
"Berjanjilah untuk tetap menyimpan rahasia ini, Pram."
"Aku berjanji, Mala! Bahkan aku bersumpah untuk tetap menjaga rahasia apa pun darimu!" tegas Pramuda dengan hati semakin berdebar-debar.
"Pram, seharusnya malam ini aku ada di dalam kamar, tak boleh ke mana-mana. Karena, karena malam ini adalah tepat malam bulan purnama."
"Mengapa kau harus ada di kamar?"
"Karena pada malam bulan purnama, kutukan untuk ibuku, terjadi pula pada diriku. Hanya satu malam purnama saja."
"Aku... aku tak mengerti maksudmu, Mala!"
Akhirnya gadis itu menyalakan lampu mobil bagian tengah, dan pintu mobil bagian belakang dibuka lebar lebar.
"Mendekatlah kemari, Pram!" suara itu begitu lembut dan menghiba hati.
Pramuda pun mendekat dan melongok ke dalam. "Haah...?! Malaaa...?!"
Pramuda menjerit keras karena kagetnya. Ia sempat terlonjak mundur dengan mata mendelik dan wajah sangat tegang.
"Inilah aku, Pram," ucap Kumala sambil menangis, air matanya kian membanjir di permukaan wajah cantik itu.
Wajah memang tetap cantik, rambut tetap terurai panjang, tapi tubuh Kumala telah berubah. Tubuhnya bersisik warna kuning emas, dan bentuk anatomi tubuhnya sedikit berubah hingga menyerupai badan ular. Kedua kakinya mengecil, demikian pula kedua tangannya.
Kumala justru melepaskan gaun yang dikenakan hingga kini tampak jelas di mata Pramuda keadaan tubuh yang seharusnya mulus dan sexy itu berubah menjadi tubuh seekor ular besar, bersisik dan berkilauan lendir yang menebarkan wangi cendana campur pandan itu.
Perubahan itu terjadi dari bagian bawah sampai leher. Sementara bagian leher ke atas masih berwujud kepala manusia cantik yang mencucurkan air mata. Pramuda tak bisa bicara sepatah kata pun. Bahkan untuk menggerakkan mulutnya agar tak ternganga, ternyata sulitnya bukan main. Pram mengalami shock begitu melihat kenyataan di depan matanya, Hati kecilnya ingin membantah, bahwa apa yang dilihatnya adalah sebuah mimpi belaka. Tapi suara Kumala yang terisak-isak masih jelas didengarnya, sehingga ia yakin itu bukan mimpi.
"Inilah... Dewi Ular! Barangkali tak akan ada lelaki yang benar-benar bisa mencintaiku dengan tulus jika ia tahu setiap bulan purnama aku akan berubah menjadi seperti ini, Pram! Tapi kehidupan ini harus kujalani sebagai hukuman dari Hyang Maha Dewa..."
Sedikit demi sedikit Pramuda mulai dapat menelan air liurnya sendiri. Jantungnya mulai terasa berdetak kembali. Nafasnya sangat sesak, namun dapat dihelanya. Tetapi pikirannya masih kosong dan tak mengerti apa yang harus dilakukan pada saat itu.
"Kau sudah puas melihat kenyataan ini, Pram?! Jika sudah puas, tinggalkan aku dan biarkan aku ada di mobilmu sampai esok pagi. Pergilah tidur dan jangan berpikir tentang diriku, Pramuda."
Akhirnya pemuda itu pun melangkah dengan limbung. Tangannya sempat berpegangan dinding garasi untuk mencapai pintu tembus ke serambi belakang. Pramuda bagaikan sesosok mayat hidup berjalan menuju kamarnya dalam kepucatan wajah dan pandangan yang hampa sekali.
"Tuan apa yang terjadi pada Non Kumala?" tanya Mak Supi yang ikut mencemaskan suasana di dalam garasi ketika ia mendengar suara teriakan Pramuda tadi.
Pertanyaan itu tak dapat dijawab oleh Pramuda. Ia langsung terhempas di atas ranjang dan membiarkan pintu kamar tetap dalam keadaan terbuka. Mak Supi tak berani masuk, hanya memandang dari luar kamar. Sebentar-sebentar memandang ke arah pintu tembus ke garasi. Tapi ia tak berani masuk ke sana. Bulu kuduknya selalu merinding jika matanya menatap pintu garasi dan hatinya berhasrat untuk menengok Kumala. Seakan ada kekuatan gaib yang menghampiri dan mencegahnya untuk tidak datang ke garasi.
Tapi esok harinya, Kumala Dewi telah berubah kembali menjadi sosok gadis cantik yang mempunyai senyum bidadari. Senyum itu tetap mengagumkan dan mendebarkan hati Pramuda. Hubungan mereka tetap berlangsung sebagai sepasang saudara yang sama sama menyimpan rahasia tersebut. Bahkan Mak Supi pun tak tahu tentang misteri malam bulan purnama bagi Dewi Ular itu.
Hal yang dipikirkan oleh Kumala pada hari berikutnya adalah langkah berikut yang harus diambilnya. Apakah ia harus tetap tinggal bersama Pramuda atau mencari tempat sendiri dan hidup sebagai gadis mandiri?
"Jika kau hidup sendiri, dan kita berpisah, aku takut roh Wenny datang lagi," ujar Pramuda. "Bukankah kau pernah bilang, bahwa roh Wenny berhasil lolos dari genggamanmu?"
"Sekarang sudah tidak. Pada malam purnama itu, roh Wenny sebenarnya datang lagi, ingin bercumbu denganmu. Tapi ia tak tahu bahwa dalam keadaan seperti itu kekuatanku menjadi sangat tinggi dan paling tinggi, sehingga aku berhasil menghancurkan roh Wenny. Ia tak akan muncul lagi, kecuali dalam mimpimu."
"Dalam mimpiku?!" Pramuda terperanjat dan menjadi tegang.
SELESAI
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Roh Pemburu Cinta✓
ParanormalSilakan follow saya terlebih dahulu. Serial Dewi Ular Tara Zagita 1 Ketika langit terbuka bagaikan terbelah, sinar hijau itu memancar ke bumi dalam cuaca amat buruk; hujan lebat dan angin badai seakan ingin menggulingkan permukaan bumi. Gadis canti...